Lembaga Pengelola Keuangan Dunia Islam
Tak disangka, lembaga keuangan yang telah mengantarkan Islam pada puncak kejayaannya itu berawal dari sebuah kantung milik Abu Bakar Shiddiq.
Islam, dalam perjalananan sejarahnya banyak mengukir prestasi yang gilang gemilang. Pada masa kejayaannya Islam menjadi mercu suar peradaban dunia, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik maupun ilmiah. Dan hebatnya, semua aspek tersebut mendunia karena berbalut syariat yang bersumber dari Al-Quran, sunnah dan fatwa para alim ulama. Bahkan banyak konsep pengelolaan negara ala kaum muslimin tersebut yang kemudian menjadi inspirasi banyak ilmuwan dan negarawan dari generasi-generasi sesudahnya.
Negeri-negeri Islam di jaman pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, Dinasti Umayyah di Damaskus, Dinasti Abbasiyyah di Baghdad, Dinasti Umayyah II di Andalusia dan Dinasti Utsmaniyyah di Istambul dikenal sebagai negeri yang makmur. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin tidak terlihat mencolok, karena pemerataan ekonomi yang cukup baik. Dan salah satu pilar terpenting yang menopang pilar ekonomi tersebut, tanpa menafikan adanya kebocoran di sana sini yang merupakan kesalahan manusiawi, adalah sistem pengelolaan keuangannya yang dikelola berdasarkan syariat, yang bermuara di lembaga baitul mal.
Baitul Mal, menurut Ensiklopedi Hukum Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve, berasal dari dua kata Arab: bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi baitul mal adalah rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Sedangkan secara ishtilahi (terminologis), menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum (1983) dalam Al-Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, baitul mal adalah lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
Sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan pengelolaan hartanya diatur secara rinci oleh para fuqaha. Imam Al-Mawardi, penyusun kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, kitab standar ilmu ketatanegaraan Islam menjelaskan, sumber pemasukan tetap bagi baitul mal adalah shadaqah (termasuk di dalamnya zakat) dan fai’ atau upeti yang diperoleh di luar peperangan. Termasuk dalam fai itu juga jizyah (pajak uang) dan kharaj (pajak hasil bumi) yang diambil dari kafir dzimmi.
Harta Karun
Imam Hanafi dan Imam Malik menambahi sumber pemasukan baitul mal dengan ghanimah (harta rampasan perang). Sementara Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, menambahinya dengan harta warisan milik orang yang tidak memiliki ahli waris, kelebihan dari batasan sepertiga harta wasiat, seperlima (khumus) dari rikaz (harta karun), hasil pertambangan. Dan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menambahi lagi dengan hasil dari pemanfaatan barang milik umum kaum muslimin, seperti kebun wakaf, dan hasil dari pemanfaatan barang milik negara.
Mengenai zakat, Imam Syafi’i menolak memasukan zakat ke dalam barisan sumber pemasukan baitul mal. Namun belakangan banyak ulama yang memberi toleransi dengan syarat, harta zakat diletakkan pada kas atau bagian (diwan) khusus baitul mal karena pendistribusiannya yang memiliki aturan tersendiri, yakni hanya untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an. Adapun prosentase pembagiannya diserahkan kepada ijtihad kepala negara.
Kekayaan baitul mal yang diperoleh dari barang milik umum umat Islam juga harus diletakkan pada diwan tersendiri. Sebab harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin, yang oleh kepala negara harus dibelanjakan untuk urusan kemaslahatan kaum muslimin, sesuai ijtihadnya yang didasarkan kepada syari’at.
Sedangkan harta dari sumber lain, yang merupakan hak Baitul Mal, diletakkan secara bercampur pada diwan umum dan dibelanjakan untuk urusan umat (termasuk santunan untuk delapan ashnaf) dan urusan negara seperti gaji pegawai dan pejabat, serta apa saja yang penting menurut pandangan negara.
Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat.
Masih banyak lagi aturan yang ditetapkan ulama dalam pengelolaan kekayaan baitul mal. Dari yang rutin sampai yang insidental seperti untuk membiayai pelaksanaan kewajiban jihad, atau penanggulangan bencana alam.
Lalu sejak kapan tepatnya baitul mal berdiri?
Para sejarawan bersepakat bahwa lembaga baitul mal secara fungsional sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Yaitu sejak kaum muslimin mendapatkan ghanimah berjumlah besar seusai Perang Badar. Ketika itu para shahabat berbeda pendapat tentang mekanisme dan prosentase pembagiannya. Lalu turunlah ayat pertama surah Al-Anfal yang menjelaskan pembagian tersebut:
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘harta rampasan perang itu adalah milik Allah dan Rasul. Oleh karena bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang yang beriman.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa harta rampasan perang adalah bagi seluruh kaum muslimin dan Rasulullah SAW selaku waliyyul amri diberi wewenang oleh Allh untuk membagikannya berdasarkan prinsip kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, dimulai fungsi baitul mal yang pengelolaannya secara sederhana dilakukan sendiri Rasulullah SAW.
