Monday, June 25, 2007

Pernikahan Islami

MERAIH SURGA DUNIA AKHIRAT
Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah mahligai pernikahan yang bahagia.. (Muhammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku)

Ternyata benar anggapan bahwa bulan Syawwal adalah musim kawin. Tiga minggu pertama ini saja sudah terbilang berapa banyak pesta pernikahan digelar. Dari yang paling sederhana, bertempat di rumah dan hanya dihadiri keluarga dekat saja, sampai yang paling mewah, bertempat di gedung mewah, dengan perlengkapan lengkap dan mahal serta dihadiri ribuan tamu undangan. Dari yang simpel, hanya tasyakuran dan makan-makan ala kadarnya, sampai yang paling rumit, ala tradisi berbagai keraton nusantara dengan seabreg ritualnya.

Ada yang menganggap rumitnya pernak-pernik pernikahan itu hanya sebagai bagian dari pelestarian budaya, mode atau minimal sekedar prestise, karena memang menelan biaya besar. Namun tidak kurang juga yang masih beranggapan tradisi itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan, karena berakibat buruk bila ditinggalkan.

Naifnya, keyakinan itu bahkan masih tumbuh subur di kalangan umat Islam sendiri. Misalnya menaruh dua batang pohon pisang di pintu yang diharuskan dalam pernikahan anak wanita sulung di Jawa. Yang juga memprihatinkan, demi prestise, terkadang upacara pernikahan yang sebenarnya sakral dan bernilai ibadah jadi tercemari maksiat, penghamburan uang dan kemusyrikan.

Itu baru pernikahan. Masih ada lagi acara-acara lain di luar resepsi, seperti lamaran dan lain sebagainya, yang juga tidak kalah ribetnya. Belum lagi tren di kalangan anak-anak muda muslim yang tengah demam tradisi barat kuno yang mengawali hubungan pria-wanitanya dengan pacaran lalu tunangan baru kemudian menikah. Dikatakan tradisi barat kuno, karena di mayoritas kalangan anak muda Barat modern tradisi itu telah berganti dengan hubungan bebas tanpa batas (samen leven).

Bagaimana sebenarnya tuntunan agama Islam mengenai ritus perkawinan? Dalam tulisan berikut penulis akan mengulas rangkaian tatalaksana perkawinan menurut Islam secara singkat.

Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan. Walaupun sederhana tetapi penuh berkah dan tetap terlihat mempesona.

Tuntunan ini penting, karena dari pernikahan yang penuh berkah itulah kehidupan rumah tangga seorang muslim berawal. Jika diawali dengan prosesi yang baik dan benar, tentu bisa diharapkan berkahnya akan melimpah sampai ajal menjemput nyawa. Namun jika sejak awal saja sudah penuh dengan hal-hal yang tidak dirdhai Allah, bagaimana mungkin anugerah sakinah, mawaddah dan rahmah bisa diharapkan tercapai.

Pada dasarnya, proses perkawinan Islami hanya terbagi dalam ke dalam empat tahap : ta’aruf (perkenalan), khithbah (lamaran), nikah dan walimah (resepsi).

Membeli Kucing
Tahapan ta’aruf atau perkenalan yang dimaksud dalam Islam bukanlah pacaran. Ini penting ditekankan, karena sebagian remaja muslim sering membahasakan pacaran mereka sebagai proses ta’aruf. Ta’aruf adalah proses mengenali calon istri atau suami.

Menyadari bahwa pernikahan bukanlah hubungan temporer yang berusia hanya satu atau dua tahun, meski cukup ketat dalam membatasi hubungan pria-wanita non muhrim, Islam juga memberi kesempatan pemeluknya untuk mengenal calon pasangan hidupnya. Ini dimaksudkan umat Islam tidak terjebak dalam praktik “membeli kucing dalam karung”. Dalam hal ini, ta’aruf tidak bersifat fisik semata tetapi juga menyangkut kepribadian (akhlak) dan juga ilmu masing-masing calon.

Tahap awal ta’aruf dilakukan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai calon pasangan, terutama dari keluarga terdekatnya. Keluarga terdekat yang mintai pertimbangan haruslah dipilih orang yang paling baik agamanya, sehingga diharapkan akan jujur dan adil dalam bercerita. Fokus utama penggalian informasi adalah seputar masalah agama dan akhlak calon pasangan.

Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya wanita dinikahi karena empat hal : hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya. Pilihlah yang paling beragama, makan engkau akan beruntung.” (Al-Hadits)

Meski obyek hadits adalah pria, namun pihak wanita, terutama orang tua, pun sebaiknya mempelajari baik-baik kepribadian dan agama sang calon mempelai pria. Ini bisa dilakukan orang tua secara langsung dengan berinteraksi dengan sang calon mempelai pria, maupun lewat kerabat dekatnya. Lagi-lagi akhlak dan agama lah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menerima atau menolak calon menantu.

Dalam proses ta’aruf itu berlaku hukum saling amanah. Artinya pihak kerabat dekat yang ditanya tidak boleh menutupi kebenaran dan pihak calon mempelai yang bertanya harus mampu menjaga rahasia dari informasi yang didapatkannya. Terutama jika informasi itu merupakan aib yang tidak layak dipublikasikan.

Setelah ta’aruf dianggap cukup, hendaknya seorang muslim melakukan shalat Istikharah (shalat mohon petunjuk), sampai diberi kemantapan hati oleh Allah untuk mengambil keputusan. Setelah mendapat ketetapan hati dan memutuskan pilihan, sang pria sebaiknya tidak menunda-nunda waktu untuk segera meminang. Demikian pula pihak wanita, setelah mendapat informasi yang cukup dan kemantapan hati, hendaknya segera memberi keputusan atas pinangan sang pria.

Pinangan atau khithbah dilakukan dengan menghadap orang tua atau wali sang muslimah pujaan hati, meminta ijin dan restu untuk menikahi anaknya. Wanita yang boleh dipinang adalah wanita yang memenuhi dua syarat : Pertama, tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu, baik yang bersifat permanen seperti masih mahram atau muhrim, maupun yang bersifat sementara seperti dalam masa iddah (baik cerai hidup atau mati). Kedua, belum dipinang orang lain secara sah. Sebab Islam mengharamkan seseorang meminang seorang wanita pinangan orang lain.

Dari Uqbah bin Amir RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin adalah saudara mukmin yang lain. Tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya atau meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sampai saudaranya itu melepaskannya.” (HR. Jamaah)


Keputusan Terakhir
Meski sebelumnya telah melakukan ta’aruf, saat khithbah Islam menganjurkan pelamar dan wanita yang dilamar untuk melihat calon pasangannya. Ini dimaksudkan agar masing-masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan keputusan terakhir atas pasangan hidup pilihannya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.”

Jabir berkata: “Maka tatkala aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya.” (HR. Abu Daud).

Namun, dalam melihat pinangan ini Islam tetap memberikan aturan : dilarang berkhalwat dengan calon pasangan tanpa disertai mahram sang wanita dan keduanya tidak boleh berjabat tangan.

Meski tidak ada aturan baku, Imam Nawawi mengajarkan, untuk menambah keberkahan rangkaian perkawinan disunnahkan mengawali ungkapan pinangan dengan hamdalah, dan shalawat. Setelah menyampaikan pinangan, ada baiknya pihak laki-laki, dengan penuh husnuzhan, memberi kesempatan kepada pihak perempuan untuk berembug dan mempertimbangkan lamaran.

Hendaknya orang tua atau wali pihak perempuan sangat berhati-hati dalam memilih calon menantu. Dan, lagi-lagi, hendaknya akhlak dan agama lah yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam menerima atau menolak pinangan. Pernah ada seseorang bertanya kepada Al-Hassan bin Ali mengenai calon menantunya. Cucu Rasulullah itu lala menjawab, “Engkau harus memilih calon menantu yang taat beragama. Sebab, jika ia mencintai putrimu, ia akan memuliakannya. Dan jika ia kurang menyukai putrimu, ia tidak akan menghinakannya.”

Jika ternyata kemudian lamaran diterima, sebagaimana dicontohkan sahabat Bilal bin Rabbah, hendaknya mengucap hamdalah. Sedangkan jika lamaran ditolak, hendaknya pelamar menyerukan takbir. Jika diterima, hendaknya dalam khithbah itu segera ditentukan hari pernikahan. Karena menikah merupakan ibadah, ada baiknya untuk disegerakan pelaksanaannya, tanpa ditunda-tunda atau diundur.

