Monday, June 25, 2007

Pernikahan Islami

MERAIH SURGA DUNIA AKHIRAT
Jika ada surga di dunia, maka surga itu adalah mahligai pernikahan yang bahagia.. (Muhammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku)

Ternyata benar anggapan bahwa bulan Syawwal adalah musim kawin. Tiga minggu pertama ini saja sudah terbilang berapa banyak pesta pernikahan digelar. Dari yang paling sederhana, bertempat di rumah dan hanya dihadiri keluarga dekat saja, sampai yang paling mewah, bertempat di gedung mewah, dengan perlengkapan lengkap dan mahal serta dihadiri ribuan tamu undangan. Dari yang simpel, hanya tasyakuran dan makan-makan ala kadarnya, sampai yang paling rumit, ala tradisi berbagai keraton nusantara dengan seabreg ritualnya.

Ada yang menganggap rumitnya pernak-pernik pernikahan itu hanya sebagai bagian dari pelestarian budaya, mode atau minimal sekedar prestise, karena memang menelan biaya besar. Namun tidak kurang juga yang masih beranggapan tradisi itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan, karena berakibat buruk bila ditinggalkan.

Naifnya, keyakinan itu bahkan masih tumbuh subur di kalangan umat Islam sendiri. Misalnya menaruh dua batang pohon pisang di pintu yang diharuskan dalam pernikahan anak wanita sulung di Jawa. Yang juga memprihatinkan, demi prestise, terkadang upacara pernikahan yang sebenarnya sakral dan bernilai ibadah jadi tercemari maksiat, penghamburan uang dan kemusyrikan.

Itu baru pernikahan. Masih ada lagi acara-acara lain di luar resepsi, seperti lamaran dan lain sebagainya, yang juga tidak kalah ribetnya. Belum lagi tren di kalangan anak-anak muda muslim yang tengah demam tradisi barat kuno yang mengawali hubungan pria-wanitanya dengan pacaran lalu tunangan baru kemudian menikah. Dikatakan tradisi barat kuno, karena di mayoritas kalangan anak muda Barat modern tradisi itu telah berganti dengan hubungan bebas tanpa batas (samen leven).

Bagaimana sebenarnya tuntunan agama Islam mengenai ritus perkawinan? Dalam tulisan berikut penulis akan mengulas rangkaian tatalaksana perkawinan menurut Islam secara singkat.

Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan. Walaupun sederhana tetapi penuh berkah dan tetap terlihat mempesona.

Tuntunan ini penting, karena dari pernikahan yang penuh berkah itulah kehidupan rumah tangga seorang muslim berawal. Jika diawali dengan prosesi yang baik dan benar, tentu bisa diharapkan berkahnya akan melimpah sampai ajal menjemput nyawa. Namun jika sejak awal saja sudah penuh dengan hal-hal yang tidak dirdhai Allah, bagaimana mungkin anugerah sakinah, mawaddah dan rahmah bisa diharapkan tercapai.

Pada dasarnya, proses perkawinan Islami hanya terbagi dalam ke dalam empat tahap : ta’aruf (perkenalan), khithbah (lamaran), nikah dan walimah (resepsi).

Membeli Kucing
Tahapan ta’aruf atau perkenalan yang dimaksud dalam Islam bukanlah pacaran. Ini penting ditekankan, karena sebagian remaja muslim sering membahasakan pacaran mereka sebagai proses ta’aruf. Ta’aruf adalah proses mengenali calon istri atau suami.

Menyadari bahwa pernikahan bukanlah hubungan temporer yang berusia hanya satu atau dua tahun, meski cukup ketat dalam membatasi hubungan pria-wanita non muhrim, Islam juga memberi kesempatan pemeluknya untuk mengenal calon pasangan hidupnya. Ini dimaksudkan umat Islam tidak terjebak dalam praktik “membeli kucing dalam karung”. Dalam hal ini, ta’aruf tidak bersifat fisik semata tetapi juga menyangkut kepribadian (akhlak) dan juga ilmu masing-masing calon.

Tahap awal ta’aruf dilakukan dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai calon pasangan, terutama dari keluarga terdekatnya. Keluarga terdekat yang mintai pertimbangan haruslah dipilih orang yang paling baik agamanya, sehingga diharapkan akan jujur dan adil dalam bercerita. Fokus utama penggalian informasi adalah seputar masalah agama dan akhlak calon pasangan.

Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya wanita dinikahi karena empat hal : hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya. Pilihlah yang paling beragama, makan engkau akan beruntung.” (Al-Hadits)

Meski obyek hadits adalah pria, namun pihak wanita, terutama orang tua, pun sebaiknya mempelajari baik-baik kepribadian dan agama sang calon mempelai pria. Ini bisa dilakukan orang tua secara langsung dengan berinteraksi dengan sang calon mempelai pria, maupun lewat kerabat dekatnya. Lagi-lagi akhlak dan agama lah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menerima atau menolak calon menantu.

Dalam proses ta’aruf itu berlaku hukum saling amanah. Artinya pihak kerabat dekat yang ditanya tidak boleh menutupi kebenaran dan pihak calon mempelai yang bertanya harus mampu menjaga rahasia dari informasi yang didapatkannya. Terutama jika informasi itu merupakan aib yang tidak layak dipublikasikan.

Setelah ta’aruf dianggap cukup, hendaknya seorang muslim melakukan shalat Istikharah (shalat mohon petunjuk), sampai diberi kemantapan hati oleh Allah untuk mengambil keputusan. Setelah mendapat ketetapan hati dan memutuskan pilihan, sang pria sebaiknya tidak menunda-nunda waktu untuk segera meminang. Demikian pula pihak wanita, setelah mendapat informasi yang cukup dan kemantapan hati, hendaknya segera memberi keputusan atas pinangan sang pria.

Pinangan atau khithbah dilakukan dengan menghadap orang tua atau wali sang muslimah pujaan hati, meminta ijin dan restu untuk menikahi anaknya. Wanita yang boleh dipinang adalah wanita yang memenuhi dua syarat : Pertama, tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu, baik yang bersifat permanen seperti masih mahram atau muhrim, maupun yang bersifat sementara seperti dalam masa iddah (baik cerai hidup atau mati). Kedua, belum dipinang orang lain secara sah. Sebab Islam mengharamkan seseorang meminang seorang wanita pinangan orang lain.

Dari Uqbah bin Amir RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin adalah saudara mukmin yang lain. Tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya atau meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sampai saudaranya itu melepaskannya.” (HR. Jamaah)


Keputusan Terakhir
Meski sebelumnya telah melakukan ta’aruf, saat khithbah Islam menganjurkan pelamar dan wanita yang dilamar untuk melihat calon pasangannya. Ini dimaksudkan agar masing-masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan keputusan terakhir atas pasangan hidup pilihannya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.”

Jabir berkata: “Maka tatkala aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya.” (HR. Abu Daud).