Juru Catat
Pada masa Rasulullah SAW, baitul mal masih berkonotasi pihak (al-jihat) yang ditunjuk Rasulullah untuk menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu baitul mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta atau pengarsipan yang rapi untuk mencatatnya. Sebab harta yang diperoleh ketika itu belum banyak dan selalu langsung habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin dan dibelanjakan kepentingan umum.
Baitul mal pada masa Rasulullah SAW, belum memiliki kantor, arsip atau kepengurusan (diwan) tersendiri. Meski begitu budaya beliau telah mengangkat para juru catat di luar urusan menulis wahyu atau surat menyurat.
Muaiqib bin Abi Fatimah Ad-Dausiy, misalnya, ditunjuk Baginda Nabi menjadi pencatat harta ghanimah. Sedangkan Az Zubair bin Al-Awwam bertugas mencatat harta zakat, Hudzaifah bin Al-Yaman sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian warga Hijaz, Abdullah bin Ruwahah sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian warga Khaibar, Al-Mughirah bin Syu’bah sebagai pencatat hutang piutang dan mu’amalah yang dilakukan negara, serta Abdullah bin Arqam sebagai penulis urusan kemasyarakatan terkait kepentingan kabilah dan sumber airnya.
Hanzhalah bin Shaifi, sahabat yang bertugas sebagai juru tulis Nabi SA, menceritakan, “Rasulullah SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku atas segala urusan pada hari ketiga (setelah peperangan)”
“Tidaklah datang harta atau makanan kepadaku selama tiga hari,” lanjut Hanzhalah, “kecuali Rasulullah SAW selalu mengingatkannya, agar segera didistribusikan. Rasulullah SAW tidak suka melalui suatu malam dengan ada harta (umat) masih berada di sisi beliau.”
Sepeninggal Rasulullah SAW, Sayyidina Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Tradisi sederhana baitul mal pun masih terus berlangsung di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Setiap kali harta ghanimah datang dari wilayah-wilayah kekuasaan Islam, Abu Bakar langsung membawanya ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam pembagian tersebut Khalifah Abu Bakar dibantu oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.
Baru pada tahun kedua kepemimpinannya (12 H/633 M), Khalifah Abu Bakar merintis embrio baitul mal sebagai lembaga mandiri. Saat itu baitul mal tak lagi sekedar bermakna pihak (al-jihat) yang menangani harta umat, namun sudah menjadi tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Bentuknya pun masih sangat sederhana, Abu Bakar menyiapkan sebuah karung atau kantung khusus di untuk menyimpan harta yang dikirimkan para gubernur ke Madinah.
Namun Abu Bakar Shiddiq adalah pemimpin yang sangat amanah. Meski mewarisi kekuasaan Rasulullah dalam mengelola keuangan umat, ia tidak pernah secuil pun menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Untuk memenuhi keperluan nafkah dirinya dan keluarganya, sang khalifah itu memilih itu tetap berdagang. Terbukti pada hari kedua setelah dibai’at sebagai Khalifah, Abu Bakar kembali ke pasar untuk berdagang.
4000 Dirham Setahun
Diriwayatkan secara mengharukan oleh lbnu Sa’ad (wafat 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, suatu ketika khalifah tengah berjalan ke pasar dengan memikul dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan sahabatnya, Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, wahai Khalifah?”
Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?”
Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?”
Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Karena Abu Bakar merasa segan, Umar pun menemaninya menemui Abu Ubaidah, sang bendahara negara (pejabat baitul mal). Oleh Abu Ubaidah lalu ditetapkan santunan (ta’widh) tahunan untuk khalifah sebesar 4000 dirham, jumlah yang sesuai untuk kebutuhan hidup seseorang secara sederhana.
Meskipun santunan itu telah ditetapkan secara sah secara syariat, namun hal itu tidak membuat Khalifah Abu Bakar senang dan tentram. Tak ingin sedikit pun terbebani oleh harta kaum muslimin, menjelang ajalnya Abu Bakar berpesan kepada ahli warisnya untuk mengembalikan santunan sejumlah 8.000 dirham yang pernah diterimanya selama dua tahun dari baitul mal.
Ketika sepeninggal Abu Bakar Shiddiq keluarganya mengembalikan uang tersebut ke baitul mal, Umar bin Khaththab yang diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah (berat) orang-orang yang datang setelahnya (untuk mengikutinya).”
