Sunday, December 29, 2013

Tentang Tarekat Lagi



TAREKAT DI NUSANTARA
Sejarah dan Perkembangan Organisasi dan Kelembagaan Tarekat di Indonesia

Oleh Kang Iftah

1
PENDAHULUAN

Sejarah thariqah atau tarekat di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sehingga perubahan besar itu pun berlangsung nyaris tanpa meneteskan darah sedikit pun. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan --bahkan konon sedikit pemaksaan dengan senjata.—oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India –terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang muslim— Islam tetap tidak berhasil secara massif menggeser Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.[1]
Besarnya pengaruh tarekat dalam islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di jawa sejak abad 11 M, namun sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam saat ini hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran (Gresik), Indramayu dan Semarang. Sementara penduduk asli diceritakan masih hidup dengan agama lamanya, bahkan digambarkan dengan pola hidup yang “kotor”.[2]
Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Belakangan, pada awal abad keempat belas juga lahir Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) di Khurasan dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M).
Tarekat-tarekat ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke nusantara, melalui para penyebar agama Islam. Mencapai puncaknya pada abad 17-18, bersamaan dengan orang-orang Jawi yang naik haji. Hingga saat ini tak kurang dari 44 thariqah yang telah ada dan tersebar di seluruh Indonesia.[3]



2
TAREKAT

A.       Sejarah Kemunculan Tarekat Sufi
Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah dari syariat, sebab tarekat adalah pengejawantahan dari syariat itu sendiri. Sebagaimana lazim dikatakan orang, “Syariat tanpa tarekat adalah kosong, sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong.” Terkait hal ini Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan, “Tare­kat merupakan bahagian terpenting daripada pelaksanaan tasawwuf. Mempelajari tasawwuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawwuf di­terangkan, bahwa syari'at itu hanya peraturan belaka, tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syari'at itu, apabila syari'at dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedang tujuan yang ter­akhir ialah ma'rifat yaitu mengenai dan mencintai Tuhan dengan se­baik-baiknya.”[4]

Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Pemimpin Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, membagi tarekat menjadi dua: Thariqah Syari’ah dan Thariqah  Wushul. Thariqah Syari’ah  adalah seperangkat aturan-aturan fiqh yang disebutkan dalam berbagai kitab-kitab para fuqaha’ yang mu’tabar, para muhaditsin, mutakallimin dan mufassirin yang mu’tabar. Sedang thariqah wushul adalah upaya mematik natijah (hasil) dari pelaksanaan thariqah syari’ah dengan mengikuti bimbingan seorang syaikh dengan penuh khidmah (pengabdian), muwafaqah (menganggap benar) dan menghindari buruk sangka, serta berupaya membersihkan hatinya dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat mulia, dan memperbanyak dzikir, menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati dari berbagai hal negatif tersebut hukumnya wajib, maka wajib pula hukum memasuki thariqah.[5]

Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang se­bagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat para tokoh seperti Hasan-Al-Bashri, Sufyan Al-Tsauri, Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi, Abu Yazid Al-Busthami, dan sebagai­nya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama eksoteris—ahli fiqih, hadis, dan sebagainya.

Betapapun juga praktik-praktik tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai disiplin ini, dimulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni Kota Makkah dan Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili tokoh-tokoh perintis kehi­dup­an tasawuf yang namanya kita sebutkan di atas. Pandangan yang menyatakan bahwa tasawuf merupa­kan imbas kebudayaan Persia kiranya juga terbantah oleh kenyataan ini. Selain jumlah yang sedikit, di ka­­lang­an penganut tasawuf-awal para sufi asal Persia baru dikenal belakangan.

Hadar Bagir membagi perioisasi pertumbuhan dan perkembangan ta­sa­­wuf ke dalam beberapa tahap[6] :
a.      Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf ini merentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Ge­rakan zuhud—yakni, promosi “gaya hidup” sederhana dan serba kekurangan untuk melatih jiwa agar tak terlalu terikat dengan kehidupan dunia—ini pertama kali muncul di Madinah, Kufah, dan Bashrah, sebelum kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya sebagai respons terhadap gaya hidup mewah para pem­besar negara sebagai akibat dari per­olehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.