Namun, dalam melihat pinangan ini Islam tetap memberikan aturan : dilarang berkhalwat dengan calon pasangan tanpa disertai mahram sang wanita dan keduanya tidak boleh berjabat tangan.

Meski tidak ada aturan baku, Imam Nawawi mengajarkan, untuk menambah keberkahan rangkaian perkawinan disunnahkan mengawali ungkapan pinangan dengan hamdalah, dan shalawat. Setelah menyampaikan pinangan, ada baiknya pihak laki-laki, dengan penuh husnuzhan, memberi kesempatan kepada pihak perempuan untuk berembug dan mempertimbangkan lamaran.

Hendaknya orang tua atau wali pihak perempuan sangat berhati-hati dalam memilih calon menantu. Dan, lagi-lagi, hendaknya akhlak dan agama lah yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam menerima atau menolak pinangan. Pernah ada seseorang bertanya kepada Al-Hassan bin Ali mengenai calon menantunya. Cucu Rasulullah itu lala menjawab, “Engkau harus memilih calon menantu yang taat beragama. Sebab, jika ia mencintai putrimu, ia akan memuliakannya. Dan jika ia kurang menyukai putrimu, ia tidak akan menghinakannya.”

Jika ternyata kemudian lamaran diterima, sebagaimana dicontohkan sahabat Bilal bin Rabbah, hendaknya mengucap hamdalah. Sedangkan jika lamaran ditolak, hendaknya pelamar menyerukan takbir. Jika diterima, hendaknya dalam khithbah itu segera ditentukan hari pernikahan. Karena menikah merupakan ibadah, ada baiknya untuk disegerakan pelaksanaannya, tanpa ditunda-tunda atau diundur.

Dalam menentukan hari pernikahan, hendaknya sunnah Rasulullah menjadi pertimbangan utama. Dalam hal ini tentu anjuran ‘Aisyah Ummul Mukminin untuk menikah pada bulan Syawwal karena banyak keberkahannya patut dijadikan sandaran. Meski demikian pada dasarnya dalam pandangan Islam setiap bulan sama baiknya. Buktinya, Rasulullah menyelenggarakan pernikahan putrinya Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada bulan Shafar, yang banyak dihindari oleh banyak orang karena dianggap bulan bencana.

Dalam masalah pinangan, Islam juga memperbolehkan pihak wanita menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang pria yang menurutnya akan mampu membawa kebahagiaan dunia akhirat. Ini dicontohkan dalam pernikahan agung Rasulullah dengan Sayyidatina Khadijah yang penuh berkah. Saat itu Khadijah, sang saudagar kaya raya, lah yang berinisatif menawarkan pernikahan kepada Rasulullah setelah mengetahui kemuliaan dan keagungan akhlak pemuda miskin dan yatim tersebut.

Menawarkan Diri
Cerita serupa juga disampaikan dalam Shahih Bukhari, “Suatu ketika datanglah seorang wanita menawarkan dirinya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, ‘Ya Rasulallah, apakah Tuan membutuhkan saya?’.

Putri sahabat Anas bin Malik yang hadir dan mendengar ucapan perempuan itu mencela dan mengannggapnya tak punya harga diri dan rasa malu. Anas segera menghardik putrinya, ‘Dia lebih baik darimu. Dia cinta kepada Rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau (dengan baik-baik).’”

Akhirnya sampailah calon mempelai pada fase ketiga yang merupakan bagian terpenting sekaligus inti pernikahan, yakni aqdun-nikah atau akad nikah. Akad nikah sendiri merupakan perjanjian mengikat diri dalam tali perkawinan dengan menetapi syarat-syarat yang ditentukan agama.

Syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam akad nikah ada beberapa hal. Pertama, harus ada keridhaan atau suka sama suka dari kedua calon mempelai. Dan keridhaan pihak wanita, menurut hadits Nabi, adalah diamnya saat ditawari menikah. Meski kadang kurang dianggap, keridhaan pihak wanita –terutama di jaman modern-- sangatlah penting.

Pernikahan yang berlangsung tanpa keridhaan kedua belah pihak tak ubahnya seperti menyimpan bara dalam sekam, yang jika tidak dibentengi iman yang kuat akan mudah tersulut dan menyala berkobar-kobar. Kebakaran yang dimaksud adalah kemaksiatan yang mungkin muncul, seperti perselingkuhan dan sebagainya.

Kedua, adanya ijab qabul. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima.

Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami, untuk menikahkan sang wanita dengannya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Sahl bin Said berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW untuk menyerahkan dirinya, ia berkata, ‘Saya serahkan diriku kepadamu.’ Lalu ia berdiri menanti lama sekali.

Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya.’

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist Sahl tersebut atas menerangkan, tentang ijab yang diucapkan Rasulullah SAW.

Syarat ketiga adalah mahar atau mas kawin. Sebelum kedatangan Islam, wanita di tanah Arab dan sebagian besar dunia nyaris tak bernilai. Seringkali mereka dianggap harta milik yang bisa diwariskan, diperjualbelikan atau diberikan sesuka hati.

Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi atas permintaan pihak wanita yang disepakati kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Namun Islam lebih menyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya.

Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majah)

Ayahnya Ayah
Syarat keempat dan kelima adalah wali dan saksi. Dari Abu Musa RA, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud). Urutan prioritas wali dimulai dari ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada baru kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau –pilihan terakhir-- wali hakim.

Sedangkan saksi pernikahan, paling sedikit dua orang yang dianggap adil. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Al-Baihaqi dari Aisyah).

Dalam upacara akad nikah disunnahkan diadakan khuthbah, yang dinamakan khuthbatun nikah atau khutbah nikah, tepat sebelum ijab-qabul. Khutbah nikah boleh dibacakan wali, penghulu atau seorang ulama yang hadir pada majelis tersebut.

Fase terakhir dari rangkaian prosesi perkawinan Islami adalah penyelenggaraan kenduri atau resepsi perkawinan, yang dalam bahasa Islam disebut walimah. Menyelenggarakan walimah yang sekaligus merupakan pengumuman pernikahan sepasang pria-wanita hukumnya wajib karena mencegah timbulnya fitnah yang akan muncul. Fitnah yang dimaksud adalah kesalahpahaman masyarakat saat melihat dua orang berlainan jenis yang semula tidak ada hubungan mahram sama sekali tiba-tiba tinggal serumah atau bepergian bersama.

Rasulullah SAW bersabda,“....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Abu Dawud).

Sebagaimana kewajiban menyelenggarakan walimah, memenuhi undangan walimah juga hukumnya wajib. “Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu. Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Al-Baihaqi).

Ada dua macam walimah perkawinan : Walimatul Milak, kenduri yang dilaksanakan usai aqad nikah, sebelum pasangan pengantin baru melakukan dukhul (hubungan intim). Dan Walimatul Ursi, walimah perkawinan yang dilakukan setelah keduanya dukhul.

