Friday, March 13, 2009

Sejarah Pengajaran Al-Quran

Dari Malaikat Jibril Sampai TK Al-Quran

Pengajaran Al-Quran telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Berbagai metode telah digunakan dalam pengajaran tersebut, dari yang ala Baginda Nabi sampai metode kilat.

Bulan Ramadhan telah tiba. Banyak orang berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Quran. Masjid dan mushalla pun mendadak semarak dengan pengajian dan tadarrus Al-Quran. Pagi, siang, sore dan malam kaum muslimin seakan larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran, karena di bulan inilah kitab suci paling utama itu diturunkan oleh Allah Ta’ala.

Disamping mengkaji dan mendalami kandungan Al-Quran, tentu akan sangat menyenangkan sekali jika selama Ramadhan ini kita bisa mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Sebab setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan sepuluh kebajikan. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh jika kita berhasil mengkhatamkan Al-Quran.

Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan umat Islam pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan ratusan kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah atas orang yang mengkhatamkan Al-Quran, yakni doanya saat khataman diamini lima puluh ribu malaikat. Sungguh luar biasa!

Namun untuk mengkhatamkan bacaan Al-Quran seorang tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Arab, tentu juga dibutuhkan keterampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar dan lancar. Dari kata tartil inilah lahir istilah murattal atau pembacaan Al-Quran dengan baik, benar dan lancar dengan irama standar, seperti yang sekarang banyak dijual dalam bentuk kaset atau CD.

Sebutan “baik” disini memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata baik tersebut juga menyangkut masalah sikap terhadap Al-Quran. Di mana seorang muslim dalam membaca Al-Quran tak sekedar menetapi pra syaratnya seperti suci badan, pakaian dan tempat, tetapi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar saat membaca Al-Quran yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemilik Al-Quran.

Sebab Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), maka membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. Bagaimana kita bisa merasakan bahwa setiap rangkaian huruf-hurufnya adalah untaian sajak-sajak cinta dari sang Khalik yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.


Sistem Face to Face
Sementara ungkapan “benar” yang dimaksud tentu terkait masalah tajwid (ilmu hukum-hukum membaca Al-Quran). Benar dalam membaca Al-Quran tentu berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhrajnya, benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai mad-nya dan benar dalam mendengung-tidakkan sambungan huruf sesuai dengan hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu pada bagian mana bacaan boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (washal) atau berhenti tetapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).

Sementara sebutan “lancar” dalam membaca menyangkut ketekunan diri dalam berlatih membaca Al-Quran. Semakin sering membaca Al-Quran akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, akan semkain cepat pula proses pengkhataman Al-Quran. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, akan semakin banyak pula kesempatan kita menimbun pahala khataman Al-Quran.

Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar itulah para ahlil Quran (sebutan untuk orang-orang yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun mengajar Al-Quran disebut-sebut nabi sebagai umat terbaik. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan dn Ali bin abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Abu Ubaid)

Sejak kapankah proses pengajaran Al-Quran ini berlangsung? Siapakah guru-murid pertama dalam ta’limul Quran? Dan bagaimana perkembangan pengaran Al-Quran dari masa ke masa? Berikut laporannya..

Sebagai firman Allah Ta’ala, tentu pengajar Al-Quran pertama kali adalah Allah SWT sendiri dan murid pertamanya adalah malaikat Jibril. Adapaun waktu pengajaran Al-Quran pertama ini hanya Allah jualah yang maha mengetahui.
Dari malaikat Jibril kemudian Al-Quran disampaikan atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi atau yang juga lazim disebut mushafahah adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung (face to face).

Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga ini pertanda ajalku sudah dekat.” (HR Bukhari)

Kunjungan Jibril ini diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf-mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau dan dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul yang telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1 - 5 Surah Al-‘Alaq, misalnya, kini menempati urutan surah ke – 96 dari 114 surah yang telah diturunkan.

Metode talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan yang dicontohkan oleh malaikat Jibril dan Rasulullah itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga saat ini. Metode talaqqi tersebut di Indonesia dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran (ini untuk membedakan dengan sorogan kitab kuning).

Murid Angkatan Pertama
Sedangkan tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW dan memeriksa bacaan serta urutan ayat dan surah yang beliau hafal tersebut kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran yang disebut takriran atau nderes. Ada juga tradisi sema’an, yakni seorang hafizh menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaannya.

Setelah dua fase pertama –dari Allah Ta’ala kepada Malaikat Jibril dan dari Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur— dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urut-urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Karena ketika mereka menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.

Manusia pertama yang belajar dan menghafal ayat suci Al-Quran setelah baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah, istri baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi) dan Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Mereka antara lain Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash.

Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang untuk pertama kalinya merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa Rasulullah SAW. Melalui hati-hati bersih angkatan pertama umat Islam inilah cahaya Al-Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh sangat beruntung!

Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah pun mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat beliau yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghazi karya Ibn Ishaq, At-Taratib Al-Idariyyah karya Kattani dan Sirah Ibn Hisyam tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugaskan baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.

Para sahabat yang beruntung tersebut adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbab yang mengajar pasangan suami istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair yang diperintahkan baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelum hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membawa Surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.

Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, misalnya, beliau diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia sebelas tahun yang ketika itu telah menghafal enam belas surah Al-Quran. Belakangan remaja cerdas itu semakin dekat dengan baginda Nabi karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.

Madrasah Al-Quran Pertama
Setelah pembangunan Masjid Nabawi usai, Rasulullah lalu memerintahkan membangun suffah, bangunan tambahan semacam beranda di samping bangunan induk masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran dan belajar baca tulis umat Islam. Tak kurang dari sembilan ratus sahabat “mendaftar” sebagai murid di suffah tersebut.

Selain Rasulullah yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab membantu mengajar Al-Quran dan baca tulis untuk sahabat lain yang masih buta huruf. Bisa dibilang suffah inilah cikal bakal pesantren Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran yang sekarang marak berdiri di masjid dan mushalla.

Pengajaran di suffah itu sangat istimewa karena ditangani langsung oleh baginda Nabi. Abdullah bin Umar memberikan gambaran cara nabi mengajar, “Nabi Muhammad membacakan Al-Quran kepada kita. Dan setiap kali sampai pada ayat sajdah yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir lalu bersujud.” (HR Muslim). Dalam Al-Intishar karya Al-Baqillani dikisahkan, Utsman bin Abil Ash menceritakan bahwa dirinya selau ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW, dan bila sedang tidak bisa menemui beliau, Ustman pun mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.

Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang yang baru masuk Islam yang hijrah ke Madinah, Rasulullah menyuruh salah seorang Anshar untuk menampungnya serta mengajarinya Al-Quran dan pengetahuan keislaman lainnya. Selain itu para shabat juga seringkali berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya (diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhail).

Selain di Madinah, beberapa sahabat ahlul Quran juga dikirim oleh baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Di antara mereka adalah Mu’adz bin Jabal yang dikirim Yaman, Abu Ubaid yang diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna yang ditugaskan ke Shan’a.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat besar. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafal Al-Quran yang setiap saat siap membagi pengetahuannya. Namun ketika pecah perang penumpasan nabi palsu di Yamamah hampir sepertiga dari jumlah tersebut gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran atas perintah khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.

Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian terus menurunkan ilmunya kepada generasi sesudahnya baik yang tinggal di kota Madinah dan Makkah maupun kota-kota dan negeri lain yang baru saja ditaklukan oleh pemerintahan Islam. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash yang mengembara hingga ke negeri Cina.

Karena tempat pengajarannya yang tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahbat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraisy. Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.

Rasm Utsmani
Dari hasilnya kerja tim tersebut lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani lalu dimusnahkan untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani ini pula yang kemudian diajarkan secara turun menurun kepada umat Islam hingga saat ini.