Dalam menentukan hari pernikahan, hendaknya sunnah Rasulullah menjadi pertimbangan utama. Dalam hal ini tentu anjuran ‘Aisyah Ummul Mukminin untuk menikah pada bulan Syawwal karena banyak keberkahannya patut dijadikan sandaran. Meski demikian pada dasarnya dalam pandangan Islam setiap bulan sama baiknya. Buktinya, Rasulullah menyelenggarakan pernikahan putrinya Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada bulan Shafar, yang banyak dihindari oleh banyak orang karena dianggap bulan bencana.

Dalam masalah pinangan, Islam juga memperbolehkan pihak wanita menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang pria yang menurutnya akan mampu membawa kebahagiaan dunia akhirat. Ini dicontohkan dalam pernikahan agung Rasulullah dengan Sayyidatina Khadijah yang penuh berkah. Saat itu Khadijah, sang saudagar kaya raya, lah yang berinisatif menawarkan pernikahan kepada Rasulullah setelah mengetahui kemuliaan dan keagungan akhlak pemuda miskin dan yatim tersebut.

Menawarkan Diri
Cerita serupa juga disampaikan dalam Shahih Bukhari, “Suatu ketika datanglah seorang wanita menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuan membutuhkan saya?’.

Putri sahabat Anas bin Malik yang hadir dan mendengar ucapan perempuan itu mencela dan mengannggapnya tak punya harga diri dan rasa malu. Anas segera menghardik putrinya, ‘Dia lebih baik darimu. Dia cinta kepada Rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau (dengan baik-baik).’”

Akhirnya sampailah calon mempelai pada fase ketiga yang merupakan bagian terpenting sekaligus inti pernikahan, yakni aqdun-nikah atau akad nikah. Akad nikah sendiri merupakan perjanjian mengikat diri dalam tali perkawinan dengan menetapi syarat-syarat yang ditentukan agama.

Syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam akad nikah ada beberapa hal. Pertama, harus ada keridhaan atau suka sama suka dari kedua calon mempelai. Dan keridhaan pihak wanita, menurut hadits Nabi, adalah diamnya saat ditawari menikah. Meski kadang kurang dianggap, keridhaan pihak wanita –terutama di jaman modern-- sangatlah penting.

Pernikahan yang berlangsung tanpa keridhaan kedua belah pihak tak ubahnya seperti menyimpan bara dalam sekam, yang jika tidak dibentengi iman yang kuat akan mudah tersulut dan menyala berkobar-kobar. Kebakaran yang dimaksud adalah kemaksiatan yang mungkin muncul, seperti perselingkuhan dan sebagainya.

Kedua, adanya ijab qabul. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima.

Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami, untuk menikahkan sang wanita dengannya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Sahl bin Said berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW untuk menyerahkan dirinya, ia berkata, ‘Saya serahkan diriku kepadamu.’ Lalu ia berdiri menanti lama sekali.

Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya.’

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist Sahl tersebut atas menerangkan, tentang ijab yang diucapkan Rasulullah SAW.

Syarat ketiga adalah mahar atau mas kawin. Sebelum kedatangan Islam, wanita di tanah Arab dan sebagian besar dunia nyaris tak bernilai. Seringkali mereka dianggap harta milik yang bisa diwariskan, diperjualbelikan atau diberikan sesuka hati.

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas permintaan pihak wanita yang disepakati kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Namun Islam lebih menyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya.

Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majah)

Ayahnya Ayah
Syarat keempat dan kelima adalah wali dan saksi. Dari Abu Musa RA, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud). Urutan prioritas wali dimulai dari ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada baru kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau –pilihan terakhir-- wali hakim.

Sedangkan saksi pernikahan, paling sedikit dua orang yang dianggap adil. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Al-Baihaqi dari Aisyah).

Dalam upacara akad nikah disunnahkan diadakan khuthbah, yang dinamakan khuthbatun nikah atau khutbah nikah, tepat sebelum ijab-qabul. Khutbah nikah boleh dibacakan wali, penghulu atau seorang ulama yang hadir pada majelis tersebut.

Fase terakhir dari rangkaian prosesi perkawinan Islami adalah penyelenggaraan kenduri atau resepsi perkawinan, yang dalam bahasa Islam disebut walimah. Menyelenggarakan walimah yang sekaligus merupakan pengumuman pernikahan sepasang pria-wanita hukumnya wajib karena mencegah timbulnya fitnah yang akan muncul. Fitnah yang dimaksud adalah kesalahpahaman masyarakat saat melihat dua orang berlainan jenis yang semula tidak ada hubungan mahram sama sekali tiba-tiba tinggal serumah atau bepergian bersama.

