Monday, October 21, 2013

Walisongo

WALISONGO DALAM KAJIAN GENEALOGI, KEILMUAN, SENI DAN BUDAYA 
Oleh:  Kang Iftah

 
Hingga permulaan abad ke-21 ini Indonesia masih menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tidak istimewa, mengingat negeri ini, seribu tahun sebelumnya, pernah menjadi kerajaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara. Bahkan di masa itu, Kerajaan Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi agama Budha terbaik dan terbesar di seantero dunia, Universitas Nalanda.

Uniknya, dalam proses perubahan besar ini nyaris tidak ada setetespun darah tertumpah. Semua berjalan dengan damai dan penuh kasih sayang. Tanpa paksaan sedikitpun proses Islamisasi berjalan dengan mulus. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan --bahkan konon sedikit pemaksaan dengan senjata.—oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India –terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang muslim— Islam tetap tidak berhasil secara massif menggeser Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.[1]

Dan sejarah mencatat, keberhasilan yang gemilang di Nusantara tersebut tidak lepas dari kharisma para tokoh penyebar agama Islam ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yaitu Walisongo.
 
Meski banyak dikelilingi legenda yang kontroversial, Walisongo diyakini oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, adalah tokoh-tokoh nyata yang pernah menghiasi sejarah nusantara. Dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, baik yang bersifat artefak, berupa makam-makam yang hingga kini masih ramai di ziarahi, sisa keraton dan masjid-masjid, serta karya seni berupa tembang (lagu) dan dolanan (permainan) rakyat, juga ajaran dan sistem pranata sosial, maupun yang tersurat dan tersirat dalam babad, serat, kidung, suluk, dan primbon. Baik yang ditulis di masa walisongo, maupun pada masa-masa berikutnya. Hanya sayangnya berbagai peninggalan walisongo tersebut dianggap tak cukup banyak menyajikan data yang argumentatif, ilmiah, dan terperinci yang bisa menjadi bahan otoritatif penulisan sejarah walisongo yang benar-benar akurat. 

Makalah ini tentu tidak akan cukup dan mampu mengupas tuntas fakta seputar walisongo, karena waktu, sumber penulisan dan keterbatasan kemampuan penulis. Namun demikian, ada beberapa hal sederhana yang ingin kami kaji di sini untuk sebagai bahan diskusi kita mengenai Walisongo dalam perspektif peradaban Islam Nusantara, yaitu:
 
 Siapakah  Walisongo, baik secara ketokohan, genealogi keturunan maupun keilmuan?
Apa saja karya Walisongo yang mempengaruhi peradaban Islam Nusantara?


Siapa Walisongo?
Walisongo, secara harfiah berarti sembilan orang wali. Penggunaan kata wali, untuk menyebut para penyebar agama Islam di tanah Jawa, sendiri mengindikasikan keterkaitannya yang erat dengan dunia tasawuf. Karena kata “wali”, yang sering diartikan kekasih Allah, merupakan istilah dalam khazanah spiritualitas atau sufisme. 

Wali atau waliy berasal dari akar kata waliya-yawla yang berarti dekat dengan sesuatu. Al-Waliyyu mengandung arti orang yang memiliki kedekatan dengan Allah atau orang yang disayang Allah. Dalam bahasa Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fa’il (subyek) dan Maf’ul (obyek) sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki kedua pengertian sekaligus tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau, bahkan, orang yang mencintai dan dicintai Allah sekaligus. Imam Al-Qusyairi mengatakan, Waliy memiliki dua pengertian. Pertama, orang yang dengan sekuat tenaga berusaha menjaga hatinya agar tetap hanya bergantung kepada Allah. Mereka ini yang seringkali juga disebut waliy salik. Kedua, orang yang hatinya secara penuh berada dalam penjagaan Allah. Dalam dunia sufi, wali-wali kelompok kedua ini dipercaya seringkali mengalami kefanaan kesadaran (jadzab), sehingga sering disebut Waliy Majdzub.[2]
 
Ibnu Arabi, dalam kitab Futuhat Makiyyah, menelusuri kriteria orang-orang yang dicintai Allah, waliy, dalam Al Quran dan menemukan delapan kriteria kewalian. Pertama, orang yang hanya mengambil Allah sebagai pelindungnya. Kedua, orang yang mencintai Allah dan berusaha meniru sifat-sifat-Nya. Ketiga, orang yang senantiasa kembali kepada Allah, bertaubat. Keempat, orang yang selalu berusaha mensucikan dirinya, lahir dan batin. Kelima, orang yang selalu bersabar atas takdir yang ditetapkan Allah. 