Dari hasil didikan para sahabat tersebut lalu bermunculan ulama Ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub yang belajar dari Abdullah bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Sa’ib Al-Mazumi yang mendapatkan pengajaran Qurannya dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri yang mendapatkannya dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab, Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan, Abdullah bin Hubaib As-Silmi yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran (Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay dan Zaid bin Tsabit) dan masih banyak lagi.

Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, namun dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek) pengucapan lafadz-lafadz dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khailfah Utsman, perbedaan diaelek ini tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan. Karena itu perbedaan qiraat itu tetap dibiarkan dan tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.

Meski berkembang menjadi sepuluh qiraat, ada juga yang berpendapat 12 dan 20, namun yang ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat itu kemudian dikenal dengan nama imam-imam besar kalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.

Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah 70 H dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai Rasulullah melalui Abdurrahman bin Hurmuz dari Muslim bijn Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45 – 120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68 – 154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21 – 118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdillah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80 – 156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dari Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119 – 189 H), ia adalah guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam Ashim melalui Hamzah dari Isa bin Umar.

Dari ketujuh qiraat tersebut, yang sangat populer dan diajarkan di hampir seluruh negeri muslim –termasuk Indonesia— adalah qiraat Imam Ashim Al-Kufi. Meski begitu tak jarang seorang kiai pengajar Al-Quran mencampurnya dengan mengambil qiraat-qiraat dengan periwayat terbanyak.

Dari jalur sanad Imam Ashim ini beberapa tokoh ulama tahfizhul Quran nusantara seperti Syaikh Dimyathi Tremas, K.H. Moenawwir Krapyak, Syaikh As’ad Makassar, dan beberapa kiai lain di Gresik dan Surabaya mengambil pelajaraan dan ijazah pengajaran Al-Qurannya. Kemudian dari para kiai tersebut lahirlah pesantren-pesantren Al-Quran yang kini menjamur di seluruh Indonesia. (Lebih lengkap mengenai jaringan pesantren Al-Quran di Indonesia saat ini baca tulisan Sejarah Pengajaran Al-Quran II)

Mengiringi perkembangan zaman, pengajaran Al-Quran pun terus berkembang. Jika awalnya hanya digelar di masjid, mushalla dan pesantren Al-Quran melalui pengajian sorogan (talaqqi), saat ini pengajian Al-Quran juga diajarkan di kelas-kelas sekolah dengan metode yang lebih variatif. Jika sebelum era 1980an pengajian hijaiyyah dan juz amma hanya mengenal kaidah Baghdadi, kini telah lahir berbagai metode inovatif seperti Qiraati dan Iqra’ yang dikembangkan melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Bahkan belakangan ditemukan metode-metode kilat belajar membaca Al-Quran, seperti Tarsana, metode tujuh membaca Al-Quran dan sebagainya. Semua itu tentu dimaksudkan untuk mempermudah umat Islam belajar membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar. Agar umat Islam semakin rajin mengkhatamkan Al-Quran dan meraih keagungan pahalanya, terutama di bulan suci Ramadhan yang baru saja datang. Semoga! (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah alkisah edisi 19, Ramadhan 1429/2008)

Thursday, March 12, 2009

Sejarah Pengajaran Al-Quran II

Jaringan Pesantren Al-Quran Di Nusantara

Ratusan ribu majelis pengajaran Al-Quran tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sebagian besar di antaranya terlembagakan dalam pesantren-pesantren Al-Quran yang saling berkaitan dalam jejaring guru-murid.

Membaca Al-Quran tentu saja amalan yang sangat utama, apalagi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Selain menjadi menambah perbendaharaan pahala kita, membaca Al-Quran juga menjadi hiburan batiniah tersendiri yang sangat mengasyikkan. Bacaan ayat-ayat suci yang mengalir lancar dari bibir seakan mengantarkan perbincangan kita dengan sang khaliq.

Namun sayangnya, seiring perkembangan zaman, ketika pengajian Al-Quran di kota besar tak lagi sesemarak dulu, lancar dan fasih membaca Al-Quran bukan lagi keterampilan yang mudah ditemukan pada generasi muda Islam. Bahkan maraknya pertumbuhan Taman Pendidikan Al-Quran dan berbagai metode pengajaran kilat Al-Quran tak mampu mengimbangi derasnya gelombang modernisasi dan westernisasi budaya.

Mempelajari Al-Quran –termasuk cara membacanya-- memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dibutuhkan seorang guru khusus yang benar-benar mempunyai kemampuan dan otoritas (ijazah) pengajaran Al-Quran. Sebab proses pembelajaran Al-Quran menyaratkan adanya talaqqi (pertemuan guru – murid secara langsung) dalam prosesnya.

Sebab para ulama ahlul Quran meyakini, satu-satunya orang yang bisa membaca Al-Quran dengan fasih dan memahami isinya dengan benar adalah Rasulullah SAW yang mendapat pengajaran langsung dari malaikat Jibril. Sementara tingkat kebenaran bacaan orang-orang selain Rasulullah paling bagus hanya mendekati kefasihan beliau saja. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Pengakuan akan ketepatan cara membaca Al-Quran tersebut harus mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya, meski pada zaman Rasulullah banyak sahabat yang hafal Al-Quran, tetapi hanya beberapa orang saja yang mendapat mandat untuk mengajarkan Al-Quran. Artinya hanya mereka inilah yang bacaan Al-Qurannya diakui nyaris sempurna sehingga layak mengajari orang lain.

Demikian pula pada generasi berikutnya yang belajar langsung kepada Sahabat Nabi. Meskipun jumlah murid mereka dari kalangan tabiin cukup banyak, namun hanya sebagian kecil saja yang diberi otoritas (ijazah) untuk mengajarkan cara membaca Al-Quran. Demikian seterusnya pada generasi tabiut tabiin dan generasi-generasi sesudahnya hingga zaman modern yang terus menjaga ketersambungan silsilah sanadnya. Mereka inilah yang biasa disebut ulama ahlul Quran.

Bagaimana dengan murid-murid lain yang juga menyelesaikan pelajarannya, namun tidak sampai mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Tentu saja mereka tetap boleh menularkan ilmunya, meski tentu nilai keberkahannya tidak sama dengan yang mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Paling tidak, dari mereka bisa dipelajari cara membaca Al-Quran dengan benar, karena mereka juga mendapatkannya dari guru-guru yang memiliki ijazah pengajaran.

Muara Sanad Al-Quran
Di Indonesia sendiri saat ini berdiri puluhan ribu tempat pengajaran Al-Quran. Namun hanya sebagian saja yang benar-benar memiliki ijazah pengajaran Al-Quran. Sebagian lagi tidak memiliki ijazah, namun pernah belajar kepada ulama yang memiliki otoritas pengajaran Al-Quran. Ada juga yang dengan niat baik, membuka pengajaran Al-Quran, meski tidak memiliki ijazah dan tidak juga pernah berguru kepada orang yang mempunyai ijazah.

Tempat-tempat pengajaran Al-Quran, dan jaringannya, yang memiliki ijazah sanad Al-Quran biasanya berupa pesantren tahfizhul Quran (penghafalan Al-Quran). Dan uniknya hampir semua pesantren Al-Quran tersebut saling memiliki keterkaitan guru murid. Sebab menurut sejarahnya, seluruh tradisi penghafalan Al-Quran di pesantren-pesantren tradisional di nusantara ini hanya memang bermuara kepada beberapa nama.

