Dari Malaikat Jibril Sampai TK Al-Quran
Pengajaran Al-Quran telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Berbagai metode telah digunakan dalam pengajaran tersebut, dari yang ala Baginda Nabi sampai metode kilat.
Bulan Ramadhan telah tiba. Banyak orang berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Quran. Masjid dan mushalla pun mendadak semarak dengan pengajian dan tadarrus Al-Quran. Pagi, siang, sore dan malam kaum muslimin seakan larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran, karena di bulan inilah kitab suci paling utama itu diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Disamping mengkaji dan mendalami kandungan Al-Quran, tentu akan sangat menyenangkan sekali jika selama Ramadhan ini kita bisa mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Sebab setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan sepuluh kebajikan. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh jika kita berhasil mengkhatamkan Al-Quran.
Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan umat Islam pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan ratusan kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah atas orang yang mengkhatamkan Al-Quran, yakni doanya saat khataman diamini lima puluh ribu malaikat. Sungguh luar biasa!
Namun untuk mengkhatamkan bacaan Al-Quran seorang tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Arab, tentu juga dibutuhkan keterampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar dan lancar. Dari kata tartil inilah lahir istilah murattal atau pembacaan Al-Quran dengan baik, benar dan lancar dengan irama standar, seperti yang sekarang banyak dijual dalam bentuk kaset atau CD.
Sebutan “baik” disini memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata baik tersebut juga menyangkut masalah sikap terhadap Al-Quran. Di mana seorang muslim dalam membaca Al-Quran tak sekedar menetapi pra syaratnya seperti suci badan, pakaian dan tempat, tetapi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar saat membaca Al-Quran yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemilik Al-Quran.
Sebab Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), maka membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. Bagaimana kita bisa merasakan bahwa setiap rangkaian huruf-hurufnya adalah untaian sajak-sajak cinta dari sang Khalik yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.
Sistem Face to Face
Sementara ungkapan “benar” yang dimaksud tentu terkait masalah tajwid (ilmu hukum-hukum membaca Al-Quran). Benar dalam membaca Al-Quran tentu berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhrajnya, benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai mad-nya dan benar dalam mendengung-tidakkan sambungan huruf sesuai dengan hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu pada bagian mana bacaan boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (washal) atau berhenti tetapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).
Sementara sebutan “lancar” dalam membaca menyangkut ketekunan diri dalam berlatih membaca Al-Quran. Semakin sering membaca Al-Quran akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, akan semkain cepat pula proses pengkhataman Al-Quran. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, akan semakin banyak pula kesempatan kita menimbun pahala khataman Al-Quran.
Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar itulah para ahlil Quran (sebutan untuk orang-orang yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun mengajar Al-Quran disebut-sebut nabi sebagai umat terbaik. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan dn Ali bin abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Abu Ubaid)
Sejak kapankah proses pengajaran Al-Quran ini berlangsung? Siapakah guru-murid pertama dalam ta’limul Quran? Dan bagaimana perkembangan pengaran Al-Quran dari masa ke masa? Berikut laporannya..
Sebagai firman Allah Ta’ala, tentu pengajar Al-Quran pertama kali adalah Allah SWT sendiri dan murid pertamanya adalah malaikat Jibril. Adapaun waktu pengajaran Al-Quran pertama ini hanya Allah jualah yang maha mengetahui.
Dari malaikat Jibril kemudian Al-Quran disampaikan atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi atau yang juga lazim disebut mushafahah adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung (face to face).
Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga ini pertanda ajalku sudah dekat.” (HR Bukhari)
Kunjungan Jibril ini diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf-mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau dan dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul yang telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1 - 5 Surah Al-‘Alaq, misalnya, kini menempati urutan surah ke – 96 dari 114 surah yang telah diturunkan.
Metode talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan yang dicontohkan oleh malaikat Jibril dan Rasulullah itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga saat ini. Metode talaqqi tersebut di Indonesia dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran (ini untuk membedakan dengan sorogan kitab kuning).
Murid Angkatan Pertama
Sedangkan tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW dan memeriksa bacaan serta urutan ayat dan surah yang beliau hafal tersebut kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran yang disebut takriran atau nderes. Ada juga tradisi sema’an, yakni seorang hafizh menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaannya.
Setelah dua fase pertama –dari Allah Ta’ala kepada Malaikat Jibril dan dari Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur— dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urut-urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Karena ketika mereka menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.
Manusia pertama yang belajar dan menghafal ayat suci Al-Quran setelah baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah, istri baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi) dan Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Mereka antara lain Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang untuk pertama kalinya merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa Rasulullah SAW. Melalui hati-hati bersih angkatan pertama umat Islam inilah cahaya Al-Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh sangat beruntung!
Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah pun mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat beliau yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghazi karya Ibn Ishaq, At-Taratib Al-Idariyyah karya Kattani dan Sirah Ibn Hisyam tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugaskan baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.
Para sahabat yang beruntung tersebut adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbab yang mengajar pasangan suami istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair yang diperintahkan baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelum hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membawa Surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.
Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, misalnya, beliau diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia sebelas tahun yang ketika itu telah menghafal enam belas surah Al-Quran. Belakangan remaja cerdas itu semakin dekat dengan baginda Nabi karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.