Berikut ini adalah tokoh-tokohnya menurut tempat-perkembangannya:
Para zahid yang tinggal di Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah Al-Jarrah (w. 18 H), Abu Dzar Al-Ghiffari (w. 22 H), Salman Al-Farisi (w. 32 H), Abdullah ibn Mas‘ud (w. 33 H). Sedangkan dari ka­lang­an satu generasi setelah masa Nabi (Tabi‘în) ter­masuk di antaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
Tokoh-tokoh zuhud di Bashrah adalah Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Malik ibn Dinar (w. 131 H), Fadhl Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w. 149 H), Shalih Al-Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H) dari Abadan.

Tokoh-tokohnya “aliran” Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w. 67 H), Said ibn Jubair (w. 96 H), Thawus ibn Kisan (w. 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H), Al-Laits ibn Said (w. 175 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198), dan lain-lain.

Sedangkan tokoh-tokohnya di Mesir, antara lain, ada­lah Salim ibn Attar Al-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman Al-Hujairah (w. 83 H), Nafi’, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 117 H), dan lain-lain.

Pada masa-masa terakhir tahap ini mulai muncul tokoh-tokoh yang belakangan telah dikenal sebagai para sufi sejati, termasuk di antaranya Ibrahim ibn Adham (w. 161 H), Fudhail ibn ‘Iyadh (w. 187 H), Dawud Al-Tha’i (w. 165 H), dan Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah.

b.      Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
Pada paruh pertama abad ke-3 H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka. Para sufi dalam tahap ini mulai memperkenal­kan disiplin dan metode tasawuf, termasuk kon­sep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak dikenal: maqâm, hâl, ma‘­rifah, tauhîd (dalam makna­­­­nya yang khas tasawuf), fanâ’, hulûl, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi.

Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H).

Dua peridoe awal ini seringkali disebut fase tasawuf amali. Pada masa ini juga mulai muncul para sufi yang be­lakangan dikenal mempromosikan tasawuf yang ber­orientasi “kemabukan” (sukr)  antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang sering­kali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal “Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun da­lam jubah—yang dipakai oleh Busthami—selain Allah” (mâ fil-jubbah illâ Allâh), dan sebagainya.

c.      Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
Dilihat dari sebutannya, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnos­tisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

Beberapa karya sufistik Ibnu Arabi yang bercorak falsafi antara lain Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah dan Tarjuman al-Asywaq.[7]
B.       Pelembagaan Tarekat Sufi Pada Abad Pertengahan
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran  Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada abad 6 Hijriahlah tarekat ber­kembang dengan pesat. Hal ini dimulai sejak Al-Ghazali sukses dengan merumuskan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat.

Setelah itu berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.  

Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[8]



3

TAREKAT DI NUSANTARA

A.       Masuknya Tarekat Sufi Di Nusantara
a.      Era Wali Songo
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak.[9] Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.[10] Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[11]
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.
Selain Sunan Gunung Jati, anggota walisongo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Ampel disebut-sebut mengajarkan suluk tarekat Naqsyabandiyyah. Sementara Sunan Bonang, diceritakan oleh Caita Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah di Kediri, karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, lalu pindah Demak dan menjadi Imam Masjid Agung Demak. Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itulah Raden Makhdum Ibrahim yang kemudian bergelar Sunan Bonang itu melanjutkan dakwahnya. Pendekatan baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik  bentuk tembang, dolanan bocah, primbon  dan serat-serat.[12]