K.H. Drs. Muntaha Azhari, pembantu rektor III Institut Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, yang pernah melakukan penelitian dalam bidang tersebut menyebutkan nama Mbah Kiai Moenauwir Krapyak (Yogyakarta), Syaikh Dimyathi Tremas (Pacitan – Jawa Timur) dan Syaikh As’ad Makassar sebagai tiga dari beberapa tokoh pembawa tradisi penghafalan Al-Quran sekaligus memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah. Dari ulama ahlul Quran tersebutlah kebanyakan sanad pesantren Al-Quran modern bermuara.

Jika anda berminat belajar atau hendak merekomendasikan tempat belajar membaca dan menghafal Al-Quran yang memiliki silsilah bersambung hingga Rasululah SAW (meski tidak semuanya memiliki ijazah pengajaran), berikut ini ulasan singkat tempat-tempat tersebut.

Membahas pesantren Al-Quran modern tentu tidak lepas dari nama pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebab dari pesantren yang didirikan Mbah Moenauwir di awal abad 20 ini telah lahir banyak sekali pesantren alumni. Mbah Moenawwir mendalami pengajian Al-Qurannya selama enam belas tahun di di Makkah. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silsilah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Pesantren yang kini memiliki nama Al-Munawwir ini berada di bagian selatan pusat kota Yogyakarta. Saat ini pesantren yang telah membuka berbagai unit pendidikan formal, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga ma’had ali (pesantren luhur), itu diasuh oleh generasi kedua : K.H. Zainal Abidin Munawwir, K.H Ahmad Warson (penyusun kamus Al-Munawwir), K.H. Attabik Ali, K.H. Najib (pengasuh tahfzhul Quran) dan beberapa kiai lain.

Dekat Sunan Kudus
Masih di Yogyakarta, ada juga beberapa pesantren Al-Quran yang merupakan pesantren alumni Krapyak. Yang paling terkenal adalah Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Mufid Mas’ud. Pesantren yang berada di kilometer 12 jalan raya Kaliurang ini kini diasuh oleh putra-putri Mbah Mufid yang dipimpin oleh K.H. Mu’tashim Mufid.

Sementara di Jawa Tengah, jumlah pesantren Al-Quran lebih banyak lagi. Di kota Solo, misalnya, terdapat Pesantren Al-Muayyad yang diasuh oleh K.H. Abdul Rozaq Shofawi dan Pesantren Al-Qurani yang diasuh oleh K.H. Abdul Karim. Kedua pesantren yang sama-sama berlokasi di kampung Mangkuyudan, Purwosari, Laweyan Solo, itu memiliki sanad yang berbeda. Pesantren Al-Muayyad memiliki sanad dari Krapyak, Yogyakarta, sedangkan Pesantren Al-Qurani dari Tremas Pacitan.

Pesantren Al-Quran besar lain di Jawa Tengah terdapat di kota kretek, Kudus. Namanya Pesantren Yanbuul Quran yang berdiri di Kajeksan, tak jauh dari makam Sunan Kudus. Pesantren yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Arwani Amin (alumnus Krapyak) itu kini diasuh oleh K.H. Ulil Albab dan K.H. Ulin Nuha itu juga menjadi salah satu pusat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Tak jauh dari Kudus, di Demak juga berdiri beberapa pesantren Al-Quran. Yang paling terkenal adalah Pesantren Bustanul ‘Usyaqil Quran yang didirikan oleh K.H. Muhammad bin Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Desa Betengan. Kini Pesantren Betengan asuh oleh generasi kedua, K.H. Muhammad Harir. Ada juga Pesantren Nurul Quran, Sayung, yang diasuh oleh K.H. Masroni. Selain mengasuh pesantren Al-Quran, Kiai Masroni juga dikenal sebagai badal mursyid dalam Thariqah Syadziliyyah yang diasuh oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan.

Sementara di timur Kudus, tepatnya di daerah Kajen, Pati, berdiri Pesantren Mathali’ul Huda yang diasuh oleh K.H. Nafi’ Abdillah dan adik-adiknya. Pesantren peninggalan Mbah Kiai Abdullah Salam itu juga dikenal sebagai tempat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Selain itu masih ada lagi Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber di Wonosobo. Pesantren yang didirikan oleh almarhum K.H. Muntaha dan kini diasuh oleh K.H. Ahmad Faqih Muntaha itu juga membuka pendidikan umum mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pesantren Al-Quran lain yang sangat terkenal adalah Pesantren Benda Bumiayu yang didirikan oleh K.H. Suhaimi (murid Mbah Munawwir, Krapyak).

Di luar pesantren, pengajaran Al-Quran juga digelar Masjid Kauman Semarang. Pengajian itu awalnya diasuh oleh al-maghfur lah Kiai Abdullah Umar, murid mbah Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Sepeninggal Mbah Abdullah Umar, pengajian itu diteruskan oleh rekan dan murid-muridnya.

Sementara di Jawa Barat pengajaran Al-Quran berpusat di beberapa kota. Yang paling terkenal adalah Cirebon yang mempunyai tiga pesantren Al-Quran besar dan beberapa pesantren Al-Quran kecil. Yang terbesar adalah Pesantren Al-Quran Kempek (diasuh oleh K.H. Umar Sholeh), Pesantren Gedongan diasuh oleh K.H. Amin Siradj (paman K.H. Said Aqil Siradj) dan Pesantren Tahfzhul Akhlaq di Winong yang diasuh K.H. Rohibulloh.

Beasiswa Penghafal Al-Quran
Selain Cirebon, di Indramayu juga terdapat pesantren Al-Quran yang sedang naik daun, yaitu Pesantren Tarbiyatul Wildan yang diasuh K.H. Mamduh. Pesantren tahfizhul Quran ini terkenal karena membuka program tahfizh untuk anak-anak. Pola pengajaran pesantren ini mengadopsi sistem pendidikan di pesantren induknya, Pesantren Tarbiyatul Wildan Sedayu, Gresik, Jawa Timur.

Selain dua kota tersebut pengajaran tahfizhul Quran juga terdapat di Manonjaya (Tasikmalaya), Pesantren Darit Tafsir Pagentongan, Bogor, dan Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh Ajengan Syahid.

Sedangkan di Provinsi Banten, pesantren Al-Quran paling terkenal adalah Pesantren Cidahu, Cadasari, Pandeglang, yang didirikan oleh almarhum Abuya Dimyathi. Ada juga Pesantren Cikaduen, Banten, yang merupakan peninggalan K.H. Damanhuri.

Dan yang paling gress adalah Pesantren Darul Quran Bulaksantri Karangtengah Tangerang, yang diasuh oleh muballigh kondang Ustadz Yusuf Mansur. Untuk menguatkan program penghafalan Al-Qurannya, pesantren yang terkenal dengan program beasiswa pembibitan penghafal Al-Qurannya mendatangkan pengajar-pengajar Al-Quran dari beberapa pesantren Al-Quran terkenal di Jawa Tengah, seperti Yanbu’ul Quran Kudus dan Usyaqil Quran Betengen, Demak.

Tak kalah dengan provinsi lainnya di pulau Jawa, provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai gudangnya pesantren besar juga memiliki ratusan pesantren Al-Quran. Beberapa di antaranya sangat terkenal dan menjadi tujuan santri Al-Quran dari berbagai daerah untuk mengaji, baik yang baru mulai menghafal maupun yang hendak tabarukan.

Selain Pesantren Tremas Pacitan yang sebagaimana Krapyak juga menjadi muara silsilah sanad Pesantren Al-Quran, pengajian tahfizhul Quran terkenal tersebar di Gresik, Jombang, Kediri, dan Langitan. Uniknya beberapa pesantren Al-Quran tersebut merupakan bagian atau unit dari pesantren-pesantren kitab terkenal seperti Ploso, Lirboyo, Langitan dan Tebuireng.