Ada beberapa kesunnahan yang perlu diperhatikan saat mengadakan walimah perkawinan. Pertama, diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut. Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata, “Rasulullah SAW telah menikahi Shafiyah dengan maskawin pembebasannya (sebagai tawanan perang Khaibar) dan mengadakan walimah selama tiga hari.” (HR Bukhari).

Kedua, hendaklah shahibul walimah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW, “Jangan bersahabat kecuali dengan orang mukmin dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Ketiga, sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Auf, “Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” Meski begitu, ada juga beberapa hadits shahih yang menunjukkan dibolehkannya mengadakan walimah tanpa daging.

Dibolehkan juga memeriahkan walimah dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana, asal lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan akhlaq, seperti yang diriwayatkan dari Aisyah, ia (Aisyah) mengarak seorang mempelai wanita menemui seorang pria Anshar. Nabi SAW bersabda: “Wahai Aisyah, mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang pada hiburan.” (HR. Bukhari, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Walimah Haram
Mengenai walimah, perlu diperhatikan nasihat ulama besar Betawi K.H. M. Syafi’i Hadzami dalam Taudhihul Adillah, “..meski walimah wajib hukumnya, namun memeriahkannya atau menyembelih kambing itu hukumnya sunnah. Jangan sampai memaksakan diri mengadakan walimah besar-besaran jika memang keadaan tidak memungkinkan. Apalagi sampai hutang sana-sini yang pada akhirnya memberatkan. Karena bisa-bisa hukumnya menjadi haram.”

Para tamu undangan yang datang ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai dan keluarganya. Dari Abi Hurairah RA, “Rasulullah SAW jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa, ‘Mudah-mudahan Allah memberimu berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan kepadamu dan mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam kebajikan.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Adapun ucapan “Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak anak” dan semacamnya dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang sering diucapkan kaum jahiliyyah.

Dari Hasan bin Ali, ie berkata, Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah, “Bir rafa wal banin.” Aqil bin Abi Thalib segera mencegahnya dan berkata, “Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya.”

Para tamu bertanya, “Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Aba Zaid?.” Aqil menjelaskan, “ucapkanlah, ‘Mudah-mudahan Allah memberi kalian berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan’. Seperti itulah kami diperintahkan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, An-Nasai, Ibnu Majah).

Demikianlah tata cara perkawinan yang diajarkan agama Islam. Meski banyak variasi dan model perkawinan yang di masyarakat muslim, hendaknya aturan syariat itu tetap dijaga agar mendatangkan keberkahan. (Kang Iftah, Jakarta 2006)

Sex Islami

MENGGAPAI ORGASME JASMANI DAN ROHANI
.
Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.

Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.

Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar, “Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya --dan yang paling penting-- adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam-- termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
.
Wajahnya Muram
Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.
.
Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih "ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun" (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.

Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? ...yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
.
Bau Mulut
Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana...” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.

Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
.
Posisi Ijba’
Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.

Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya. (Kang Iftah. Sumber : Sutra Ungu, Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam, karya Abu Umar Baasyir)

Hikmah

BERTINGKAH SEPERTI TUHAN
.
Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan.

Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai akidah dan tasawuf. Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Jawaban dari sang kiai membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid.

Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.”

Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya, seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa.

Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan- setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang, pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali.

“Sekarang semakin banyak kepala keluarga yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya lalu merasa telah memberi rizki. Seorang majikan, karena telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,” terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya. Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.

Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika kontemporer. Dalam rangkaian sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS. Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah ruah.

Namun di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, bagi manusia adalah ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh makhluk.

Ibn Athailah Assakandary mengajarkan,
“Allah ta’ala melarang kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah Pengasuh semesta alam.” (Kitab Al-Hikam)
.
Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid, perlucutan tauhid dari selainnya, terutama Tauhid Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan mengayomi alam semesta. Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja. Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun. (Kang Iftah, Jakarta 2005)

Tuesday, April 24, 2007

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Bagian 1)

Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi


Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang seharusnya diteladani.

Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat.

Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.


Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.


Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang guru untuk menyampaikan nadzar.


Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh Abdul Qadir.


“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri thariqah itu terheran-heran.


Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab. Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian barang dagangan mereka.


Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.”


Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.”


Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah, sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah ketakutan.


Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika. “Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya.


Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”


Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan, dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya, tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa.


Kematian dalam Mimpi
Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi, seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan cemas dan hati berdebar-debar.

Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17 tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan akan selamat dan mendapat untung besar.”

Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.

Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum, dompetnya yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia tertidur pulas di penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok sekelompok orang Badui. Dalam mimpinya, salah seorang perampok menghunjamkan pisau ke dadanya. Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun. Anehnya, ia merasakan nyeri di dada meski tak ada luka sama sekali. Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di WC umum. Ia pun lari, kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada, lengkap dengan isinya.

Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh Hammad dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad yang lebih tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih belia ucapannya benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad, yang langsung menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah waliyullah yang benar-benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan keselamatanmu sebanyak 17 kali, sehingga takdir kematianmu hanya kamu rasakan dalam mimpi, sedangkan takdir kefakiranmu hanya berupa lupa meletakkan dompet,” tuturnya.

Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu berjumpa, belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah mendahului berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17 kali, kemudian berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu belaka apa yang diucapkan oleh Syaikh Hammad.

Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan, dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.

Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak jarang masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam yang “Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sebagai ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.

Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan sang waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat atau mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal ialah mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat dengan perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah, yang membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para wali. Dalam manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi dan semangat baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir melakukan riyadhah bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.

Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur, tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia pegang teguh.


Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok. Salah seorang perampok bertanya, apakah ia memiliki barang berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia memiliki 40 keping uang emas. Anehnya, perampok itu malah tidak percaya, dan berlalu pergi.

Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.

Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu. Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran, mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.


Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”


“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul Qadir dengan tenang.

Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh di hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga janji kepada ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang Pencipta,” ujarnya, yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Suci Sepanjang Malam
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.

Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan, rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang. Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat, sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu tetap dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai kepala, dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi

Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari, Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti sebagai pengganjal perut.

Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.


Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan halal tersebut.

Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun, bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.

Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya' Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji.

Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra, Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang sama. Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa menghiraukan dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam hari, ia mandi junub lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.

Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.

Dalam beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu ditonjolkan. Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap keistiqamahan sang wali yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan cuaca sangat dingin, sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana bagi Allah SWT untuk menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan simbol sangat seringnya suatu kejadian.

Keseriusannya menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya mempertemukannya dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat selama tiga tahun, mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan ini pun keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.

Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati, kecuali untuk bersuci.

Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.

Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan berat disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para awliya dan kaum sufi sepanjang masa.