Keenam, orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Bagi para wali, musibah dan anugerah adalah sama-sama nikmat, karena keduanya berasal dari Allah. Ketujuh, orang yang selalu berbuat baik dan memperbaiki, muhsin. Kedelapan, orang yang selalu menghadirkan Allah dalam hatinya, pada setiap detak jantung dan hembusan nafasnya. [3]

Walisongo, terlepas dari ada atau tidaknya kedelapan kriteria kewalian tersebuta, menurut sebagian sejarawan, adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir berjuang mengislamkan tanah Jawa. Maka tidak mengherankan jika jumlah mereka tidak hanya sembilan, sebagaimana makna harfiahnya. Kata songo, atau sanga yang bermakna sembilan, dalam tradisi jawa kuno sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang banyak. Sebagaimana ketika orang jawa menyebut sebuah komplek dengan puluhan candi di pegunungan Ungaran Jawa Tengah dengan nama Candi Songo, atau pada nama Sumber Songo dan Gedong Songo. Sementara Agus Sunyoto mengaitkan nama Walisongo dengan islamisasi konsep Hindu Nawa Dewata (Sembilan dewa penjaga semesta) dengan sembilan martabat kewalian ala Syaikhu-l-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi dalam Futuhat Makiyyah.[4]

Sementara terkait keanggotaan Walisongo, banyak sumber yang menceritakannya, tentu lengkap dengan berbagai perbedaannya. Agus Sunyoto, misalnya, membagi Walisongo dalam periodisasi berikut[5][5]:

Periode pertama datang dari Asia Tengah dan Campa, terdiri dari :
1.     Syeh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Kashan – Persia, dikenal sebagai ahli tata negara dan menjadi penasihat para raja, pengeran dan menteri, wafat dan dimakamkan di Desa Gapura, Gresik tahun 1419.
2.      Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir atau Persia, berdakwah keliling dan melakukan riyadhah di gunung-gunung, wafat dan dimakamkan di Troloyo - Trowulan Mojokerto. Ada dua pendapat mengenai tokoh ini: berasal dari Hadharamaut dengan nama asli Jamaludin Al-Akbar Al-Husayni, keturunan dari Sayyid Muhammad Shahib Mirbath, melaui Alawi ‘Ammil Faqih; dan dari Asia Tengah dengan nama asli Najmuddin Al-Kubra yang dengan lidah jawa menjadi Najumadinil Kubra lalu Jumadil Kubra, salah seorang tokoh tarekat Kubrawiyah.[6]
3.    Syaikh Ibrahim Asmarakandi, berasal dari Samarkand, Uzbekistan, namun lama bermukim di Campa dan diambil menantu oleh Raja Campa. Ia datang ke Jawa bersama dua putranya (Raden Ali Rahmatullah dan Raden Ali Murtadla), setelah sebelumnya singgah di Palembang mengislamkan Arya Damar, Adipati Palembang, untuk menemui raja Majapahit, Brawijaya V yang memperistri adik iparnya, Dewi Darawati. Meraka mendarat di perbatasan Tuban dan Lamongan, namun syaikh Ibrahim lebih dulu wafat sebelum sempat menemui sang raja.
4. Syaikh Hasanuddin, asal Campa, ikut rombongan muhibah Laksamana Cheng Ho lalu turun untuk berdakwah dan membuka pesantren di Tanjungpura, Karawang, hingga wafatnya, yang lebih masyhur dengan julukan Syaikh Quro’. Ia adalah guru dari Dewi Subanglarang yang kemudian diperistri oleh Prabu Siliwangi dan melahirkan Pangeran Walangsungsang, Dewi Lara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Raden Kian Santang.[7][7]
5. Syaikh Datuk Kahfi, berasal dari Samudra Pasai, saudara sepupu Syaikh Siti Jenar, membuka pesantren dan wafat di Gunung Amparan Jati Cirebon. Ia adalah guru dari Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang.