Di Jombang, misalnya, ada pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng diasuh oleh K.H. Musta'in Syafi'i, Pesantren Nurul Quran Bendungrejo (diasuh K.H. Jumail Ruslan), dan Pesantren Nurul Jadid Plandi (diasuh K.H. Abdul Afif). Sementara di Kediri program penghafalan Al-Quran terdapat di Madrasah Murottilil Quran (MMQ) yang diasuh K.H. Abdullah Kafa bih Machrus dan Pesantren Darussalam yang diasuh K.H. Maftuh Bashtul Birri. Keduanya berada dalam lingkungan Pesantren Lirboyo. Ada juga Pesantren Maunahsari, Bandar Kidul, yang didirikan oleh K.H. Mubasyyir Munzir.

Masih banyak lagi nama pesantren di Jawa Timur yang tidak akan cukup diceritakan di sini. Jika anda berminat mendapatkan informasinya, anda bisa menghubungi kantor cabang terdekat Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz (JHQ) NU, organisasi sayap NU yang menaungi para qari dan qariah serta penghafal Al-Quran di Indonesia. (
Kang Iftah, pernah dimuat di majalah Alkisah edisi 19, terbit Ramadhan 1429/2008)

Baitul Mal Dalam Lintasan Sejarah

Lembaga Pengelola Keuangan Dunia Islam

Tak disangka, lembaga keuangan yang telah mengantarkan Islam pada puncak kejayaannya itu berawal dari sebuah kantung milik Abu Bakar Shiddiq.

Islam, dalam perjalananan sejarahnya banyak mengukir prestasi yang gilang gemilang. Pada masa kejayaannya Islam menjadi mercu suar peradaban dunia, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik maupun ilmiah. Dan hebatnya, semua aspek tersebut mendunia karena berbalut syariat yang bersumber dari Al-Quran, sunnah dan fatwa para alim ulama. Bahkan banyak konsep pengelolaan negara ala kaum muslimin tersebut yang kemudian menjadi inspirasi banyak ilmuwan dan negarawan dari generasi-generasi sesudahnya.

Negeri-negeri Islam di jaman pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, Dinasti Umayyah di Damaskus, Dinasti Abbasiyyah di Baghdad, Dinasti Umayyah II di Andalusia dan Dinasti Utsmaniyyah di Istambul dikenal sebagai negeri yang makmur. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin tidak terlihat mencolok, karena pemerataan ekonomi yang cukup baik. Dan salah satu pilar terpenting yang menopang pilar ekonomi tersebut, tanpa menafikan adanya kebocoran di sana sini yang merupakan kesalahan manusiawi, adalah sistem pengelolaan keuangannya yang dikelola berdasarkan syariat, yang bermuara di lembaga baitul mal.

Baitul Mal, menurut Ensiklopedi Hukum Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve, berasal dari dua kata Arab: bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi baitul mal adalah rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Sedangkan secara ishtilahi (terminologis), menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, baitul mal adalah lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.

Sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan pengelolaan hartanya diatur secara rinci oleh para fuqaha. Imam Al-Mawardi, penyusun kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, kitab standar ilmu ketatanegaraan Islam menjelaskan, sumber pemasukan tetap bagi baitul mal adalah shadaqah (termasuk di dalamnya zakat) dan fai’ atau upeti yang diperoleh di luar peperangan. Termasuk dalam fai itu juga jizyah (pajak uang) dan kharaj (pajak hasil bumi) yang diambil dari kafir dzimmi.

Harta Karun
Imam Hanafi dan Imam Malik menambahi sumber pemasukan baitul mal dengan ghanimah (harta rampasan perang). Sementara Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, menambahinya dengan harta warisan milik orang yang tidak memiliki ahli waris, kelebihan dari batasan sepertiga harta wasiat, seperlima (khumus) dari rikaz (harta karun), hasil pertambangan. Dan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menambahi lagi dengan hasil dari pemanfaatan barang milik umum kaum muslimin, seperti kebun wakaf, dan hasil dari pemanfaatan barang milik negara.

Mengenai zakat, Imam Syafi’i menolak memasukan zakat ke dalam barisan sumber pemasukan baitul mal. Namun belakangan banyak ulama yang memberi toleransi dengan syarat, harta zakat diletakkan pada kas atau bagian (diwan) khusus baitul mal karena pendistribusiannya yang memiliki aturan tersendiri, yakni hanya untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Adapun prosentase pembagiannya diserahkan kepada ijtihad kepala negara.

Kekayaan baitul mal yang diperoleh dari barang milik umum umat Islam juga harus diletakkan pada diwan tersendiri. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang oleh kepala negara harus dibelanjakan untuk urusan kemaslahatan kaum muslimin, sesuai ijtihadnya yang didasarkan kepada syari’at.

Sedangkan harta dari sumber lain, yang merupakan hak Baitul Mal, diletakkan secara bercampur pada diwan umum dan dibelanjakan untuk urusan umat (termasuk santunan untuk delapan ashnaf) dan urusan negara seperti gaji pegawai dan pejabat, serta apa saja yang penting menurut pandangan negara.

Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.

Masih banyak lagi aturan yang ditetapkan ulama dalam pengelolaan kekayaan baitul mal. Dari yang rutin sampai yang insidental seperti untuk membiayai pelaksanaan kewajiban jihad, atau penanggulangan bencana alam.

Lalu sejak kapan tepatnya baitul mal berdiri?

Para sejarawan bersepakat bahwa lembaga baitul mal secara fungsional sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Yaitu sejak kaum muslimin mendapatkan ghanimah berjumlah besar seusai Perang Badar. Ketika itu para shahabat berbeda pendapat tentang mekanisme dan prosentase pembagiannya. Lalu turunlah ayat pertama surah Al-Anfal yang menjelaskan pembagian tersebut:

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul. Oleh karena bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang yang beriman.

Ayat tersebut menegaskan bahwa harta rampasan perang adalah bagi seluruh kaum muslimin dan Rasulullah SAW selaku waliyyul amri diberi wewenang oleh Allh untuk membagikannya berdasarkan prinsip kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, dimulai fungsi baitul mal yang pengelolaannya secara sederhana dilakukan sendiri Rasulullah SAW.

Juru Catat
Pada masa Rasulullah SAW, baitul mal masih berkonotasi pihak (al-jihat) yang ditunjuk Rasulullah untuk menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu baitul mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta atau pengarsipan yang rapi untuk mencatatnya. Sebab harta yang diperoleh ketika itu belum banyak dan selalu langsung habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin dan dibelanjakan kepentingan umum.

Baitul mal pada masa Rasulullah SAW, belum memiliki kantor, arsip atau kepengurusan (diwan) tersendiri. Meski begitu budaya beliau telah mengangkat para juru catat di luar urusan menulis wahyu atau surat menyurat.

Muaiqib bin Abi Fatimah Ad-Dausiy, misalnya, ditunjuk Baginda Nabi menjadi pencatat harta ghanimah. Sedangkan Az Zubair bin Al-Awwam bertugas mencatat harta zakat, Hudzaifah bin Al-Yaman sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian warga Hijaz, Abdullah bin Ruwahah sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian warga Khaibar, Al-Mughirah bin Syu’bah sebagai pencatat hutang piutang dan mu’amalah yang dilakukan negara, serta Abdullah bin Arqam sebagai penulis urusan kemasyarakatan terkait kepentingan kabilah dan sumber airnya.

Hanzhalah bin Shaifi, sahabat yang bertugas sebagai juru tulis Nabi SA, menceritakan, “Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku atas segala urusan pada hari ketiga (setelah peperangan)”

“Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari,” lanjut Hanzhalah, “kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya, agar segera didistribusikan. Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam dengan ada harta (umat) masih berada di sisi beliau.”