Jika selama ini orang selalu mengidentikkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan kehebatan dan keajaiban karamahnya – sehingga sosoknya selalu dijadikan wasilah untuk meraih kesaktian secara instan – sekaranglah saatnya untuk berubah. Caranya, dengan meneladani kebersihan jiwa dan keteguhan hatinya dalam mengistiqamahkan ibadah dan menunaikan syari’at. (Kang Iftah, 2007)

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Bagian 2)

Janji, Wasiat dan Ajaran Sang Wali
Sebagai pewaris Nabi, para waliyullah mendapat hak istimewa memberikan syafa’at bagi murid dan pecintanya. Namun, persyaratannya tak mudah: meneladani sang wali dan mengikuti ajarannya yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah.
.
Dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jailani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji, termaktub sebuah janji sang wali, “Tidak seorang muslim pun yang melewati pintu madrasahku kecuali Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat. Aku pasti akan menolong siapa pun yang tersesat jalan, baik ia sahabat-sahabatku, murid-muridku, maupun pecintaku. Kudaku selalu terkekang, panahku selalu terbentang, dan pedangku senantiasa terhunus untuk menolong mereka. Aku pasti menjaga dan menolong, meskipun mereka tak menyadarinya.” Kalimat indah itu diucapkan oleh penghulu para kekasih Allah SWT, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, yang juga Sulthanul Awliya, “raja” para waliyullah.
.
Janji itu memang syafa’at (pertolongan), yang oleh Rasulullah SAW, dengan izin Allah SWT, juga didelegasikan kepada beberapa golongan istimewa, seperti para awliya, guru mursyid, dan hufazhul Quran – para penghafal Al-Quran yang istiqamah menjaga dan mengamalkan Al-Quran. Para penghafal Al-Quran, misalnya, mempunyai hak memberi syafa’at kepada 10 orang keluarganya. Nilai syafa’at itu tentu tak setinggi Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, syafa’at agung, sebagai hak istimewa Rasulullah SAW.

Banyak keteladanan, nasihat, dan ajaran Syaikh Abdul Qadir yang perlu dipelajari dan diamalkan jika seseorang ingin dianggap patut menyandang status sebagai pecintanya, muridnya, atau sahabatnya. Yang paling awal harus ditanamkan ialah perasaan husnuzhan, atau baik sangka, dan cinta kepada sang guru. Ada beberapa murid yang sebelumnya tidak simpati, bahkan cenderung membencinya, namun kemudian berbalik mencintainya dan berguru kepadanya. Seorang di antaranya Syaikh Abduh Hamad bin Hammam.

“Pada mulanya aku tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir. Walaupun aku seorang saudagar yang paling kaya di Baghdad, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun puas hati. Pada suatu hari, ketika menunaikan shalat Jumat, aku tidak mempercayai karamah Syaikh Abdul Qadir. Sampai di masjid, aku dapati beliau sudah di sana. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, kebetulan persis di depan mimbar. Ketika Syaikh Abdul Qadir mulai berkhutbah, ada beberapa perkara yang menyinggung perasaanku.”

Syaikh Abduh Hamad melanjutkan, “Tiba-tiba, aku ingin buang air besar, sementara untuk keluar dari masjid tentu sangat sulit. Aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut kalau-kalau aku buang air besar di dalam masjid. Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir pun memuncak. Tapi, seketika itu beliau turun dari mimbar dan berdiri di depanku. Sambil terus berkhutbah, beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku merasa sedang berada di suatu lembah hijau yang sangat indah.”

Dalam jubah sang waliyullah itu, Syaikh Abduh Hamad seperti berada di sebuah lembah sunyi dengan anak sungai yang airnya mengalir tenang. Maka segeralah ia menunaikan hajatnya, lalu mengambil air wudhu. Dan ketika ia berniat menunaikan shalat, tiba-tiba sudah berada di tempat semula: di dalam jubah Syaikh Abdul Qadir – yang segara mengangkat jubahnya lalu kembali berkhutbah di mimbar. “Aku sangat terkejut. Bukan karena perutku sudah lega, tapi juga perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan jahat lainnya, semuanya hilang,” tambahnya.

Selepas sembahyang Jumat, Syaikh Abduh Hamad pulang. Di jalan ia baru tahu kunci rumahnya hilang. Ia pun lalu kembali ke masjid untuk mencarinya, tapi ia tidak menemukannya sehingga terpaksa memesan kunci baru. Keesokan harinya ia dan rombongan meninggalkan Baghdad untuk berniaga. Tiga hari kemudian, ia melewati sebuah lembah yang indah dengan anak sungai yang airnya jernih. Ia merasa seperti pernah buang hajat di sungai itu.

“Aku lalu mandi di sungai. Setelah selesai dan mau mengambil jubah, aku menemukan kembali kunci pintu rumahku, yang rupa-rupanya tertinggal dan tersangkut pada sebatang dahan di sana. Setelah urusan dagangku selesai, aku segera menemui Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di Baghdad dan menjadi muridnya,” tuturnya.

Memang, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah ulama kharismatis, bahkan seorang sufi besar yang kepribadiannya sangat dikagumi. Dalam kitab Rijalul Fikr wa Da’wah fil Islam, Sayyid Abu Hasan An-Nadwi mengungkapkan, “Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah sosok yang berkepribadian bersih, bersemangat, sangat kuat pengaruhnya. Dia seorang zahid, qana’ah, dan kuat menahan syahwat. Dia laksana mercusuar iman yang menerangi orang yang tersesat dalam kegelapan.”

Dalam taushiyah-taushiyahnya yang sangat menyentuh qalbu, sang waliyullah selalu mengingatkan agar setiap orang berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, setia menjalankan perintah Allah dan Rasul, menjauhi larangan-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam mengendalikan nafsu. Ditekankannya agar pada taraf yang lebih tinggi ia bisa berserah diri sepenuh hati kepada kehendak-Nya. Menurutnya, ada tiga hal yang mutlak harus dijiwai dan diamalkan oleh seorang mukmin dalam segala keadaan. Pertama, menjaga perintah Allah; kedua, menghindar dari segala yang haram; ketiga, ridha dengan takdir Allah.

Salah satu wasiatnya yang sangat terkenal ialah ujarannya sebagai berikut, “Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah. Patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyekutukan Allah. Selalu sucikanlah Allah, dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pertahankanlah kebenaran-Nya, jangan pernah ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqamahlah dengan berharap kepada-Nya. Bekerjasamalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam.”

Bersatu dengan-Nya
Sementara dalam ranah tasawuf ia senantiasa megingatkan, “Tabir penutup qalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau belum melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah dan cahaya-Nya.

Jika engkau mengatakan, jiwamu bersatu dengan Allah dan mencapai kedekatan dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki yang dimaksud ialah berlepas diri dari makhluk dan kedirian, serta sesuai dengan kehendak-Nya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendak-Nya. Inilah keadaan fana dirimu, dan dalam keadaan itulah engkau bersatu dengan-Nya, bukan bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Allah tak terpadani oleh semua ciptaan-Nya’? Istilah bersatu dengan-Nya hanya lazim dikenal oleh mereka yang mengalaminya.”