b.      Abad 17 – 18  
Thariqah lain yang tercatat masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Thariqah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.[13]
Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud, yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya.
Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan. 
Syaikh Abdul Rauf Singkil memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam dan Thariqah Syathariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Syaikh Burhanudin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat di Pariaman Sumatera Barat. Melalui ulama sufi yang juga pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi di Makkah, Thariqah Syathariyyah kemudian menyebar di Sumatera Barat.[14]
Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.[15]  
Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya.
Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang.  Namun raja Banten berikutnya cenderung membela penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka.
c.       (Fenomena Orang Jawi Naik Haji)
Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Apalagi dengan ditemukannya mesin uap yang belakangan diikuti dengan pembuatan perahu uap, jumlah jamaah haji dan mukimin nusantara di Tanah Suci meningkat pesat. Bahkan saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-negeri muslim lain.  
Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.  
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani pada abad 17, pada abad 18 tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.[16]  
Karena kehebatan karamahnya pula, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu. Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.  
Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumatera Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.[17]  
Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran melawan penjajah pada tahun 1819. Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih berganti. 
Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. 
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.  
Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).  
Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi sesudahnya: Kyai Tholhah Kalisapu Cirebon, Abah Falak Pagentongan, Cirebon dan Kyai Hasbullah Madura.
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.[18]  
Meski proses kelahirannya sempat dianggap kontroversial dan ditentang oleh ulama thariqah lain, dan baru reda setelah disepakati keabsahannya dalam bahtsul masail di muktamar NU ke-3 di Surabaya tahun 1928 dan Muktamar ke-6 di Cirebon tahun 1931,[19]  Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.[20]  
Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan, yang ajaran thariqahnya mereka anggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol.  
Cerita seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli. Pemicunya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim tradisionalis di kawasan itu.
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).  
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [21]
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.[22]
Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Kelima guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama: Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren dan Kiai Ahmad Ngadirejo yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[23]
Dari para guru ini kemudian Thariqah Syadziliyyah menyebar ke berbagai daerah di Jawa. Saat ini pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah di Jawa antara lain terdapat di : Kanzus Shalawat, Pekalongan dengan mursyidnya Habib Luthfi bin Ali bin Yahya; Pesulukan Tarekat Agung (PETA) Tulungagung dengan mursyid K.H. Shalahudin (Gus Saladin), Pesantren Sumolangu Kebumen dengan mursyid K.H. Musyaffa’ Ali, dan beberapa tempat lain.
Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah yang dibawa oleh ulama asal Amerika Serikat, Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para alumnus Damaskus, Syiria[24] yakni murid-murid Syaikh Muhammad Al-Ya’qubi, dan murid-murid Syaikh Yasin Al-Fadani.

d.      Era Modern : Pengorganisasian Tarekat dalam JATMAN
Di Indonesia sendiri saat ini tak kurang dari tujuh puluhan juta orang tercatat sebagai pengamal thariqah. Empat puluh juta diantaranya tergabung dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah yang didirikan oleh para ulama dan guru mursyid thariqah yang berasa dari kalangan Nahdliyyin.

Dalam format awalnya Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah didirikan di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Rajab 1377 H/ 10 Oktober 1957. Tokoh pendirinya  waktu itu adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Am PBNU), K.H. Bisri Syamsuri, Dr. K.H. Idham Cholid, K.H. Masykur dan K.H. Muslih.[25] Namun dalam perjalanannya, organisasi ini sempat dibawa ke politik praktis oleh salah seorang pemimpinnya, hingga menimbulkan gejolak. Terutama pada menjelang dan pasca pemilu 1977. Pada tahun 1979, dalam muktamar ke-limnya, beberapa ulama senior lalu memilih memisahkan diri dan mendirikan organisasi baru dengan menambahkan kata “An-Nahdliyyah” di belakangnya, sehingga menjadi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.[26]

Kelahiran organisasi ini dilatarbelakangi kekhawatiran sebagian besar ulama thariqah atas maraknya aktivitas thariqah di tengah masyarakat yang keabsahannya meragukan. Baik keabsahan dalam silsilah sanadnya, validitas kemursyidan gurunya, maupun amaliah kethariqahannya. Untuk membentengi umat Islam khususnya warga nahdliyyin itulah para mursyid yang diakui kemu’tabaran thariqah dan sanad kemursyidannya berhimpun dan mengorganisir diri.