Sepeninggal Rasulullah SAW, Sayyidina Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Tradisi sederhana baitul mal pun masih terus berlangsung di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Setiap kali harta ghanimah datang dari wilayah-wilayah kekuasaan Islam, Abu Bakar langsung membawanya ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam pembagian tersebut Khalifah Abu Bakar dibantu oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Baru pada tahun kedua kepemimpinannya (12 H/633 M), Khalifah Abu Bakar merintis embrio baitul mal sebagai lembaga mandiri. Saat itu baitul mal tak lagi sekedar bermakna pihak (al-jihat) yang menangani harta umat, namun sudah menjadi tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Bentuknya pun masih sangat sederhana, Abu Bakar menyiapkan sebuah karung atau kantung khusus di untuk menyimpan harta yang dikirimkan para gubernur ke Madinah.

Namun Abu Bakar Shiddiq adalah pemimpin yang sangat amanah. Meski mewarisi kekuasaan Rasulullah dalam mengelola keuangan umat, ia tidak pernah secuil pun menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Untuk memenuhi keperluan nafkah dirinya dan keluarganya, sang khalifah itu memilih itu tetap berdagang. Terbukti pada hari kedua setelah dibai’at sebagai Khalifah, Abu Bakar kembali ke pasar untuk berdagang.

4000 Dirham Setahun
Diriwayatkan secara mengharukan oleh lbnu Sa’ad (wafat 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, suatu ketika khalifah tengah berjalan ke pasar dengan memikul dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan sahabatnya, Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, wahai Khalifah?”
Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?”
Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?”
Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”

Karena Abu Bakar merasa segan, Umar pun menemaninya menemui Abu Ubaidah, sang bendahara negara (pejabat baitul mal). Oleh Abu Ubaidah lalu ditetapkan santunan (ta’widh) tahunan untuk khalifah sebesar 4000 dirham, jumlah yang sesuai untuk kebutuhan hidup seseorang secara sederhana.

Meskipun santunan itu telah ditetapkan secara sah secara syariat, namun hal itu tidak membuat Khalifah Abu Bakar senang dan tentram. Tak ingin sedikit pun terbebani oleh harta kaum muslimin, menjelang ajalnya Abu Bakar berpesan kepada ahli warisnya untuk mengembalikan santunan sejumlah 8.000 dirham yang pernah diterimanya selama dua tahun dari baitul mal.

Ketika sepeninggal Abu Bakar Shiddiq keluarganya mengembalikan uang tersebut ke baitul mal, Umar bin Khaththab yang diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah (berat) orang-orang yang datang setelahnya (untuk mengikutinya).”

Setelah Abu Bakar wafat, Khalifah Umar bin Khaththab mengajak bendaharawan masuk ke rumah Abu Bakar untuk membuka kantung baitul mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja yang tersisa di dalamnya. Abu Bakar telah benar-benar menasharrufkan harta baitul mal untuk kemaslahatan umat Islam.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, kejayaan Islam semakin terlihat. Para mujahid muslim yang dipimpin oleh panglima-panglima yang ditunjuk khalifah berhasil menaklukan banyak negeri. Yang terbesar adalah Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi) di Palestina dan Mesir.

Seiring dengan hal itu semakin banyak pula harta rampasan yang mengalir ke kota Madinah, sehingga tak bisa lagi ditampung dalam sebuah kantung. Khalifah Umar kemudian membangun sebuah rumah khusus untuk penyimpanan harta dan membentuk diwan-diwannya.

Dalam tata administrasi baitul mal, diwan berarti tempat di mana para penulis baitul mal bekerja dan arsip-arsip disimpan, atau kantor baitul mal. Terkadang diwan juga diartikan arsip itu sendiri.

Menurut salah satu riwayat, latar belakang pembentukan diwan pada masa Khalifah Umar adalah ketika suatu malam Abu Hurairah menyerahkan harta yang melimpah ruah yang diperolehnya dari Bahrain, sekitar tahun 20 H. Khalifah Umar pun bertanya kepadanya, “Apa yang kamu bawa ini?”
Abu Hurairah menjawab, “Saya membawa 500 ribu dirham.”
Umar berkata, “Apakah itu harta yang halal?”
Abu Hurairah menjawab, “Demikianlah adanya.”

Dua Potong Pakaian
Karena gembira Khalifah Umar pun kemudian naik mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kita harta yang banyak, jika kalian menghendaki, kami akan menimbangnya bagi kalian. Jika kalian menghendaki, kami akan menghitungnya.”

Seorang laki-laki berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, buatlah diwan-diwan (kantor) baitul mal untuk kaum muslimin, sehingga mereka dapat mengambil bagiannya dari sana.”

Umar bin Khaththab lalu bermusyawarah dengan kaum muslimin mengenai pembentukan diwan-diwan baitul Mal tersebut. Di antara yang hadir tampak Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughirah.

Sayyidina Ali berkata, “Bagikanlah harta yang terkumpul kepadamu setiap tahun dan janganlah engkau tahan dari harta itu sedikitpun”

Utsman berkata, “Aku melihat harta yang banyak yang mendatangi manusia. Jika mereka tidak diatur sampai diketahui mana orang yang sudah mengambil bagiannya dan mana yang belum, maka aku khawatir hal ini akan mengacaukan keadaan.”

Dan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughirah berkata, “Ketika tinggal di Syam aku melihat raja-rajanya membuat diwan-diwan dan membangun angkatan perangnya.”

Mendengar keterangan tersebut, maka Khalifah Umar menyetujuinya. Khalifah Umar juga mengangkat para penulis (sekretaris pemerintah) dan membangun angkatan perang yang digaji secara profesional dari harta Baitul Mal.

Terkadang sang khalifah juga menyisihkan seperlima bagian dari harta ghanimah dan membawanya ke masjid untuk dibagi-bagikan. Bisa dibilang pada masa Umar bin Khaththab itulah baitul mal berdiri secara resmi dan profesional sebagai kelembagaan keuangan umat dan negara.

Sebagaimana Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab pun sangat berhati-hati dalam mengelola baitul mal, sesuai aturan syariat. Dalam salah satu pidatonya tentang hak seorang khalifah dari baitul mal, yang dicatat oleh lbnu Katsir (700-774 H/1300-1373 M) dalam tarikhnya, Khalifah Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan harian seorang Quraisy biasa. Dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”

Kemajuan baitul mal semakin terasa pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M). Namun, karena terpengaruh oleh keluarganya, banyak kebijakan pengelolaan baitul mal Khalifah Usman yang mendapat protes dari umat.

Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang ahli hadits, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad berkomentar tentang kekhalifahan Utsman. “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima) kepada Marwan (sekretarisnya yang kelak menjadi khalifah keempat Bani Umayyah) dari pemasukan ghanimah Mesir, serta harta lain yang jumlahnya sangat banyak kepada kerabatnya,” kata Ibnu Syihab Az-Zuhri.

“Usman menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sebagian kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya,” kata Az-Zuhri.

Selama Matahari Terbit
Kondisi, fungsi dan pengawasan baitul baru kembali ke relnya semula pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M), yang menggantikan Utsman yang gugur terbunuh. Sebagaimana Abu Bakar dan Umar, Khalifah Ali juga mendapat santunan tahunan dari Baitul Mal. lbnu Katsir menceritakan, jatah pakaian Imam Ali bin Abi Thalib dari baitul mal hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering kali bajunya itu penuh dengan tambalan.

Ketika pecah Perang Shiffin, antara Ali dan Mu’awiyah, banyak orang dekat Khalifah Ali menyarankannya mengambil dana dari Baitul Mal untuk menghadiahi orang-orang yang sudah membantunya. Tujuannya baik, untuk mempertahankan persatuan umat dan dan mengokohkan pemerintahan yang sah.

Mendengar usulan itu, Imam Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Enskilopedi Hukum Islam, 1999)

Sepeninggal Khulafaur Rasyidun, kekhalifahan umat Islam jatuh ke tangan Dinasti Bani Umayyah. Baitul mal pun berubah fungsi. Abul A’la Al-Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya baitul mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanah Allah SWT dan kaum muslimin yang dikelola secara transparan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah lembaga baitul mal sepenuhnya berada di tangan penguasa tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.