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang mengajarkan penafian hasrat akan kebendaan duniawiah. Sudah sejak awal ia mengkhawatirkan kecintaan manusia kepada materi yang berakibat ketidakseimbangan ruhani. Sebab, menurutnya, manusia yang sempurna ialah yang mempunyai keseimbangan materi dan spiritual, yang satu sama lain saling menjaga dengan porsi yang sama, porsi yang adil.

Ia memang tokoh unik. Meski sebagian sufi sering dicitrakan lebih mementingkan haqiqat daripada syari’at – karena perilakunya yang dianggap nyeleneh – ia justru dengan tegas menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at sebagai landasan berthariqah dalam rangka menggapai haqiqat dan ma’rifat.
.
Keseimbangan Tiga Pilar
Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.

Misalnya dalam masalah syafa’at Rasulullah SAW, Syaikh Abdul Qadir menulis, “Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa Allah SWT akan menerima syafa’at Rasulullah SAW bagi umatnya yang telah telanjur berbuat dosa, baik dosa besar maupun kecil, yang karenanya mereka ditetapkan masuk neraka, baik syafa’at yang berlaku umum bagi semua umat sebelum proses hisab (perhitungan amal), maupun yang berlaku khusus bagi mereka yang telah masuk neraka.”
.
Dengan syafa’at tersebut seluruh orang beriman yang berada di neraka kelak akan keluar, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Selagi ada sebutir dzarrah (benda terkecil) keimanan dalam qalbu seseorang, dan selama ia mengakui dengan tulus bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT, orang itu akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau, “Syafa’atku, insya Allah, akan didapatkan oleh siapa saja dari umatku selama ia tidak mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu.” (HR Abu Hurairah).

Sebagaimana Rasulullah SAW mempunyai syafa’at, para nabi yang lain pun memilikinya, begitu pula orang-orang shiddiq (yang kepercayaannya akan kebenaran Rasul sangat teguh), serta orang-orang shalih – yang semuanya tentu dengan izin Allah SWT. Dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang layak menjadi salah seorang wasilah (perantara) dalam berdoa, karena ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Namun perlu diingat, ketinggian derajat sang Sulthanul Awliya itu di sisi Allah diperoleh berkat kedalaman ilmunya dalam bidang syari’at.

Cahaya yang Menyesatkan
Kisah penutup berikut ini menggambarkan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir yang menuntunnya mampu melampaui semua godaan yang menghadang laku suluknya.

Ketika suatu malam Syaikh Abdul Qadir bermunajat di zawiyahnya, tiba-tiba muncul sesosok cahaya yang sangat terang benderang di depannya. Dengan suara yang agung, cahaya itu berkata, “Hai Abdul Qadir, aku adalah tuhanmu. Karena ketekunan ibadahmu, mulai saat ini aku halalkan bagimu semua perkara yang haram.”

Tanpa bergerak, tapi dengan ekspresi murka, Syaikh Abdul Qadir menghardik cahaya itu, “Enyahlah engkau, wahai mahkluk terkutuk!”

Seketika, cahaya terkutuk itu padam meninggalkan kepulan asap tipis. Tiba-tiba suara ghaib terdengar lagi, “Kau memang hebat, Abdul Qadir. Keluasan pengetahuanmu mengenai syari’at dan hukum Allah telah menyelamatkanmu. Padahal, sebelum engkau, aku telah berhasil menyesatkan 70 orang sufi dengan cara yang sama seperti ini.”

Ketika pengalaman spiritual itu diceritakan kepada murid-muridnya, salah seorang di antara mereka bertanya, “Dari mana Tuan tahu cahaya itu adalah iblis, bukan Allah?”

Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapannya, ‘Aku halalkan bagimu semua perkara yang haram’. Aku tahu, tidak mungkin Allah SWT akan memerintahkan sesuatu yang buruk dan keji.” Begitulah ketinggian ilmu dan keteguhan iman seorang waliyullah. (Kang Iftah, dari berbagai sumber)

Thursday, March 29, 2007

Wali Songo


Mengembalikan Kesaktian Sang Wali Pendakwah

Proses Islamisasi tanah Jawa tidak terlepas dari peran Walisongo, sembilan wali. Dengan kesaktiannya yang dahsyat proses Islamisasi berjalan dengan mulus, damai dan tanpa gejolak.

Hingga penghujung abad ke-20 dan permulaan abad ke-21 ini Indonesia masih menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tidak istimewa, mengingat negeri ini, seribu tahun sebelumnya, pernah menjadi kerajaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara. Bahkan di masa itu, Kerajaan Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi agama Budha terbaik dan terbesar di seantero dunia, Universitas Nalanda.

Uniknya, dalam proses perubahan besar ini nyaris tidak ada setetespun darah tertumpah. Semua berjalan dengan damai dan penuh kasih sayang. Tanpa paksaan sedikitpun proses Islamisasi berjalan dengan mulus. Keberhasilan yang gemilang tersebut tidak lepas dari kharisma tokoh penyebar agama Islam ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa sebagai pusat Kerajaan Majapahit, Walisongo.

Meski banyak dikelilingi legenda yang kontroversial, Walisongo diyakini oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, adalah tokoh-tokoh nyata yang pernah menghiasi sejarah nusantara. Dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, baik yang bersifat fisik, berupa makam-makam yang hingga kini masih ramai di ziarahi, sisa keraton dan masjid-masjid, serta karya seni berupa tembang (lagu) dan dolanan (permainan) rakyat, maupun yang tersurat dan tersirat dalam babad dan prosa karya pujangga keraton sesudahnya.

Salik dan Majdzub
Walisongo, secara harfiah berarti sembilan orang wali. Penggunaan kata wali, untuk menyebut para penyebar agama Islam di tanah Jawa, sendiri mengindikasikan keterkaitannya yang erat dengan dunia tasawuf. Karena kata “wali”, yang sering diartikan kekasih Allah, merupakan istilah dalam khazanah spiritualitas atau sufisme.

Wali atau waliy berasal dari akar kata waliya-yawla yang berarti dekat dengan sesuatu. Al-Waliyyu mengandung arti orang yang memiliki kedekatan dengan Allah atau orang yang disayang Allah. Dalam bahasa Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fa’il (subyek) dan maf’ul (obyek) sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki kedua pengertian sekaligus tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau, bahkan, orang yang mencintai dan dicintai Allah sekaligus.

Imam Al-Qusyairi mengatakan, Waliy memiliki dua pengertian. Pertama, orang yang dengan sekuat tenaga berusaha menjaga hatinya agar tetap hanya bergantung kepada Allah. Mereka ini yang seringkali juga disebut waliy salik. Kedua, orang yang hatinya secara penuh berada dalam penjagaan Allah. Dalam dunia sufi, wali-wali kelompok kedua ini dipercaya seringkali mengalami kefanaan kesadaran (jadzab), sehingga sering disebut Waliy Majdzub.