Menurut anggaran dasarnya, misi organisasi ini antara lain mengusahakan berlakunya syariat Islam, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah dengan tetap berpegang kepada aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan salah satu Madzhab empat. Jatman juga akan berupaya menggiatkan kegiatan bai’at yang shahih dan membantu penyelenggaraan pengajian khusus thariqah atau tawaj-juhan di berbagai kantong-kantong NU.

Karena thariqah saat itu jumlahnya sangat banyak, organisasi kaum tarekat NU itu menambah kata mu’tabarah di belakangnya. Kata mu’tabarah dalam nama tersebut ialah muttashil sanadnya sampai kepada Rasulallah SAW yang menerima ijazah dan bai’atnya dari Malaikat Jibril AS dari Allah SWT. Dan di kemudian hari, nama itu ditambah lagi dengan An-Nahdliyyah untuk membedakan dengan kemungkinan munculnya jam’iyyah sejenis yang bukan tidak berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama. (Keputusan Mu’tamar NU ke-26 di Semarang 1979 M)

Untuk mempermudah pengaturan roda organisasi, struktur kepengurusan Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah dibagi menjadi lima jenjang. Di tingkat nasional kepengurusannya disebut Idarah ‘Aliyah, sementara di tingkat provinsi dinamakan Idarah Wustha. Di bawahnya, tingkat kabupaten dan kota dinamakan Idarah Syu’biyyah. Di bawahnya lagi atau tingkat kecamatan, kepengurusannya disebut Idarah Ghusniyyah. Dan yang paling bawah, tingkat kelurahan atau desa disebut Idarah Saafiyyah.

Setiap jenjang kepengurusan berkewajiban ikut menyiarkan serta menggiatkan pelaksanaan ajaran Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan cara-cara yang bijaksana. Pengurus juga wajib mendukung kegiatan para guru mursyid dalam mendidik (tarbiyyah) para murid agar mencapai akhlaq yang mulia dan ma’rifat kepada Allah.

Secara rutin pengurus JATMAN di setiap jenjang juga wajib mengadakan bai’atan (bila kondisi memungkinkan), majelis sewelasan, dan pengajian-pengajian rutin lain di daerahnya. Bagi kepengurusan di tingkat provinsi diharuskan menggelar haul akbar dan manaqib kubra tiga kali dalam setahun yang tempatnya berpindah-pindah.

Setelah secara resmi berdiri, progam pertama yang dilakukan oleh pengurus Jam’iyyah adalah meneliti kemu’tabarahan thariqah-thariqah shufiyyah, baik yang tersebar di Indonesia maupun tidak. Dan setelah bekerja keras selama berbulan-bulan, pengurus yang dibantu beberapa mursyid senior yang tidak masuk dalam kepengurusan pun memutuskan 45 thariqah shufiyyah yang diakui kemu’tabarahannya.

Thariqah-thariqah tersebut adalah: Rumiyyah, Ghaiyyah, Rifa’iyyah, Tijaniyyah, Sa’diyyah, Uwaisiyyah, Bakriyyah, Idrisiyyah, Jistiyyah (Chistiyyah), Samaniyyah, Umariyyah, Buhuriyyah, Alawiyyah, Usyaqiyyah, Abasiyyah, Kubrawiyyah, Zainiyyah, Maulawiyyah, Dasuqiyyah, Jalwatiyyah, Akbariyyah, Bairumiyyah, Bayumiyyah, Ghazaliyyah, Malamiyyah, Hamzawiyyah, Haddadiyyah, Bakdasyiyyah (Bekhtasyiyyah), Madbuliyyah, Syuhrawiyyah, Sumbuliyyah, dan Idrusiyyah.