Periode kedua[8], terdiri dari :
1.      Raden Ali Rahmatullah berasal dari Cempa, diangkat menantu oleh bupati Surabaya, diberi tanah perdikan yang kemudian dibangun pesantren di Ampeldenta Surabaya, dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya)
2.      Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik
3.      Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang, berdakwah di pedalaman Jawa Timur (Kediri dan sekitarnya), Demak (Desa Bonang) lalu pindah hingga wafat di Tuban.
4.      Maulana Syarif Hidayatullah, bergelar Sunan Gunung Jati, putra dari Syarif Abdullah di Mesir dengan Dewi Lara Santang (putri Prabu Siliwangi). Mendirikan Kerajaan Cirebon, sambil berdakwah hinggawa wafatnya, Dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon. Sunan Gunung Jati disebut-sebut dalam Serat Bale Rante-rante pernah berguru tarekat Naqsyabandiyyah, Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke Timur Tengah.[9][9]
5.      Raden Usman Haji bergelar Sunan Ngudung, putra dari Sayyid Ali Murtadla (Kakak Sunan Ampel), berdakwah di daerah Kudus, setelah gugur dalam perang Demak-Majapahit, kedudukannya digantikan putranya, Sayyid Ja’far Shadiq yang bergelar Sunan Kudus.  
6.      Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, kakeknya bernama Abdurrahman (Abdurrahim, menurut versi Van Berg) bin Kourames,  seorang muballigh dari Tanah Arab keturunan dari Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, yang setelah mengislamkan Bupati Tuban dan diangkat menantu lebih dikenal dengan nama Aria Teja.
7.      Raden Qosim atau Sunan Drajad, adik Sunan Bonang (putra Sunan Ampel),  Lahir di Ampel dan berdakwah di pegunungan Paciran, Lamongan.
8.      Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, berdakwah di sekitar Kudus, Rembang, Pati dan sekitarnya. Ketika wafat dimakamkan di puncak Gunung Muria, Colo, Kudus, Jawa Tengah.
9.      Raden Fatah, raja Demak pertama, putra dari Prabu Brawijaya V. Meski ;ebih dikenal sebagai seorang Sultan, namun santri Sunan Ampel ini juga rajin berdakwah. Ia dikenal sebagai Wali Nakbah, wali yang memiliki tugas dan kewenangan tertentu. Raden Fatah melahirkan raja-raja Demak, mendirikan keratin dan Masjid Agung Demak bersama para wali, dan ketika wafat dimakamkan di samping Masjid Agung Demak.

Meski demikian banyak dan silih berganti, namun anggota walisongo yang paling akrab di telinga masyarakat dan paling sering menjadi obyek ziarah tetap saja sembilan. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.

Mereka inilah yang dianggap paling banyak meninggalkan jejak sejarah di tanah Jawa. Termasuk beberapa tradisi keagamaan yang bercorak sunni dan bermazhab Syafi’i. Bahkan Indonesia dan beberapa negara tetangganya kemudian menjadi basis mazhab yang berasal dari Mesir tersebut.

Silsilah Walisongo : Nasab dan Keilmuan
Karena minimnya catatan sejarah yang dibuat pada masa hidup para anggota walisongo, maka teori-teori tentang walisongo, terutama terkait silsilah nasab dan keilmuan mereka dibuat oleh generasi-generasi sesudahnya. Bahkan kebanyakan penelitian secara mendalam dilakukan pada masa penjajahan Belanda oleh para orientalis. Salah satu yang paling banyak didiskusikan dan diperdebatkan adalah mengenai asal-usul walisongo. Sekurangnya ada dua teori besar mengenai asal-usul para walisongo:

1.     Teori Arab[10] 
Selain pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh[11][11], bukan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman): 

-   L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886) mengatakan:Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

-  Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.  Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya. 

2.        Teori keturunan Cina
Selain teori popular Gujarat dan Campa, ada juga teori kontroversial yang menyebutkan bahwa walisongo adalah keturunan Tionghoa. Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.

Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.


Metode Dakwah Walisongo
Jika ditanyakan, apa warisan terbesar Walisongo untuk Nusantara? Maka jawaban yang paling mudah dan kongkrit adalah metode dakwah mereka yang secara massif berhasil mengubah agama mayoritas masyarakat Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTB.. Metode dakwah, gaya komunikasi dan budaya yang terbangun darinya itu belakangan menjadi ciri khas kaum muslim tradisional Indonesia yang diyakini akan menyumbang peradaban damai bagi dunia masa depan.

Namun, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, menggali kearifan metode dakwah ini bukan hal yang mudah. Figur Walisongo, sebagaimana dikisahkan dalam babad dan “kepustakaan” tutur, terlanjur sering dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Seperti kemampuan berjalan “sangat cepat” atau yang lazim disebut ilmu lempit bumi yang sejak kecil dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri,  ilmu menembus bumi yang dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga, dan sebagainya.