Setelah Abu Bakar wafat, Khalifah Umar bin Khaththab mengajak bendaharawan masuk ke rumah Abu Bakar untuk membuka kantung baitul mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja yang tersisa di dalamnya. Abu Bakar telah benar-benar menasharrufkan harta baitul mal untuk kemaslahatan umat Islam.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, kejayaan Islam semakin terlihat. Para mujahid muslim yang dipimpin oleh panglima-panglima yang ditunjuk khalifah berhasil menaklukan banyak negeri. Yang terbesar adalah Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi) di Palestina dan Mesir.
Seiring dengan hal itu semakin banyak pula harta rampasan yang mengalir ke kota Madinah, sehingga tak bisa lagi ditampung dalam sebuah kantung. Khalifah Umar kemudian membangun sebuah rumah khusus untuk penyimpanan harta dan membentuk diwan-diwannya.
Dalam tata administrasi baitul mal, diwan berarti tempat di mana para penulis baitul mal bekerja dan arsip-arsip disimpan, atau kantor baitul mal. Terkadang diwan juga diartikan arsip itu sendiri.
Menurut salah satu riwayat, latar belakang pembentukan diwan pada masa Khalifah Umar adalah ketika suatu malam Abu Hurairah menyerahkan harta yang melimpah ruah yang diperolehnya dari Bahrain, sekitar tahun 20 H. Khalifah Umar pun bertanya kepadanya, “Apa yang kamu bawa ini?”
Abu Hurairah menjawab, “Saya membawa 500 ribu dirham.”
Umar berkata, “Apakah itu harta yang halal?”
Abu Hurairah menjawab, “Demikianlah adanya.”
Dua Potong Pakaian
Karena gembira Khalifah Umar pun kemudian naik mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kita harta yang banyak, jika kalian menghendaki, kami akan menimbangnya bagi kalian. Jika kalian menghendaki, kami akan menghitungnya.”
Seorang laki-laki berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, buatlah diwan-diwan (kantor) baitul mal untuk kaum muslimin, sehingga mereka dapat mengambil bagiannya dari sana.”
Umar bin Khaththab lalu bermusyawarah dengan kaum muslimin mengenai pembentukan diwan-diwan baitul Mal tersebut. Di antara yang hadir tampak Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughirah.
Sayyidina Ali berkata, “Bagikanlah harta yang terkumpul kepadamu setiap tahun dan janganlah engkau tahan dari harta itu sedikitpun”
Utsman berkata, “Aku melihat harta yang banyak yang mendatangi manusia. Jika mereka tidak diatur sampai diketahui mana orang yang sudah mengambil bagiannya dan mana yang belum, maka aku khawatir hal ini akan mengacaukan keadaan.”
Dan Al-Warid bin Hisyam bin Al-Mughirah berkata, “Ketika tinggal di Syam aku melihat raja-rajanya membuat diwan-diwan dan membangun angkatan perangnya.”
Mendengar keterangan tersebut, maka Khalifah Umar menyetujuinya. Khalifah Umar juga mengangkat para penulis (sekretaris pemerintah) dan membangun angkatan perang yang digaji secara profesional dari harta Baitul Mal.
Terkadang sang khalifah juga menyisihkan seperlima bagian dari harta ghanimah dan membawanya ke masjid untuk dibagi-bagikan. Bisa dibilang pada masa Umar bin Khaththab itulah baitul mal berdiri secara resmi dan profesional sebagai kelembagaan keuangan umat dan negara.
Sebagaimana Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khaththab pun sangat berhati-hati dalam mengelola baitul mal, sesuai aturan syariat. Dalam salah satu pidatonya tentang hak seorang khalifah dari baitul mal, yang dicatat oleh lbnu Katsir (700-774 H/1300-1373 M) dalam tarikhnya, Khalifah Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan harian seorang Quraisy biasa. Dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”
Kemajuan baitul mal semakin terasa pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M). Namun, karena terpengaruh oleh keluarganya, banyak kebijakan pengelolaan baitul mal Khalifah Usman yang mendapat protes dari umat.
Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang ahli hadits, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad berkomentar tentang kekhalifahan Utsman. “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima) kepada Marwan (sekretarisnya yang kelak menjadi khalifah keempat Bani Umayyah) dari pemasukan ghanimah Mesir, serta harta lain yang jumlahnya sangat banyak kepada kerabatnya,” kata Ibnu Syihab Az-Zuhri.
“Usman menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sebagian kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya,” kata Az-Zuhri.
Selama Matahari Terbit
Kondisi, fungsi dan pengawasan baitul baru kembali ke relnya semula pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M), yang menggantikan Utsman yang gugur terbunuh. Sebagaimana Abu Bakar dan Umar, Khalifah Ali juga mendapat santunan tahunan dari Baitul Mal. lbnu Katsir menceritakan, jatah pakaian Imam Ali bin Abi Thalib dari baitul mal hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering kali bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika pecah Perang Shiffin, antara Ali dan Mu’awiyah, banyak orang dekat Khalifah Ali menyarankannya mengambil dana dari Baitul Mal untuk menghadiahi orang-orang yang sudah membantunya. Tujuannya baik, untuk mempertahankan persatuan umat dan dan mengokohkan pemerintahan yang sah.