Madrasah Al-Quran Pertama
Setelah pembangunan Masjid Nabawi usai, Rasulullah lalu memerintahkan membangun suffah, bangunan tambahan semacam beranda di samping bangunan induk masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran dan belajar baca tulis umat Islam. Tak kurang dari sembilan ratus sahabat “mendaftar” sebagai murid di suffah tersebut.
Selain Rasulullah yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab membantu mengajar Al-Quran dan baca tulis untuk sahabat lain yang masih buta huruf. Bisa dibilang suffah inilah cikal bakal pesantren Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran yang sekarang marak berdiri di masjid dan mushalla.
Pengajaran di suffah itu sangat istimewa karena ditangani langsung oleh baginda Nabi. Abdullah bin Umar memberikan gambaran cara nabi mengajar, “Nabi Muhammad membacakan Al-Quran kepada kita. Dan setiap kali sampai pada ayat sajdah yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir lalu bersujud.” (HR Muslim). Dalam Al-Intishar karya Al-Baqillani dikisahkan, Utsman bin Abil Ash menceritakan bahwa dirinya selau ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW, dan bila sedang tidak bisa menemui beliau, Ustman pun mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.
Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang yang baru masuk Islam yang hijrah ke Madinah, Rasulullah menyuruh salah seorang Anshar untuk menampungnya serta mengajarinya Al-Quran dan pengetahuan keislaman lainnya. Selain itu para shabat juga seringkali berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya (diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhail).
Selain di Madinah, beberapa sahabat ahlul Quran juga dikirim oleh baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Di antara mereka adalah Mu’adz bin Jabal yang dikirim Yaman, Abu Ubaid yang diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna yang ditugaskan ke Shan’a.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat besar. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafal Al-Quran yang setiap saat siap membagi pengetahuannya. Namun ketika pecah perang penumpasan nabi palsu di Yamamah hampir sepertiga dari jumlah tersebut gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran atas perintah khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.
Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian terus menurunkan ilmunya kepada generasi sesudahnya baik yang tinggal di kota Madinah dan Makkah maupun kota-kota dan negeri lain yang baru saja ditaklukan oleh pemerintahan Islam. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash yang mengembara hingga ke negeri Cina.
Karena tempat pengajarannya yang tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahbat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraisy. Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Rasm Utsmani
Dari hasilnya kerja tim tersebut lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani lalu dimusnahkan untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani ini pula yang kemudian diajarkan secara turun menurun kepada umat Islam hingga saat ini.
Dari hasil didikan para sahabat tersebut lalu bermunculan ulama Ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub yang belajar dari Abdullah bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Sa’ib Al-Mazumi yang mendapatkan pengajaran Qurannya dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri yang mendapatkannya dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab, Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan, Abdullah bin Hubaib As-Silmi yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran (Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay dan Zaid bin Tsabit) dan masih banyak lagi.
Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, namun dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek) pengucapan lafadz-lafadz dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khailfah Utsman, perbedaan diaelek ini tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan. Karena itu perbedaan qiraat itu tetap dibiarkan dan tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.
Meski berkembang menjadi sepuluh qiraat, ada juga yang berpendapat 12 dan 20, namun yang ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat itu kemudian dikenal dengan nama imam-imam besar kalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.
Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah 70 H dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai Rasulullah melalui Abdurrahman bin Hurmuz dari Muslim bijn Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45 – 120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68 – 154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21 – 118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdillah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80 – 156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dari Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119 – 189 H), ia adalah guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam Ashim melalui Hamzah dari Isa bin Umar.
Dari ketujuh qiraat tersebut, yang sangat populer dan diajarkan di hampir seluruh negeri muslim –termasuk Indonesia— adalah qiraat Imam Ashim Al-Kufi. Meski begitu tak jarang seorang kiai pengajar Al-Quran mencampurnya dengan mengambil qiraat-qiraat dengan periwayat terbanyak.
Dari jalur sanad Imam Ashim ini beberapa tokoh ulama tahfizhul Quran nusantara seperti Syaikh Dimyathi Tremas, K.H. Moenawwir Krapyak, Syaikh As’ad Makassar, dan beberapa kiai lain di Gresik dan Surabaya mengambil pelajaraan dan ijazah pengajaran Al-Qurannya. Kemudian dari para kiai tersebut lahirlah pesantren-pesantren Al-Quran yang kini menjamur di seluruh Indonesia. (Lebih lengkap mengenai jaringan pesantren Al-Quran di Indonesia saat ini baca tulisan Sejarah Pengajaran Al-Quran II)
Mengiringi perkembangan zaman, pengajaran Al-Quran pun terus berkembang. Jika awalnya hanya digelar di masjid, mushalla dan pesantren Al-Quran melalui pengajian sorogan (talaqqi), saat ini pengajian Al-Quran juga diajarkan di kelas-kelas sekolah dengan metode yang lebih variatif. Jika sebelum era 1980an pengajian hijaiyyah dan juz amma hanya mengenal kaidah Baghdadi, kini telah lahir berbagai metode inovatif seperti Qiraati dan Iqra’ yang dikembangkan melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Bahkan belakangan ditemukan metode-metode kilat belajar membaca Al-Quran, seperti Tarsana, metode tujuh membaca Al-Quran dan sebagainya. Semua itu tentu dimaksudkan untuk mempermudah umat Islam belajar membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar. Agar umat Islam semakin rajin mengkhatamkan Al-Quran dan meraih keagungan pahalanya, terutama di bulan suci Ramadhan yang baru saja datang. Semoga! (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah alkisah edisi 19, Ramadhan 1429/2008)