Selain itu masih ada lagi Thariqah ‘Isawiyyah, Utsmaniyyah, Syadziliyyah, Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, Sya’baniyyah, Khalidiyyah Wa Naqsyabandiyyah, Kalsyaniyyah, Khadliriyyah, Syathariyyah, Khalwatiyyah, Thariqah Ahmadiyyah (bukan Jamaah Ahmadiyyah yang belakang ribut dengan FPI), Thuruqil Akabiril Auliyya dan Thariqah Ahli Mulazamatil Qur’an was Sunnah wa Dala’ilil Khairat wa Ta’limi Fathil Qorib au Kifayatil Awami

Selain menentukan thariqah-thariqah yang mu’tabarah, jam’iyyah juga merumuskan peryaratan dasar untuk menjadi guru mursyid, badal dan murid. Di antara syarat menjadi mursyid, misalnya, adalah bertaqwa kepada Allah, menguasai dan mengamalkan ilmu-ilmu syariah, telah selesai mengikuti tarbiyyah Thariqiyyah dan sebagainya. (Lebih lengkap tentang syarat dan kriteria mursyid baca rubrik Tawajjuh)

Kemudian untuk pegangan para pengamal thariqah, jam’iyyah juga menentukan kitab-kitab kethariqahan yang mu’tabarah. Di antara yang termasuk dalam kategori tersebut adalah Ihya’ ‘Ulumuddin, Tanwirul Qulub, Jami’ul Ushul, Majmu’atul Khalidiyyah wa Naqsyabandiyyah, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, ‘Umdatus Salik fi Khairil Masalik, Al-Minahus Saniyyah, Bahjatul Asrar, Ar-Rasyajat, An-Nafahat dan lain sebagainya.

Tak hanya itu. Dalam setiap mu’tamarnya ulama thariqah dan guru mursyid yang tergabung dalam jam’iyyah juga menggelar kajian masalah-masalah keagamaan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas kethariqahan. Mengikuti jejak pendiri-pendirinya, jam’iyyah juga sangat peduli dengan berbagai isu kebangsaan. Hal itu terlihat dari tema-tema yang diusung di setiap mu’tamar dan musywarah kubranya.

Dalam muktamar ini, misalnya, tema yang diusung adalah menggalang kebersamaan jamaah untuk meneguhkah khidmah kaum thariqah kepada bangsa dan negara.

B.       Peran Tarekat Sufi Terhadap Perkembangan Sosial Intelektual Islam Di Nusantara
a.    Membangun Sikap Toleransi dan Moderat
Para sejarawan sepakat, tasawuf dan tarekatlah yang menjadi kunci keberhasilan proses Islamisasi Nusantara. Tasawuf dan tarekatlah yang mengajari Walisongo kearifan dan kebijaksanaan dalam menerapkan pola dakwah yang terejawantah dalam empat sikap yang belakangan juga membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo sekaligus sebagai bukti kebesarannya. Keempat sikap tersebut[27] adalah tasamuh, tawasuth, tawazun dan ta’adul atau i’tidal.

Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.

Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.
Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.

Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.

Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.

Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.

Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.

Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan. Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural. 