Namun, sebagaimana dibahas secara mendalam dalam Halaqah Politik Walisongo, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Desember 2005, kesaktian sebenarnya dari Walisongo adalah kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerpakan pola dakwah. Prof. DR. Cecep Syarifudin, misalnya, berpendapat, ada empat jurus utama yang digunakan Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam. Empat jurus tersebut membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo yang sekaligus sebagai bukti kebesarannya[12].

Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.

Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.

Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.

Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.

Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.

Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.

Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.

Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan.

Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.

Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna.  Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali Songo, telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.

Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

Budaya dan Tata Nilai Warisan Walisongo untuk Peradaban Nusantara
Selain metode dakwah masih banyak warisan lain dari Walisongo yang turut membentuk peradaban Islam Nusantara. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a.       Pranata Sosial dan Nilai
Seperti lazimnya dakwah Islam di tempat lain, Islamisasi di Jawa juga mendorong perubahan tata nilai di wilayah yang dimasukinya. Salah satu tata nilai yang paling mendasar yang disusung oleh Islam adalah kesetaraan setiap manusia di hadapan Allah, dan hanya ketakwaan yang menjadi tolok ukur kemulyaan. Sebagai daerah yang semula menganut agama Hindu, masyarakat Jawa telah terbiasa dengan sistem Kasta yang mengotak-kotakan mereka. Sekurangnya ada empat kasta yang hidup di tengah masyarakat: Brahmana (agamawan), Ksatria (bangsawan), Waisya (warga biasa) dan Sudra (budak).

Bukan hal mudah mengikis tradisi kasta ini, terutama di kalangan bangsawan. Perjuangan penyetaraan umat manusia dan penghapusan perbudakan yang dilakukan walisongo pun akhirnya masih harus menerima kompromi dalam beberapa hal. Misalnya meski sudah tidak terlalu tajam, namun sisa tradisi kelas masih terlihat dalam strata sosial muslim Jawa dengan pembagian : Ulama (agamawan), Ningrat (Bangsawan) dan Rakyat jelata.[13]

Kelas ini kembali terbagi ketika penjajahan dimulai. Rakyat jelata yang baru saja menikmati hilangnya strata sudra di masyarakat kembali menjadi seperti budak di tangan para penjajah. Bedanya kali ini ulama dan sebagian bangsawan berada di pihak mereka, menjadi pengayom dan pelindung mereka dari kekejaman penjajah, sekaligus motor perlawanan melawan penjajah..

b.      Tradisi Keagamaan Champa 
Bersamaan berdatangannya kalangan agamawan dan migrasi besar-besaran umat islam dari Champa ke Nusantara, saat negeri Champa diinvasi oleh Vietnam, ikut terbawa pula tradisi keagamaan dan budaya Champa ke tanah air. Baik yang masih bercorak timur tengah, maupun yang sudah berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Di antara tradisi yang terbawa tersebut itu adalah[14] 
- Tradisi peringatan harike-3, 7, 10, 30, 40, 100 dan 1000 kematian yang diisi dengan berdoa bersama. 
- Kepercayaan terhadap hantu, dan alam jin
      - Panggilan “emak” untuk ibu, “Kak” dan “Dik” untuk saudara kandung, “eyang” kepada harimau.
      - Acara selamatan atau kendurian pada momen-momen yang dianggap penting atau sakral

c.       Kesenian dan budaya[15]

Peninggalan Walisongo paling banyak, barangkali, dalam khazanah kesenian dan kebudayaan, yang selain merupakan asimilasi dari budaya lokal juga sangat kental diwarnai tradisi tasawuf. Di antara peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seni wayang purwo yang lakonnya telah diislamisasi, tembang dolanan anak, bedug di masjid, gamelan dan sebagainya.
Jejak tradisi sufistik juga terlihat dalam kesenian Debus di Banten, sekatenan di Solo dan Jokja, dan berbagai serat, suluk, tembang serta primbon Jawa yang diadaptasi dari berbagai kitab tasawuf. Juga dalam seni bangunan, yang menggabungkan tradisi arsitektur jawa dengan member filosofi islami, seperti Masjid Demak yang atapnya berundak tiga, dan tata letak bangunan utama pemerintahan yang terdiri dari alun-alun, masjid agung dan pendopo.

d. Sistem Pendidikan Pesantren

Sering muncul pertanyaan dari mana asal sistem pendidikan pesantren? Puluhan –bahkan mungkin ratusan— peneliti, baik orientalis barat maupun timur dan lokal, mendatangi pesantren untuk mencari jawabannya. Kalangan sendiri tidak banyak yang mampu menjawab secara tepat dan terperinci mengenai jalur pewarisan sistem pendidikan dan keilmuannya.