Ibnu Arabi, dalam kitab Futuhat Makiyyah, menelusuri kriteria orang-orang yang dicintai Allah, waliy, dalam Al Quran dan menemukan delapan kriteria kewalian. Pertama, orang yang hanya mengambil Allah sebagai pelindungnya. Kedua, orang yang mencintai Allah dan berusaha meniru sifat-sifat-Nya. Seperti menjadi orang yang penyabar, pengasih, penyayang, pemaaf dan sebagainya.

Ketiga, orang yang senantiasa kembali kepada Allah, bertaubat. Dalam pengertian, setiap kali terpeleset melakukan maksiat, dengan segera ia bertaubat. Keempat, orang yang selalu berusaha mensucikan dirinya, lahir dan batin. Kelima, orang yang selalu bersabar atas takdir yang ditetapkan Allah.

Keenam, orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Bagi para wali, musibah dan anugerah adalah sama-sama nikmat, karena keduanya berasal dari Allah. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani, dalam Al-Lujainid Dani mengatakan, “Tidak ada orang yang senang saat menerima bencana dan merasakan kelezatannya, kecuali orang yang mengenal sang Mubli, pemberi bencana.”

Ketujuh, orang yang selalu berbuat baik dan memperbaiki, muhsin. Kedelapan, orang yang selalu menghadirkan Allah dalam hatinya, pada setiap detak jantung dan hembusan nafasnya.

Organisasi Pendakwah
Walisongo, terlepas dari ada atau tidaknya kedelapan kriteria di muka, menurut beberapa sejarawan, sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir berjuang mengislamkan tanah Jawa. Maka tidak mengherankan jika jumlah mereka tidak hanya sembilan, sebagaimana makna harfiahnya.

Kata songo, atau sanga yang bermakna sembilan, dalam tradisi jawa kuno sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang banyak. Sebagaimana ketika orang jawa menyebut sebuah komplek dengan puluhan candi di pegunungan Ungaran Jawa Tengah dengan nama Candi Songo, atau pada nama Sumber Songo dan Gedong Songo.

Ada banyak sumber yang menceritakan tentang anggota-anggota Walisongo. Salah satunya, konon, merujuk kepada buku Kanzul Ulum karya pengelana muslim, Ibnu Bathuthah. Menurut sumber tersebut, konon Walisongo pernah mengalami pergantian susunan anggota sebanyak 5 (lima) kali.

Dewan I (1404 M), terdiri dari, Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli tata negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419; Syeh Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura); Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Trowulan Mojokerto; Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465; Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435; Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435; Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama; Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama; Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.

Dewan II (1436 M), terdiri dari, Raden Ali Rahmatullah berasal dari Cempa, Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat; Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isro’il ; Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat.

Dewan III (1463 M), terjadi perubahan kembali. Raden Paku atau Syeh Maulana Ainul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik; Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat; Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.

Dewan IV (tahun 1466 M), walisongo bertambah dengan kehadiran Raden Patah, putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat; Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.

Dewan V, Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat; Syeh Siti Jenar, wali yang sangat kontroversial, sejak asal muasal kemunculannya dalam berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, dan masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih menimbulkan tanda tanya; dan, Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti Jenar yang wafat.

Penganut Mazhab Syafi’i
Meski demikian banyak dan silih berganti, namun anggota walisongo yang paling akrab di telinga masyarakat dan paling sering menjadi obyek ziarah tetap saja sembilan. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.

Mereka inilah yang dianggap paling banyak meninggalkan jejak sejarah di tanah Jawa. Termasuk beberapa tradisi keagamaan yang bercorak sunni dan bermazhab Syafi’i. Bahkan Indonesia dan beberapa negara tetangganya kemudian menjadi basis mazhab yang berasal dari Mesir tersebut.
Ini tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Ayyubiyyah, penganut fanatik mazhab Syafi’i, yang tengah berjaya di Mesir. Kesultanan ini pula yang merubah faham theologi Universitas Al Azhar, Kairo, dari Syiah menjadi Sunni. Ini terlihat dari tradisi maulidan yang menurut sejarahnya diprakarsai oleh pemerintahan Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sebagai penggugah semangat keislaman rakyatnya.

Diceritakan dalam sejarah, setelah Dinasti Fatimiyyah di Mesir ditumbangkan oleh Sulthan Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 577 H, dimulailah pengiriman mubalig-mubalig bermazhab Syafi’i ke Asia Tenggara. Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke-9 H (permulaan abad ke-14 M) yang .

Kedua kerajaan tersebut adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i yang sangat gigih. Mubalig-mubalig yang dikirim Dinasi Ayyubiyyah dan Mamalik bertebaran keseluruh pelosok dunia termasuk Indonesia. Diantara mubalig-mubalig Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail Ash-Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam mazhab Syafi’i. Dengan usaha tokoh tersebut, umat Islam Pasai kembali menganut mazhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut mazhab Syafi’i yang taat.

Ismail Ash-Shiddiq juga berhasil mengangkat merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai (1225-1297 M) dengan gelar Al-Malikush Shalih. Berkat pengaruh Sulthan Al Malikush Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang Islam di Pulau jawa sekitar abad ke-7 H berbondong-bondong menganut mazhab Syafi’i.

Mulai tahun 1441 M sampai tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Mansyur Syah I, penganut mazhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus mubaligh-mubaligh Islam yang bermazhab Syafi’i ke Minangkabau timur yang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang yang bermazhab Syi’ah sesudah di kalahkan oleh kerajaan Majapahit tahun 1399 M. Berkat pejuangan dari mubalig-mubalig itu pula mazhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur.

Kemudian dari Minangkabau timur Mazhab Syafi’i berkembang ke Batak, muara sungai Asahan dan Simalungun. Mereka juga sampai ke Ujung Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di Philipina.

Abad ke-15 M, atau abad ke-9 H Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan kesultanan Malaka di negeri Malaya sangat aktif mengembangkan Islam mazhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu Demak dan Cirebon. Itulah sebabnya maka agama Islam bermazhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa.

Jadi meski Pulau Jawa sudah bersentuhan dengan Islam sejak abad pertama Hijriyyah (abad 7 M), tetapi gelombang perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau Jawa baru terjadi pada abad ke XV M

Sakti Mandraguna
Figur Walisongo, sebagaimana dikisahkan dalam babad dan “kepustakaan” tutur, selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Seperti kemampuan berjalan “sangat cepat” atau yang lazim disebut ilmu lempit bumi yang sejak kecil dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri, ilmu menembus bumi yang dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga, dan sebagainya.

Namun, sebagaimana dibahas secara mendalam dalam Halaqah Politik Walisongo lalu kesaktian sebenarnya dari Walisongo adalah kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerpakan pola dakwah. Ada empat jurus utama yang digunakan Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam. Empat jurus tersebut membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo yang sekaligus sebagai bukti kebesarannya.

Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.

Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.

Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.

Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.

Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.

Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.

Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.

Keempat, Iqtida’ (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan.

Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.

Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali Songo, telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.

Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

Demikianlah, dengan berbagai “kesaktian”-nya Walisongo kemudian berhasil melakukan sebuah Revolusi Peradaban di tanah Jawa. Maka, jika saat ini ada keinginan untuk mengembalikan kejayaan Islam di Indonesia, mungkin salah satu alternaif strategi yang harus dipertimbangkan adalah menggunakan jurus-jurus sakti para wali tersebut. (Kang Iftah)

Maulid Nabi

Kelahiran Sang Nabi Dalam Untaian Puisi

Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhuran budinya, dengan segala keterbatasan para ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran dan akhlaqnya dalam untaian puisi yang indah.

Bulan Maulid telah tiba. Seluruh dunia menyambutnya dengan gegap gempita. Ada yang menggelar pengajian, ada yang menyelenggarakan selamatan dan tumpengan. Bahkan ada yang menggelar prosesi besar-besaran selama hampir sebulan, seperti tradisi Grebeg Maulud di Keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kasultanan Cirebon. Semuanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran utusan-Nya, Muhammad SAW.


Dari berbagai tradisi merayakan kelahiran Rasulullah SAW tersebut, ada sebuah ritus yang nyaris seragam di semua tempat, yakni pembacaan kisah kelahiran sang nabi. Berbeda dengan sirah (biografi) dan tarikh (sejarah) karya sejarawan, kisah-kisah kelahiran Nabi yang dikenal dengan nama Maulid – atau dalam budaya Betawi disebut Rawi – itu berupa puisi panjang yang digubah oleh para ulama besar yang juga ahli syair.

Ada beragam jenis Maulid. Ada yang digubah dalam lirik-lirik qashidah murni yang indah, seperti Maulid Burdah, oleh Imam Muhammad Al-Bushiri, dan Maulid Syaraful Anam. Ada pula yang bercorak prosa lirik yang dipadu qashidah, seperti Maulid Ad-Diba’i, karya Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi; dan yang mutakhir Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut.

Ada pula ulama pujangga yang menyusun dua Maulid dalam dua model berbeda, seperti Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji al-Madani, penyusun Maulid Barzanji. Maulid karya khatib Masjid Nabawi (Madinah) yang wafat pada 1177 H/1763 M itu disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait.

Meski dengan corak penyusunan beragam, setiap karya Maulid memiliki kesamaan: mengandung keunikan dalam gaya dan irama yang khas, serta penuh metafora dan simbol. Dalam kajian sastra Arab, keunikan itu disebut Al-Madaih al-Nabawiyah, puisi-puisi sanjungan kenabian. Meski isinya sering kali disalahpahami oleh kalangan penentang Maulid sebagai kemusyrikan, metafora dan simbol dalam Maulid justru merupakan kekuatan dalam memunculkan kerinduan dan kecintaan umat pembaca kepada Nabi junjungannya.

Meski tidak sama persis, ada kesamaan lain dari Maulid-maulid tersebut. Yakni dalam pembagian kisah yang biasanya terdiri dari kisah penciptaan Nabi Muhammad SAW, kisah kehamilan ibunda sang Nabi, berbagai keajaiban menjelang kelahiran beliau, sosok dan kepribadian Rasulullah SAW, serta kiprah dakwah beliau.

Nur Muhammad
Beberapa Maulid juga menambahkan bagian-bagian yang tidak ada pada Maulid lainnya sebagai kekhasan. Misalnya, pencantuman silsilah Rasulullah SAW hingga Nabi Ibrahim AS dalam maulid Barzanji, atau pengutipan hadits-hadits tentang Nur Muhammad dalam Simthud Durar, dan tentang keutamaan Rasulullah dan umatnya dalam Ad-Diba’i.

Sebagai bagian dari karya sastra, penambahan-panambahan itu pun dirangkai dalam kalimat kalimat indah yang bersajak. Tengok, misalnya, pohon silsilah Nabi yang dirangkai oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji dalam Maulid-nya yang berjudul asli Qishshah al-Maulid an-Nabawi (Kisah Kelahiran Nabi). “Wa ba’du, kukatakan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, yang nama aslinya ialah Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang sangat terpuji. (Abdul Muthalib) adalah putra Hasyim, yang nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya Al-Mughirah, yang telah berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi...”

Lebih indah lagi, bab nasab itu ditutup dengan serangkaian qashidah yang menawan.

Nasabun tahsibul ‘ulâ bihulâh,
qalladathâ nujûmahal jawza-u

(Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi tinggi,
laksana kecemerlangan bintang Aries di antara bintang-bintang yang membuntuti).

Habbadzâ ‘iqdu sûdadiw wa fakhâri,
anta fîhil yatimatul ‘ashma-u

(Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu,
dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).

Rangkaian pembacaan Maulid biasanya dibuka dengan shalawat dan doa yang dirangkai dalam bentuk qashidah nan indah. Pembacaan Maulid Diba’ dan Barzanji, misalnya, selalu diawali dengan syair berikut:

Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Ya Rabbi balligh-hul wasîlah
Ya Rabbi khush-shah bil fadhîlah

(Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad.
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat dan kesejahteraan kepadanya.
Wahai Tuhan, sampaikanlah kepadanya sebagai perantara.
Wahai Tuhan, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan).

Sedangkan Simthud Durar dibuka dengan syair:

Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Mâ lâha fil ufuqi nûru kawkab

(Wahai Tuhan,
selagi cahaya bintang gemintang masih gemerlapan di kaki langit,
tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad).

Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori baligh, tingkatan metafora tertinggi.

Qashidah lain yang sangat populer dan sangat baligh terdapat dalam Maulid Barzanji:

Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri

(Engkaulah surya, engkaulah purnama.
Engkau cahaya di atas cahaya)

Dalam tradisi sastra Arab, syair tersebut bernilai tinggi justru karena menghilangkan sebagian unsur kalimatnya. Jika dilengkapi – yang berarti menurunkan kualitasnya – kalimat tersebut bisa berbunyi...

Anta kasy-syamsi fi tanwiri qulubin nas
Anta kal badri fil taksyifi zhulamiz zamani
Anta fil anbiya-i ka nurun fawqa nuri

(Engkau laksana surya, dalam menyinari hati manusia.
Engkau laksana purnama, dalam menyingkap kegelapan masa.
Di antara para nabi, Engkau laksana cahaya di atas cahaya).

Keindahan lain juga terkandung dalam pengisahan proses penciptaan ruh Nabi Muhammad SAW, yang diyakini berasal dari pancaran cahaya Ilahi. Karena itulah bentuk awal penciptaan Rasulullah disebut nur Muhammad, yang diciptakan sebelum penciptaan alam semesta raya. Bahkan diceritakan oleh para ahli hikmah, karena Muhammad-lah Allah menciptakan alam semesta ini.