Mendengar usulan itu, Imam Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Enskilopedi Hukum Islam, 1999)
Sepeninggal Khulafaur Rasyidun, kekhalifahan umat Islam jatuh ke tangan Dinasti Bani Umayyah. Baitul mal pun berubah fungsi. Abul A’la Al-Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya baitul mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanah Allah SWT dan kaum muslimin yang dikelola secara transparan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah lembaga baitul mal sepenuhnya berada di tangan penguasa tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
Baitul mal sempat kembali ke tempat yang seharusnya pada masa pemerintahan khalifah kedelapan Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Dengan kebersihan hatinya pemimpin yang berjuluk khulafaur rasyidun kelima itu berupaya keras menjaga baitul mal dari pemasukan yang tidak halal dan pendistribusian yang tidak pada tempatnya secara syariat.
Khalifah Umar menekan para Amir bawahannya untuk mengembalikan harta yang tidak halal yang sebelumnya mereka ambil dari baitul mal dan sumber-sumberr lain yang tidak sah. Tak hanya memerintah, Umar bin Abdul Aziz sendiri mengembalikan harta pribadinya sendiri senilai 40.000 dinar ke Baitul Mal. Harta itu ia peroleh sebagai warisan dari ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan.
Namun, kondisi baitul mal yang telah dikembalikan kepada fungsi yang haq itu tidak bertahan lama. Keluarga Bani Umayyah yang cemas kehilangan hartanya lalu membunuh khalifah yang jujur itu dengan meracuninya. Para pengganti Umar kembali bertindak seperti leluhurnya yang mengangkangi baitul mal untuk kepentingan pribadi.
Meski kocar-kacir, pemerintahan Bani Umayyah juga memberikan beberapa sentuhan positif dalam pengelolaan baitul mal. Di antaranya perubahan sistem bahasa arsip dan pencatatan pemasukan serta pengeluaran ke dalam bahasa Arab, sehingga memudahkan pemeriksaan.
Bahasa Arsip
Awalnya hanya pengeluaran saja yang dicatat dalam bahasa Arab, sementara pemasukan ditulis dalam bahasa wilayah tempat harta itu diperoleh. Pada tahun 81 H, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah, seluruh diwan (arsip) yang mencatat segala sesuatu mengenai urusan harta negeri syam dan akhirnya seluruh negeri Islam, diubah penulisannya dengan bahasa Arab.
Keserakahan para penguasa Bani Umayyah terus menggerogoti sendi-sendi Baitul Mal dan berlanjut pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tak sedikit kritik yang datang dari kaum ulama shalih yang hidup pada setiap masa itu. Namun semuanya diabaikan atau sang ulama diintimidasi agar tutup mulut.
Imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, misalnya, pernah mengritik dengan pedas kebijakan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur (khalifah kedua Bani Abbasiyah, yang dipandangnya berlaku curang dalam mengelola Baitul Mal. Ketika Al-Manshur sering memberikan hadiah kepada orang-orang dekatnya dengan uang dan perhiasan yang diambil dari baitul mal. Tak hanya mengritik, Imam Abu Hanifah juga menolak ketika Khalifah Al-Manshur memberinya bingkisan pada hari raya.
Imam Abu Hanifah berkata, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari baitul mal, milik kaum muslimin. Sedangkan aku tidak memiliki hak untuk mengambil darinya..”
Setelah Abbasiyyah runtuh, baitul mal terus hidup di negeri-negeri muslim yang dikelola dengan secara Islami. Baitul mal ikut menjadi saksi kejayaan Islam di Andalusia, kehebatan kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib dan berkibarnya bendera kedigjayaan kekhalifahan terakhir yang dipimpin oleh Dinasti Utsmani di Turki. Pamor baitul mal baru benar-benar pudar ketika khilafah terakhir itu runtuh pada tahun 1924.
Dan kini ketika banyak orang yang mendambakan kembalinya kejayaan Islam, mungkin sudah waktunya baitul mal sebagai satu-satunya mesin pengelola keuangan kaum muslimin yang berlandaskan syariat dihidupkan kembali. Mungkin sudah waktunya umat Islam bersatu dalam sebuah sistem ekonomi mandiri yang berpihak kepada keadilan dan kejujuran, agar kedigjyaan umat Islam tidak terus menjadi utopia. (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah Alkisah edisi 21, Syawwal 1429/2008)
No comments:
Post a Comment