Banyak versi yang dikemukakan para peneliti dan penulis kepesantrenan, tentang asal muasal bentuk pendidikan ala pesantren. H.J. De Graaf dan Th.G. Pegeaud, misalnya, menduga pesantren merupakan islamisasi dari dua bentuk pendidikan kuno di Jawa oleh Walisongo, yakni Mandala dan Ashram[16]. Belakangan pendapatan yang sama juga dikemukakan Ahmad Baso, penulis serial Pesantren Studies yang mendasarkan pendapatnya pada Kitab Tantu Panggelaran.[17]

Ada juga pendapat orientalis lain seperti F. Fokken dan B.J.O. Schrieke yang menduga pesantren berasal dari desa-desa perdikan yang oleh raja dibebaskan dari pajak dengan kompensasi tugas mandat tertentu seperti menjaga makam keramat atau mengajarkan agama[18]. Namun pendapat terakhir diragukan oleh Martin mengingat dari 211 desa perdikan di Jawa pada abad 19, hanya ada empat desa yang di dalamnya terdapat pesantren yang dihidupi oleh penghasilan desa. Sementara sebagian besar pesantren lainnya tidak terkait dengan status desa perdikan tersebut.

Para peneliti barat menduga lembaga pesantren seperti yang ada di abad 19-20 belum ada di awal-awal masuknya islam di Nusantara, bahkan hingga abad ke-17 di Jawa dan abad 18 di Kalimantan dan Sulawesi. Pesantren pertama yang paling lengkap perangkat, besar dan representatif yang tercatat oleh orientalis adalah Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren inilah yang diyakini menelurkan alumni yang kemudian menduplikasi sistem pesantren Tegalsari di berbagai tempat, baik daerah asalnya maupun daerah lain tempat mereka berhijrah mendakwahkan agama.[19]

Mungkin yang dimaksud oleh para peneliti barat tersebut adalah pesantren dalam bentuk dan perangkat pengajaran yang komplit dengan standar minimal Pesantren Tegalsari Ponorogo, Jawa Timur di abad 18-19. Sebab Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-nya sudah menyebut-nyebut Pesantren Syaikh Quro’ di Karawang yang hidup di abad 14 dan Pesantren Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung Cirebon pada awal abad 15, yang diantara santrinya antara lain Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Putri Subanglarang (santri Syaikh Quro’), Pesanren Ampeldenta-nya Sunan Ampel dan sebagainya.[20]




[1] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012, hlm. 42-43
[2] Imam Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah, ….
[3] Ibn Arabi, Futuhat Makiyyah, dikutip dalam Makalah Prof. DR. Cecep Saifudin, yang disampaikannya dalam Halaqah Politik Walisongo, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 2005.
[4]Agus Sunyoto, loc.cit, hlm. 113
[5] ibid, hlm. 64-85
[6] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. Ke-3, 1999, hlm. 235-245
[7]Selain ulasan panjang lebar di Atlas Walisongo-nya Agus Sunyoto, keterangan tentang Pesantren Karang yang diasuh Syaikh Quro juga disebutkan di : Martin Van Bruinessen, loc.cit, hlm. 224
[8] Ibid, hlm.185-332
[9]Martin Van Bruinessen, Loc.cit., 224
[10] Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bangsa  Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
[11][11] Bukti bahwa Champa hanya transit dipaparkan oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongonya di halaman 24-27
[12][12] Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa, disampaikan dalam Halaqah Politik Walisongo, Desember 2005, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Laporan mengenai acara dan materi halaqah tersebut juga dimuat di Majalah Alkisah, edisi 01/2006 yang terbit pada bulan Januari 2006.
[13][13] Agus Sunyoto, loc.cit., hlm. 347
[14][14] Ibid, hlm. 370
[15][15]Ibid, hlm. 374
[16][16] Martin Van Bruinessen, loc.cit., hlm 24.
[17][17] Lihat catatan kaki Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012, halaman 61-62
[18][18] Martin Van Bruinessen, op.cit.
[19][19] ibid
[20][20] Ibid, hlm. 224 dan Agus Sunyoto, loc.cit. 78-85