Rasulullah SAW bersabda,“....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Abu Dawud).

Sebagaimana kewajiban menyelenggarakan walimah, memenuhi undangan walimah juga hukumnya wajib. “Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu. Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Al-Baihaqi).

Ada dua macam walimah perkawinan : Walimatul Milak, kenduri yang dilaksanakan usai aqad nikah, sebelum pasangan pengantin baru melakukan dukhul (hubungan intim). Dan Walimatul Ursi, walimah perkawinan yang dilakukan setelah keduanya dukhul.

Ada beberapa kesunnahan yang perlu diperhatikan saat mengadakan walimah perkawinan. Pertama, diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut. Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW telah menikahi Shafiyah dengan maskawin pembebasannya (sebagai tawanan perang Khaibar) dan mengadakan walimah selama tiga hari.” (HR Bukhari).

Kedua, hendaklah shahibul walimah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW, “Jangan bersahabat kecuali dengan orang mukmin dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Ketiga, sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Auf, “Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” Meski begitu, ada juga beberapa hadits shahih yang menunjukkan dibolehkannya mengadakan walimah tanpa daging.

Dibolehkan juga memeriahkan walimah dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana, asal lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan akhlaq, seperti yang diriwayatkan dari Aisyah, ia (Aisyah) mengarak seorang mempelai wanita menemui seorang pria Anshar. Nabi SAW bersabda: “Wahai Aisyah, mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang pada hiburan.” (HR. Bukhari, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Walimah Haram
Mengenai walimah, perlu diperhatikan nasihat ulama besar Betawi K.H. M. Syafi’i Hadzami dalam Taudhihul Adillah, “..meski walimah wajib hukumnya, namun memeriahkannya atau menyembelih kambing itu hukumnya sunnah. Jangan sampai memaksakan diri mengadakan walimah besar-besaran jika memang keadaan tidak memungkinkan. Apalagi sampai hutang sana-sini yang pada akhirnya memberatkan. Karena bisa-bisa hukumnya menjadi haram.”

Para tamu undangan yang datang ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai dan keluarganya. Dari Abi Hurairah RA, “Rasulullah SAW jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa, ‘Mudah-mudahan Allah memberimu berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan kepadamu dan mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam kebajikan.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Adapun ucapan “Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak anak” dan semacamnya dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang sering diucapkan kaum jahiliyyah.

Dari Hasan bin Ali, ie berkata, Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah, “Bir rafa wal banin.” Aqil bin Abi Thalib segera mencegahnya dan berkata, “Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya.”

Para tamu bertanya, “Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Aba Zaid?.” Aqil menjelaskan, “ucapkanlah, ‘Mudah-mudahan Allah memberi kalian berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan’. Seperti itulah kami diperintahkan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasai, Ibnu Majah).

Demikianlah tata cara perkawinan yang diajarkan agama Islam. Meski banyak variasi dan model perkawinan yang di masyarakat muslim, hendaknya aturan syariat itu tetap dijaga agar mendatangkan keberkahan. (Kang Iftah, Jakarta 2006)

Sex Islami

MENGGAPAI ORGASME JASMANI DAN ROHANI
.
Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.

Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.

Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar, “Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya --dan yang paling penting-- adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam-- termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
.
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih "ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun" (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.

Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? ...yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
.
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana...” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.

Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
.
Posisi Ijba’
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.

Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya. (Kang Iftah. Sumber : Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar Baasyir)

Hikmah

BERTINGKAH SEPERTI TUHAN
.
Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan.

Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai akidah dan tasawuf. Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Jawaban dari sang kiai membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid.

Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.”

Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya, seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa.

Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan- setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang, pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali.

“Sekarang semakin banyak kepala keluarga yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya lalu merasa telah memberi rizki. Seorang majikan, karena telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,” terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya. Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.

Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika kontemporer. Dalam rangkaian sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS. Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah ruah.

Namun di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, bagi manusia adalah ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh makhluk.

Ibn Athailah Assakandary mengajarkan,
“Allah ta’ala melarang kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah Pengasuh semesta alam.” (Kitab Al-Hikam)
.
Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid, perlucutan tauhid dari selainnya, terutama Tauhid Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan mengayomi alam semesta. Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja. Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun. (Kang Iftah, Jakarta 2005)