b. Sistem Pendidikan Pesantren
Sumbangsih lain dari para pengamal thariqah untuk Nusantara adalah sistem pendidikan pesantren. Banyak versi yang dikemukakan para peneliti dan penulis kepesantrenan, tentang asal muasal bentuk pendidikan ala pesantren. H.J. De Graaf dan Th.G. Pegeaud, misalnya, menduga pesantren merupakan islamisasi dari dua bentuk pendidikan kuno di Jawa oleh Walisongo, yakni Mandala dan Ashram[28]. Belakangan pendapatan yang sama juga dikemukakan Ahmad Baso, penulis serial Pesantren Studies yang mendasarkan pendapatnya pada Kitab Tantu Panggelaran.[29]
Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-junya sudah menyebut-nyebut Pesantren Syaikh Quro’ di Karawang yang hidup di abad 14 dan Pesantren Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung Cirebon pada awal abad 15, yang diantara santrinya antara lain Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Putri Subanglarang (santri Syaikh Quro’), Pesanren Ampeldenta-nya Sunan Ampel dan sebagainya.[30]
Dan penulis menemukan korelasi antara pesantren dengan tradisi tarekat atau sufistik. Tradisi pendidikan mirip pesantren yang ada di Timur Tengah adalah zawiyyah-zawiyyah (perguruan dan perkumpulan tarekat sufi) di mana ada santri yang tinggal untuk waktu tertentu, ada asrama atau rubath, ada majelis dan kegiatan pembelajaran ilmu (atau zikir), ada syaikh yang mengajar dan mengawasi perkembangan pengetahuan dan pengamalan para santri, baik secara langsung maupun melalui para pembantunya (badal/khadam). Pelajaran yang diberikan di zawiyyah lebih banyak yang terkait dengan fiqih dan tauhid dasar dan lebih banyak tentang tasawuf, berbeda dengan yang diajarkan di madrasah-madrasah timur tengah yang lebih banyak mengeksplorasi ilmu alat, fiqih, tafsir, hadits dan ilmu kalam. Ini juga terlihat di pesantren-pesantren generasi awal yang banyak mengkaji tasawuf.[31]
Pengaruh tradisi tarekat dalam pesantren juga terlihat dari sistem pembangunan karakter dan pengetahuan santrinya yang sangat mirip dengan pola tarbiyyah di tarekat, yakni melalui tiga ranah:
Pertama, ranah Faqahah, yakni kecukupan pemahaman agama. Di ranah ini pesantren berupaya membangun pengetahuan, pemahaman dan penguasaan para santri atas teks dan dogma-dogma keagamaan Islam. Upaya ini dilakukan melalui proses ta’lim yang berarti kajian, pendidikan atau proses belajar mengajar. Metode ta’lim yang ditempuh beragam, mulai dari yang menarik perhatian, serta membangun pemahaman dan keterampilan dasar para santri dalam membaca teks, yang lazim disebut sorogan[32], sampai yang murni hanya mentransfer pengetahuan dari sang pendidik kepada peserta didik (santri), karena para santri sudah dianggap menguasai keterampilan dasar pembacaan teks, yang dinamakan bandongan. Dari yang menganut sistem tradisional murni (klasikal/non klasikal, tanpa pelajaran umum, atau tanpa ijazah yang diakui negara ), sampai yang modern (klasikal, ditambah pelajaran non agama, atau ijazahnya diakui oleh negara).
Hasil yang diharapkan muncul dari proses ini adalah penguasaan penuh para santri atas dalil (teks-teks) dan dogma keagaamaan yang pada level tertingginya membuat santri bisa merumuskan atau mencari sendiri hukum agama atas suatu permasalahan melalui metode istinbath (penggalian hukum) atau Qiyas (analogi hukum).
Kedua, ranah Thabi’ah, atau integritas kepribadian. Prosesnya melalui pemeragaan atau pengamalan atas teks dan dogma yang sudah dikuasai, yang dalam ranah keilmuan pesantren lazim dinamakan taslik. Dalam tarekat istilah yang digunakan sangat mirip yakni suluk. Dengan pengawasan kiai pengasuh, baik secara langsung maupun melalui para pembantunya (Ustadz, Pengurus Asrama, dan sebagainya), para santri dilatih mengamalkan ajaran agamanya, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, sampai menjadi kebiasaan (habits) yang mekanik dan reflektif.
Semua kurikulum di pesantren disusun sedemikian rupa untuk mencapai tujuan besar ilmu yang bermanfaat, dalam arti ilmu yang secara konsisten teramalkan secara pribadi dan bisa memberi manfaat kepada orang lain. Diharapkan dari proses taslik (pengamalan) ini akan lahir sebuah uswah hasanah (keteladanan) dalam beragama yang menginspirasi lingkungan terdekatnya.
Ketiga, ranaah Kafaah, kecakapan yang operatif. Kecakapan ini dibangun melalui proses tatsqif (pembudayaan), yakni dengan membumikan keteladanan yang sudah terbangun secara internal pada lingkungan terdekat. Pada tahap ini pesantren berupaya terus memberikan kemanfaatan bagi lingkungan di sekitarnya secara terlembaga yakni terencana, sistematis, terukur dan konsisten. Dari proses tatsqif ini diharapkan akan ada dua hasil yang tercapai: pertama, kesaksian (baik personal maupun komunal) bahwa dalil-dalil yang dipelajari telah menjadi kenyataan terukur dan bermakna bagi masyarakatnya; kedua, pesantren (kiai dan santri) mendapatkan pengalaman empirik untuk meningkatkan kualitas pengamalan dan pemanfaatan dalil-dalil yang dipelajarinya.
Secara lebih sederhana, sistem pendidikan pesantren yang diadopsi dari tarekat tergambar dalam tabee berikut ini:
Ranah
Proses
Hasil
Faqahah
Pengetahuan Agama
Ta’lim
Mengaji
Dalil
Penguasaan teks
Thabi’ah
Perilaku
Taslik
Pengamalan dalil
Uswah
Keteladanan
Kafa’ah
Kecakapan yang operatif
Tatsqif
Pembudayaan
Syahadah
Kesaksian atau penghargaan dari komunitas
  