Baitul mal sempat kembali ke tempat yang seharusnya pada masa pemerintahan khalifah kedelapan Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Dengan kebersihan hatinya pemimpin yang berjuluk khulafaur rasyidun kelima itu berupaya keras menjaga baitul mal dari pemasukan yang tidak halal dan pendistribusian yang tidak pada tempatnya secara syariat.

Khalifah Umar menekan para Amir bawahannya untuk mengembalikan harta yang tidak halal yang sebelumnya mereka ambil dari baitul mal dan sumber-sumberr lain yang tidak sah. Tak hanya memerintah, Umar bin Abdul Aziz sendiri mengembalikan harta pribadinya sendiri senilai 40.000 dinar ke Baitul Mal. Harta itu ia peroleh sebagai warisan dari ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan.

Namun, kondisi baitul mal yang telah dikembalikan kepada fungsi yang haq itu tidak bertahan lama. Keluarga Bani Umayyah yang cemas kehilangan hartanya lalu membunuh khalifah yang jujur itu dengan meracuninya. Para pengganti Umar kembali bertindak seperti leluhurnya yang mengangkangi baitul mal untuk kepentingan pribadi.

Meski kocar-kacir, pemerintahan Bani Umayyah juga memberikan beberapa sentuhan positif dalam pengelolaan baitul mal. Di antaranya perubahan sistem bahasa arsip dan pencatatan pemasukan serta pengeluaran ke dalam bahasa Arab, sehingga memudahkan pemeriksaan.

Bahasa Arsip
Awalnya hanya pengeluaran saja yang dicatat dalam bahasa Arab, sementara pemasukan ditulis dalam bahasa wilayah tempat harta itu diperoleh. Pada tahun 81 H, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah, seluruh diwan (arsip) yang mencatat segala sesuatu mengenai urusan harta negeri syam dan akhirnya seluruh negeri Islam, diubah penulisannya dengan bahasa Arab.

Keserakahan para penguasa Bani Umayyah terus menggerogoti sendi-sendi Baitul Mal dan berlanjut pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tak sedikit kritik yang datang dari kaum ulama shalih yang hidup pada setiap masa itu. Namun semuanya diabaikan atau sang ulama diintimidasi agar tutup mulut.

Imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, misalnya, pernah mengritik dengan pedas kebijakan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (khalifah kedua Bani Abbasiyah, yang dipandangnya berlaku curang dalam mengelola Baitul Mal. Ketika Al-Manshur sering memberikan hadiah kepada orang-orang dekatnya dengan uang dan perhiasan yang diambil dari baitul mal. Tak hanya mengritik, Imam Abu Hanifah juga menolak ketika Khalifah Al-Manshur memberinya bingkisan pada hari raya.


Imam Abu Hanifah berkata, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari baitul mal, milik kaum muslimin. Sedangkan aku tidak memiliki hak untuk mengambil darinya..”

Setelah Abbasiyyah runtuh, baitul mal terus hidup di negeri-negeri muslim yang dikelola dengan secara Islami. Baitul mal ikut menjadi saksi kejayaan Islam di Andalusia, kehebatan kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib dan berkibarnya bendera kedigjayaan kekhalifahan terakhir yang dipimpin oleh Dinasti Utsmani di Turki. Pamor baitul mal baru benar-benar pudar ketika khilafah terakhir itu runtuh pada tahun 1924.

Dan kini ketika banyak orang yang mendambakan kembalinya kejayaan Islam, mungkin sudah waktunya baitul mal sebagai satu-satunya mesin pengelola keuangan kaum muslimin yang berlandaskan syariat dihidupkan kembali. Mungkin sudah waktunya umat Islam bersatu dalam sebuah sistem ekonomi mandiri yang berpihak kepada keadilan dan kejujuran, agar kedigjyaan umat Islam tidak terus menjadi utopia. (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah Alkisah edisi 21, Syawwal 1429/2008)

Membaca Lagi Kitab Maulid

Madah Indah Untuk Rasulullah

Seiring perjalanan waktu, bermunculan kelompok yang mempertanyakan keabsahan maulid dengan segala syair pujiannya. Namun mayoritas ulama bersikukuh, Rasulullah memang layak dipuji setinggi langit, sebagaimana Allah telah memuji beliau dengan ungkapan teragung-Nya.

Rabi’ul Awwal segera tiba. Di berbagai tempat, umat Islam sibuk mempersiapkan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Dari yang akan menggelar acara besar-besaran dan berdurasi panjang seperti sekatenan di Solo dan Yogya, sampai yang cuma pengajian kecil-kecilan di rumah. Dari yang diikuti ribuan orang seperti maulidan di kediaman para habaib terkemuka, sampai yang cuma diikuti belasan orang di langgar kecil di kampung-kampung.

Meski bentuk acaranya beragam, ada satu mata acara yang nyaris sama di berbagai tempat : pembacaan maulid nabi. Setiap daerah mempunyai bacaan maulid favoritnya masing-masing. Di komunitas habaib, misalnya, yang selalu dibaca adalah Simthud Durar karya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Sementara pesantren-pesantren tradisional di Jawa Timur lebih akrab dengan Maulid Ad-Diba’i karya Syaikh Ali bin Abdurrahman Ad-Diba’i Az-Zubaidi. Maulid yang sama juga dibaca oleh sebagian habaib di Sampang, Madura.

Lain lagi tradisi di sebagian pesisir utara Jawa yang kalangan pesantren dan majelis taklim ibu-ibunya menggemari pembacaan Maulid Barzanji yang digubah oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji. Ada juga komunitas habaib yang membaca Maulid Burdah karya Imam Al-Bushiri seperti di Kauman, Semarang. Selain Al-Barzanji, sebagian warga Betawi juga ada yang membaca Maulid ‘Azabi karya Syaikh Ahmad Al-Azabi.

Belakangan di beberapa tempat juga dibaca Maulid Adh-Dhiyaul Lami’ karya Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz. Pembacanya rata-rata adalah alumnus Ma’had Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, yang memang diasuh oleh sang penggubah maulid kontemporer tersebut.
Pembacaan maulid Nabi SAW memang merupakan salah satu khazanah kebudayaan Islam yang luar biasa. Keindahan gaya bahasa karya para ulama ahli sastra yang terdiri dari natsar (prosa) dan nazham (langgam qasidah) itu bak rangkaian mutu manikam. Ungkapan-ungkapannya yang cantik menawan tak jarang menghanyutkan perasaan pembaca dan pendengarnya dalam samudera kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Tak mengherankan dalam pembacaan maulid kerap kali dijumpai hadirin yang menangis haru. Tak jarang linangan air mata itu juga ditingkahi dengan histeria kerinduan kepada Sang Nabi Akhir Zaman tersebut. Pengaruh psikologisnya yang dahsyat inilah yang dulu diharapkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, raja dinasti Ayyubiyyah, saat pertama kali mencetuskan penyelenggaraan pembacaan maulid nabi.

Menggugah Semangat
Dikisahkan, ketika itu Shalahuddin gundah melihat semangat jihad umat Islam yang berada di titik terlemah. Padahal semangat itu sedang dibutuhkan untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Pasukan Salib. Melalui perayaan dan pembacaan maulid-lah pahlawan perang salib yang ditakuti oleh tentara Kristen itu berhasil menggugah kembali kesadaran semangat umat Islam. Berkahnya, Shalahuddin dan para mujahid yang dipimpinnya berhasil memenangkan perang Salib.

Upaya memelihara semangat dan ghirah keislaman itulah yang hendak ditonjolkan para ulama nusantara saat memperkenalkan dan melestarikan perayaan maulid nabi. Dampak psikologis pembacaan itu tentu juga berhasil di negeri ini, terbukti dari semakin maraknya acara-acara maulid serta dari semakin membanjirnya jumlah muhibbin yang mengikuti.