Syaikh Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan Huwa akhirul anbiya-i bi shuratihi wa awwaluhum bi ma’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Dhiya-ul Lami’ menggambarkannya berupa dialog ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda, “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”

Masih tentang hal yang sama, Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthud Durar mengutip hadits Abdurrazzaq dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain.” Maka jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad, dari nur-Nya sebelum menciptakan sesuatu yang lain.”

Penggambaran tentang penciptaan nur Muhammad ini dengan indah dilukiskan oleh kakek (alm.) Habib Anis, Solo, dengan ungkapan, “Pecahlah ‘telur’ penciptaan-Nya di alam mutlak yang tak berbatas ini. Menyingkap keindahan yang bisa disaksikan pandangan mata, mencakup segala kesempurnaan sifat keindahan dan keelokan. Dan berpindah-pindahlah ia dengan segala keberkahan, dalam sulbi-sulbi (punggung) dan rahim-rahim yang mulia. Tiada satu sulbi pun yang menyimpannya, kecuali beroleh nikmat Allah nan sempurna.”

Arsy Pun Berguncang
Sementara Maulid Diba’ menggambarkannya dengan lebih mendetail melalui periwayatan Sayyidina Abdullah bin Abbas RA. Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang ketika itu masih berwujud cahaya (nur) di hadapan Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam AS, yang selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya, bertasbih pula para malaikat mengikutinya.

Ketika Allah akan menciptakan Adam,nur itu pun diletakkan di tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkannya ke bumi melalui punggung Nabi Adam dan Allah membawanya ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh dan menjadikannya dalam tulang sulbi sang Kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia dilemparkan ke dalam api.

Tak henti-hentinya Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, memindahkannya dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.”

Setiap tahapan penciptaan dan kelahiran Rasulullah memang sarat dengan keajaiban dan keluarbiasaan. Ketika Nabi masih dalam kandungan ibundanya, Aminah, Syaikh Ja’far Al-Barzanji melukiskan kesuburan yang mendadak mewarnai sekitar kota Makkah, dan hujan yang mendadak turun, setelah bertahun-tahun kemarau melanda tanah suci itu.

Berita tentang telah dekatnya kelahiran seorang calon nabi akhir zaman, rupanya telah sampai ke telinga para pendeta Yahudi dan Nasrani, juga para penyihir dan dukun. Tak mau kecolongan, mereka minta bantuan jin untuk mencuri dengar kabar dari langit. Namun, sejak kehamilan Aminah, segenap pintu langit telah dijaga ketat oleh para malaikat bersenjatakan panah berapi.

Dalam Maulid-nya, Habib Umar bin Hafidz menambahkan, “Dan ketika Aminah mengandung Nabi, ia tidak pernah merasa sakit sebagaimana lazimnya wanita yang tengah hamil.” Sementara Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i memilih penggambaran yang gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang berakhiran huruf ra berharakat fathah.

Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra
Wam-tala-atis samâwâtu anwâra
wa dhaj-jatil mala-ikatu tahlîlan wa tanjîdan was-tighfâra

(Maka Arsy pun berguncang
penuh suka cita dan riang gembira.
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang.
Langit dipenuhi berjuta cahaya.
Dan bergemuruh suara malaikat
membaca tahlil, tamjid (pengagungan Allah), dan istighfar.)

Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa luar biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang tak terhingga nilainya, misalnya untaian puisi dalam Maulid Diba’ seperti berikut:

Wa lam tazal ummuhû tarâ anwâ’an min fakhrihî wa fadhlihî,
ilâ nihâyati tamâmi hamlih
Falammâsy-tadda bihâth-thalqu bi-idzni rabbil khalqi,
wadha’atil habîba shallallâhu ‘alaihi wa sallama sâjidan syâkiran hâmidan ka-annahul badru fî tamâmih

(Dan sang ibunda tiada henti melihat bermacam tanda kemegahan dan keistimewaan sang janin,
hingga sempurnalah masa kandungannya.
Maka ketika sang bunda telah merasa kesakitan,
dengan izin Tuhan, Sang Pencipta makhluk, lahirlah kekasih Allah, Muhammad SAW,
dalam keadaan sujud, bersyukur, dan memuji,
dengan wajah yang sempurna, laksana purnama).

Sementara Simthud Durar menggambarkannya dengan untaian kalimat yang tak kurang indah...

“Maka dengan taufik Allah,
hadirlah Sayyidah Maryam dan Sayyidah Asiyah,
yang diiringi bidadari-bidadari surga
yang beroleh kemuliaan agung
yang dibagi-bagikan Allah
atas mereka yang dikehendaki
Dan tibalah saat yang tlah direncanakan Allah
bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah
Terang benderang menjulang tinggi
Dan terlahirlah insan nan terpuji
Tunduk khusyu’ di hadapan Allah
Terang benderang menjulang tinggi.....”

Dalam Maulid-maulid itu juga diriwayatkan, Rasulullah SAW dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan, mata beliau indah bercelak, tali pusarnya telah bersih terpotong – berkat kuasa kodrat Ilahi.

Habib Ali juga menukil periwayatan Abdurahman bin ‘Auf, yang bersumber dari pengalaman ibu kandungnya, Syaffa’, yang berkisah, “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar suara, ‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di hadapannya, menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian gedung-gedung Romawi.”

Cerita kehadiran Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa AS) dan Sayyidah Asiyah (istri Firaun yang juga ibu angkat Nabi Musa) saat kelahiran Rasulullah SAW, dikisahkan dalam Maulid Barzanji. Dilukiskan pula berbagai peristiwa ganjil yang menghiasi malam kelahiran beliau, seperti retaknya Istana Kerajaan Persia, banjir bandang yang melanda Lembah Samawah di Gurun Sahara, padahal sebelumnya belum pernah ditemukan air setetes pun; serta cahaya terang benderang di atas kota Makkah dan sekitarnya.

Lebih lanjut Al-Barzanji juga menceritakan kondisi bayi Muhammad sesaat setelah kelahirannya, “Nabi lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya menengadahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian kedudukannya dan keluhuran budinya.”

Demikianlah berbagai ungkapan keindahan pada detik-detik kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid karya ulama shalih dari zaman ke zaman. Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhurannya, dengan segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha merangkumnya dalam serangkaian puisi indah.

Betapa beruntung orang-orang yang mencintainya dengan cara apa pun, sebagaimana ungkapan Imam Bushairi dalam Maulid Burdah-nya, “Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbatkanlah kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”

Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai keistimewaan, yang menjadikan posisi beliau di antara umat manusia bak permata di antara bebatuan semata....

(Kang Iftah. Sumber : Maulid Ad-Diba’i, Simthud Durar, Dhiya-ul Lami’, Burdah, Barzanji)