4 
PENUTUP
Kesimpulan
a.       Tarekat adalah bagian terpenting dari pelaksanaan tasawwuf dan syari’at, karena tarekat adalah upaya memetik buah dari melaksanakan syari'at. Tarekat mendunia semenjak dikenalkannya konsep tasawuf akhlaqi oleh Imam Ghazali, yang diikuti oleh pelembagaan ajaran tasawuf para sufi besar dalam tarekat. Dan dimensi tasawuf dan tarekat yang luwes, luas, mendalam dan kaya pengalaman esoteris diyakini menjadi kunci dari keberhasilan proses islamisasi nusantara pada abad 15-16, baik oleh walisongo maupun ulama tarekat lain.
b.      Perkembangan tarekat di Nusantara mengelami percepatan dan perluasan secara massif seiring munculnya fenomena orang Jawi naik haji. Perjalanan haji yang cukup lama dengan kapal laut membuat orang Jawi merasa sayang jika perjalanan sejauh dan selama itu hanya untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun memanfaatkannya untuk mendalami ilmu agama dengan mengaji kepada ulama Haramain. Para santri Jawi inilah yang ketika peulang ke tanah air ini ikut menyebarkan tarekat kepada umat Islam Nusantara.
c.       Tarekat melembaga di Nusantara seiring dukungan penguasa (kerajaan) terhadap ulama tarekat, seperti Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdul Rauf Singkel di Kerajaan Aceh, Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani di Kesultanan Palembang, Syaikh Yusuf Al-Makassari di Kerajaan Bugis dan Banten, dan sebagainya. Selain menyumbangkan semangat perjuangan dan dakwah, para ulama tarekat ini juga ikut andil membangun tradisi keagaaman di Nusantara yang toleran, moderat, harmonis dan berpihak pada keadilan. Tarekat juga ikut menyumbangkan sistem pendidikan pesantren, yang merupakan akulturasi dari zawiyah sufi dan sistem ashram-paguron Hindu-Budha.
d.      Karena kentalnya nuansa esoteric dalam tarekat, maka tarekat sangat rentan terhadap penyimpangan dan penyalahgunaan. Untuk mencegah penyimpangan itulah para pengamal tarekat yang bernaung di Nahdlatul Ulama membentuk organisasi pengamal tarekat, Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
--oOo--