Namun sayang, seiring perkembangan waktu, keasyikan membaca maulid terusik. Beberapa kelompok yang menamakan diri pemurni aqidah ahlussunnah wal jamaah menggugat pembacaan maulid. Menurut mereka perayaan maulid nabi adalah amalan bid’ah dan pembacaan maulid sarat dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung kemusyrikan.

Dalam berbagai tulisan di internet, misalnya, kelompok yang didominasi penganut paham wahabi itu menyerang habis-habisan ritual maulidan. Tak hanya menuding, mereka juga menukilkan contoh-contoh syair yang kalimatnya dianggap terlalu berlebihan dalam memuji Baginda Nabi hingga cenderung menuhankan beliau.

Tak mau kalah, para pembaca maulid pun membuat pembelaan. Di antara yang menulis buku pembelaan terhadap maulid adalah Sayyid Muhammad Al-Maliki, ulama besar Al-Haramain yang wafat tahun 2004 lalu dan Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani, tokoh Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah Amerika Serikat.

Pembelaan dari tanah air juga tak kurang banyak. Yang paling baru dan cukup fenomenal adalah Habib Novel Alaydrus yang mengupas persoalan maulid secara khusus dalam jilid kedua buku serialnya yang laris manis yang berjudul Mana Dalilnya II.

Ada fenomena menarik dalam polemik perayaan maulid nabi tersebut. Pada awal kemunculannya di jagat maya, kelompok anti maulid menggunakan isu bid’ah untuk menyesatkan tradisi maulidan. Menurut mereka peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tidak mempunyai dasar yang kuat dalam hukum Islam, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Segera saja tudingan ini dijawab oleh ulama pengamal maulid dengan berbagai argumentasi dan dalil yang cukup meyakinkan. Ada sebagian yang menyatakan, tidak semua hal yang tidak diajarkan oleh Rasulullah hukumnya haram dilakukan. Apalagi jika tidak ada nash, ayat Al-Quran, yang melarangnya.

Contohnya yang paling mudah adalah pembukuan Al-Quran yang pada zaman nabi tidak pernah dilakukan, apalagi lengkap dengan tanda bacanya seperti sekarang. Bahkan Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat ahli qiraah, menyatakan, “Jangan beri titik maupun harakat pada Al-Quran.”
Tanda baca dan titik itu baru dibubuhkan pada huruf Hijaiyah dalam penulisan mushaf Al-Quran pada akhir abad pertama Hijri oleh Yahya bin Ya'mar (wafat sebelum 90 H/670 M). Sedangkan pemberian tanda baca fathah, kasrah, dhammah, dan sejenisnya (syakal), dibubuhkan beberapa waktu setelahnya.

Imam Ghazali, terkait masalah bid’ah ini, menyatakan, “Cukup banyak perbuatan baru (bid’ah) yang baik, seperti misalnya shalat Tarawih berjamaah di masjid selama bulan Ramadhan – yang merupakan salah satu bid'ah dari Khalifah 'Umar bin Khatthab. Itu merupakan bid'ah yang baik (bid'ah hasanah), yang tidak bertentangan dengan sunnah.”

Maulid Ala Rasulullah
Ada juga ulama yang dengan tegas menyatakan, anggapan bahwa Maulid adalah bid’ah tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika ditelusuri lebih jauh akan ditemukan, Rasulullah SAW sendirilah yang pertama kali mencontohkan peringatan Maulid. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad disebutkan, ketika ditanya tentang alasan puasa beliau di hari Senin, Rasulullah SAW bersabda, “Di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula aku memperoleh wahyu.”

Dari hadits tersebut para ulama pengamal Maulid berhujjah, jika Nabi Muhammad SAW tidak ingin umatnya mengenang dan memuliakan hari kelahiran beliau, ketika ditanya tentang puasa hari Senin beliau hanya akan menjawab dengan hadits berikut, “Amal perbuatan itu dilaporkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amal perbuatanku dilaporkan saat aku dalam keadaan berpuasa.” (HR Tirmidzi).

Puasa merupakan salah satu cara terbaik untuk mengenang kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada cara lain untuk memuliakan hari kelahiran beliau. Oleh karena itu, dalam merayakan dan memuliakan kelahiran Rasulullah SAW, umat Islam memiliki cara berbeda-beda, sesuai kemampuan masing-masing.

Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi, Imam Suyuthi menulis, “Sesungguhnya kelahiran Rasululluh SAW merupakan nikmat teragung yang dianugerahkan Allah kepada kita, dan wafatnya beliau adalah musibah terbesar bagi kita. Syariat telah memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh, dan bersabar serta tenang dalam menghadapi musibah. Syariat juga memerintahkan untuk melakukan aqiqah bagi bayi yang lahir, sebagai perwujudan rasa syukur. Namun, ketika kematian tiba, syariat tidak memerintahkan untuk menyembelih kambing atau hewan lain. Bahkan syariat melarang untuk meratapi mayat dan menampakkan keluh kesah.”

Begitu juga dengan senandung pujian untuk SAW, yang sudah ada sejak beliau masih hidup. Usai Perang Tabuk, Sayidina ‘Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW, menemui Rasulullah dan berkata, “Aku ingin mengucapkan syair pujian untukmu.” Namun Nabi, yang memang enggan dipuji, berkata, “Semoga Allah menjaga gigimu dari kerontokan.”

Tanpa menghiraukan jawaban Nabi, Sayidina 'Abbas melantunkan syair yang menceritakan perjalanan hidup Nabi sejak sebelum lahir hingga saat-saat kelahirannya:

Sebelum terlahir ke dunia

engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan
engkau tersimpan di tempat yang aman
Kemudian engkau turun ke bumi
Bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging
tetapi nutfah yang menaiki perahu Nuh
Ketika banjir besar menenggelamkan semuanya
anak-cucu Adam beserta keluarganya
engkau berpindah dari sulbi ke rahim
dari satu generasi ke generasi berikutnya
Hingga kemuliaan dan kehormatanmu
berlabuh di nasab terbaik
yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir
bumi bersinar
cakrawala bermandikan cahayamu
Kami pun berjalan di tengah cahaya
sinar dan jalan yang penuh petunjuk

“Oleh karena itu sungguh aneh jika ada orang yang menyatakan bahwa para sahabat tidak pernah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, padahal Sayidina Abbas pernah menyampaikan bait-bait syair tersebut di hadapan beliau dan sejumlah sahabat,” tulis Habib Novel Alaidrus, dalam bukunya Mana Dalilnya II. Inilah salah satu bentuk peringatan Maulid yang diselenggarakan – dan mungkin yang pertama kali – oleh para sahabat.

Batasan Kemanusiaan
Begitu kuat hujjah ketidak bid’ahan perayaan maulid hingga belakangan kelompok penentang maulid mengalihkan isunya pada ungkapan-ungkapan dalam syair maulid yang menurut mereke berlebihan bahkan cenderung mengandung kemusyrikan. Serangan itu pun kemudian dijawab dengan lugas oleh para ulama pecinta maulid.

Habib Novel Alaydrus,misalnya, menulis, “Mengapa? Di zaman sekarang, masyarakat kita – bahkan termasuk kaum muslimin sendiri – banyak yang memuja-muja artis, bintang film, pemain bola, dan tokoh-tokoh lain yang mereka idolakan. Tapi, mengapa tak seorang pun yang menuding hal itu sebagai syirik? Ada seorang suami memuja istrinya dengan kalimat melambung, tapi hal itu tidak bisa digolongkan sebagai musyrik dan berdosa. Sebab, ungkapan seperti itu semata-mata ungkapan rasa cinta.