Referensi:
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012
Ahmad Baso, Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012
Prof. DR. Abu Bakar Atjeh,  Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian Tentang Mistik), Ramadhani, Solo, tt
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999
Lajnah Ta’lif wan Nasr JATMAN, Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), Khalista, Surabaya, 2006
K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 tahun 1926 s/d ke-29 Tahun 1994, PP RMI dan DInamika Press, Surabaya, 1997
Martin Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun 1997
Tim Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005
Muhdhor Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008



[1] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012, hlm. 42-43
[2] Ibid, hlm. 48-50
[3] Jumlah 44 thariqah ini adalah jumlah thariqah yang dianggap mu’tabar oleh Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), sumber  : Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah,Lajnah Ta’lif wa Nasr JATMAN, Pekalongan, 2005, hlm. 15
[4] Prof. DR. Abu Bakar Atjeh,  Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian Tentang Mistik), Ramadhani, Solo, tt, hlm.
[5] Tim Penulis Jatman, Loc. Cit, hlm. 12
[6] Haidar Bagir, Sejarah Tasawuf dan Aliran-alirannya, http://islamindonesia.co.id/index.php/tasawwuf/681-sejarah-tasawuf-dan-aliran-alirannya
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Arabi
[8] Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.
[9] ibid., hlm.23.
[10] Ibid, hlm. 224.
[11] Meski begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik dengan guru yang masih hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang sudah wafat. Proses ijazah thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 162-163.
[12] Agus Sunyoto, Loc. Cit, hlm. 162 dan 103
[13] Van Bruinessen, loc.cit. hlm. 94 dan 192-195
[14] id.wikipedia.org/wiki/Burhanudin_Ulakan dan pariamannews.wordpress.com
[15] ibid
[16] Ibid, hlm. 56-59
[17] Di kampung penulis, Dusun Lamaran, Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, hingga saat ini ada tradisi melantunkan doa syair yang secara eksplisit menyebut nama Syaikh Muhammad Samman setiap kali usai shalat tarawih dan witir.
[18] Martin Van Bruinessens, Loc.Cit. hlm. 20-21
[19] K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 tahun 1926 s/d ke-29 Tahun 1994, PP RMI dan DInamika Press, Surabaya, 1997, hlm 38 dan hlm. 82-83
[20] Martin Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun 1997,  hlm. 1-100
[21] Tim Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.
[22] Muhdhor Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100
[23] Berbagai catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh tersebut, seperti : www.thohiriyyah.com; http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan sumber-sumber lain.
[24] Disebut Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi Ad-Darqawi. Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah, Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal Thariqah, LTN-JATMAN, 2005, hlm. 31 dan www.wikipedia.org/wiki/shadhili
[25] http://lajnah-talifwannasyr-tarekat.blogspot.com/
[26] http://epress.anu.edu.au/islamic/umma/mobile_devices/ch03s03.html
[27] Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa, disampaikan dalam Halaqah Politik Walisongo, Desember 2005, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Laporan mengenai acara dan materi halaqah tersebut juga dimuat di Majalah Alkisah, edisi 01/2006 yang terbit pada bulan Januari 2006.
[28] Martin Van Bruinessen, loc.cit., hlm 24.
[29] Lihat catatan kaki Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012, halaman 61-62
[30] Ibid, hlm. 224 dan Agus Sunyoto, loc.cit. 78-85
[31] Martin Van Bruinessen, loc. cit, hlm. 32-47
[32] Sorogan adalah metode belajar di mana setiap santri secara bergantian menghadap seorang guru lalu mencoba membaca sebuah teks, baik al-Quran maupun kitab kuning secara baik dan benar sesuai arahan sang guru. Metode dua arah ini biasanya diperuntukan bagi santri-santri kelas awal sampai menengah. Sedangkan Bandongan adalah metode belajar dimana seorang kiai atau guru membacakan kitab kuning lengkap dengan arti dan penjelasannya di hadapan sekelompok santri. Metode satu arah kebanyakan diperuntukkan bagi santri kelas menengah hingga tinggi dan masyarakat umum. Lihat : Marteen Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, cet. Ke-3, 1999, halaman 18.