Begitu pula halnya dengan pujian yang melambung bagi Rasulullah SAW – yang memang sudah selayaknya, mengingat akhlaq beliau yang mulia, sosok kepribadian beliau yang luar biasa sebagai contoh teladan yang baik (uswatun hasanah). Memang, Rasulullah SAW pernah melarang umatnya menyanjung dan memuja beliau. Tapi, larangan itu dalam konteks yang berbeda. Dalam sebuah hadits shahih, beliau bersabda, “Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR Bukhari dan Ahmad).”

Mengenai hadits tersebut, dalam beberapa kitab para ulama menjelaskan, sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah melarang umatnya memuji beliau. Yang beliau larang ialah pujian yang berlebihan seperti yang dilakukan oleh umat Nasrani kepada Nabi Isa, yaitu menempatkan Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Inilah jenis pujian yang dilarang oleh Rasulullah SAW, dan inilah yang dimaksud dengan pujian yang berlebih-lebihan.

Terbukti, sejak hadits tersebut diucapkan hingga saat ini, tak seorang pun yang memuji Rasulullah SAW melebihi batasannya sebagai manusia. Tak seorang pun yang menuhankan beliau. Bahkan, semua pujian yang indah dan berbahasa sastra belum seberapa dibanding pujian Allah dalam Al-Quran. Dalam syair Burdah-nya, Imam Bushiri menulis:

Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas nabi mereka
Pujilah beliau sesukamu dengan sempurna
Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya
Dan nisbatkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliannya
Karena sesungguhnya kemuliaan Rasulullah tak ada batasnya
Sehingga tak akan ada lisan yang mampu mengungkapkan kemuliaan itu

Pembelaan Ahli Sastra
Pembelaan juga datang dari seorang ahli sastra Arab, Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam, guru besar bahasa dan sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ilmuwan yang juga salah seorang rais syuriyyah PBNU itu mengatakan, “Yang pertama kali harus diingat, maulid adalah sebuah karya sastra Arab. Maka jika ingin membacanya secara kritis dan mendalam, seseorang harus menggunakan kaca mata sastra Arab. Dan menurut kacamata sastra Arab, maulid-maulid tersebut adalah maha karya yang sangat indah dan memiliki cita rasa seni yang tinggi.”

Adapun pujian yang terkadang dianggap berlebihan, tambah Kiai Chatib, dalam ranah sastra adalah hal yang biasa. Ini karena ketika menyusun sebuah karya sastra, seorang sastrawan biasa mengedepankan faktor rasa (athifah)-nya. Bisa perasaan benci, cinta, hormat, senang, sedih, takut, segan dan sebagainya. Perasaan itulah yang kemudian dituangkan ke dalam bait-bait syair.

Dalam konteks kitab maulid, jelas, yang terasakan oleh sang pujangga adalah sebuah kerinduan dan cinta kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Misalnya syair “Fi hubbi Sayyidina Muhammad, nurul li badril huda mutammam, dengan mencintai Muhammad, junjungan kita, menjadi sempurnalah cahaya purnama hidayah.”

Karya sastra juga pasti mengandung khayaliyyah (imajinasi). Dalam maulid, misalnya, sang pujangga membayangkan kehadiran pribadi Rasulullah SAW atau pertemuan dengan beliau. Imajinasi pertemuan dengan Sang Nabi Pilihan tentu akan memancarkan kekaguman yang luar biasa. Yang seringkali menghasilkan syair berbentuk tasybih (penyerupaan) bahkan majaz alias metafora.

Perumpamaannya adalah penyebutan Rasulullah SAW sebagai syamsun (matahari), badrun (rembulan) atau nurun fauqa nuri (cahaya di atas cahaya). Dalam bahasa Indonesia beberapa ungkapan majazi seperti ini juga dikenal, misalnya dalam kalimat “Pidatonya menggelegar seperti auman singa” atau “Kiai Fulan memang singa podium yang ditakuti”.

Ada juga bentuk khayaliyyah lain yang dinamakan kinayah yang berarti kiasan. Contohnya, syair “fa aghitsni wa ajirni, ya mujiru minas sa’ir, maka tolong dan selamatkan aku, wahai penyelamat dari neraka sa’ir” (Al- Barzanji). Maknanya tentu saja pengharapan atas syafaat nabi Muhammad yang memang bisa menghapus dosa. Jika dosa terhapus otomatis akan bebas dari api neraka. Syafaat nabi sendiri secara mu’tabar diakui oleh para ulama semua golongan. (Lebih lanjut tentang penjelasan Kiai Chatibul Umam, baca Box Wawancara I)

Hal senada juga disampaikan oleh K.H. Saifudin Amsir, ulama senior Betawi yang sejak muda sangat mendalami maulid. Menurut ulama yang juga dosen IAIN Ciputat itu dalam hal memuji orang lain melalui sastra, bangsa Arab memang sejak dulu dikenal sangat jor-joran.
“Kalo muji orang nggak pernah tanggung-tanggung. Sebab kalo nanggung, mendingan nggak muji sekalian,” ungkap Kiai Saifudin.

Dan perdebatan boleh atau tidaknya maulid sudah dimulai sejak abad pertengahan, dengan dipelopori oleh Ibnu Taymiyyah. Lucunya, tambah salah seorang rais syuriyyah PBNU tersebut, tokoh-tokoh anti maulid juga banyak melakukan hal-hal yang sama dengan maulid. Murid-murid Ibnu Taymiyyah seperti Ibn Qayyim dan Adz-Dzahabi, misalnya, banyak membuat diwan-diwan (syair pujian) yang ditujukan kepada tokoh lain semisal gurunya atau ulama sebelumnya, yang tak kalah dahsyat dari pada maulid.

“Pujian berlebihan terhadap Nabi SAW mereka haramkan, tetapi pujian berlebih terhadap umatnya mereka lakukan,” pungkasnya.

Pujian Allah SWT
Kalo mau ditelusuri secara lebih mendalam, pujian “melangit” terhadap Nabi Muhammad SAW sebenarnya justru diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Salah satunya adalah dengan penyematan ismu tafdhil (bentuk penyangatan kata yang biasanya dijadiak nama atau sifat Allah) kepada Nabi Muhammad.

Misalnya, di akhir ayat 218 surah at-Taubah Allah Ta’ala menyifati Rasulullah dengan dua namanya, yakni Ar-Rauf dan Ar-Rahim. Dalam konteks Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang maha indah), Ar-Rauf berarti Dzat yang Maha Berbelas kasih atau Maha Pengasih dan Ar-Rahim bermakna Maha Penyayang.

Mengenai hal ini, Profesor Chatibul Umam menjelaskan, kata Ar-Rauf dan Ar-Rahim yang disematkan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai pujian dan pengakuan bahwa dalam hal berbelas kasih dan menyayangi sesama manusia khususnya orang mukmin beliau memang tak tertandingi oleh manusia manapun. “Tetapi tentu tidak se-Rauf dan Rahim Allah,” tambahnya.

Dalam khazanah khususnya tasawuf dan filsafat, guru besar yang telah menghasilkan ratusan karya tulis itu menambahkan, memang ada doktrin bahwa manusia memang bisa mempunyai sifat-sifat ketuhanan, meski tentu dalam kadar yang sangat berbeda. Pengertian ini sudah dimaklumi oleh para ulama.

Kaitannya dengan maulid, ketika seorang ulama ahli sastra memuji-muji Nabi Muhammad setinggi langit, sesungguhnya pujian itu tetap dalam batas maksimal kemanusiaan beliau. Bukan dengan tujuan menyerupakan apa lagi menyekutukan Allah. Terlebih, Rasulullah dengan segala keutamaan insani-nya sesungguhnya memang berhak mendapatkan kemuliaan dan pujian itu. (Kang Iftah, Jakarta, pernah dimuat di majalah Alkisah, edisi 06/2008)