Tuesday, July 15, 2008

Sejarah Kepemimpinan NU

Ketika Ulama dan Santri Berkhidmah pada Negeri

Dari kecintaan pada tradisi beragama, Nahdlatul Ulama lahir dan tumbuh bersama jatuh-bangunnya bangsa. Dan menunjukkan kesetiaan kepada negara.

Bulan Januari ini, dengan gegap gempita, Nahdlatul Ulama merayakan hari lahirnya yang ke-82. Beragam acara digelar di sepanjang bulan ini, yang tahun ini akan diselenggarakan besar-besaran. Puncak acara, baru akan digelar 3 Februari 2008 di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta.

Usia 82 tahun bukan masa yang singkat dalam siklus kehidupan manusia modern. Waktu yang terentang di sepanjang angka itu sudah lebih dari cukup untuk mencecap berbagai pengalaman, manis maupun getir, yang bisa direnungkan untuk perbaikan. Demikian pula apa yang kini tengah dirasakan oleh para nahdliyin.

Organisasi massa keagamaan yang didirikan oleh para ulama pesantren tradisional itu, terbukti telah mampu melintasi lima masa transisi negeri ini dengan selamat, meski sesekali meninggalkan “lecet dan lebam” di sana-sini. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari perjalanan panjang ormas Islam terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 silam ini. Salah satunya dalam hal kepemimpinan, yang dalam tradisi NU selalu dipegang oleh ulama.

Mengulas tradisi kepemimpinan NU selalu menarik. Bukan saja karena jam’iyyah ini didirikan, dipimpin, dan dikelola oleh ulama pesantren tradisional dan para santrinya, yang sering kali identik dengan kaum sarungan yang “ndesa”. Tapi juga karena NU telah terbukti berhasil mengembangkan jati dirinya hingga kini sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.

Sekadar kilas balik, NU berembrio dari organisasi pedagang Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) pada tahun 1910 di Cukir Jombang, kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran) yang didirikan K.H. Abdoel Wahab Chasboellah dan K.H. Mas Mansoer di Surabaya pada 1914, dan organisasi Nahdlatul Wathan (1916), yang beranggotakan para ulama besar berbagai pesantren. Namun, karena beda pendapat dalam masalah khilafiyah, duet kiai muda progressif (Kiai Wahhab dan Kian Mashur) itu pecah, dan akhirnya Kiai Mas Mansoer memilih bergabung dengan Muhammadiyah, yang telah lebih dulu berdiri.

Pada 1924-1925, Makkah dilanda perebutan kekuasaan yang dimenangkan oleh kelompok Wahabi dengan dukungan klan Saudi. Untuk mengukuhkan kedudukannya di dunia internasional, penguasa baru Jazirah Hijaz (nama Arab Saudi ketika itu) menggelar Kongres Khilafah. Para kiai pesantren di Indonesia yang merasa berkepentingan memperjuangkan keberlangsungan empat madzhab di dua tanah suci itu pun membentuk Komite Hijaz, dan mengirimkan delegasi ke Makkah untuk menyampaikan aspirasi kepada Raja Saud.

Berhasil menggolkan misinya, para tokoh Komite Hijaz kembali berembuk di Surabaya pada 31 Januari 1926. Mereka itu antara lain Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sjansoeri (Jombang), Kiai Ridwan (Semarang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Nawawi (Pasuruan), Kiai Nachrowi (Malang), KH Dahlan Achyat kebondalem surabaya dan Kiai Mas Alwi Abdoel Aziz (Surabaya). Mereka sepakat mendirikan jam’iyah yang dinamakan Nahdlatoel Oelama (Kebangkitan Ulama), yang bertujuan menegakkan syariat Islam berdasarkan empat madzhab.

Guru Besar para Ulama
Meski menjadi motor pemrakarsa utama, Kiai Wahab tidak bersedia menduduki jabatan rais akbar alias hoofd bestuur (pemimpin besar) Nahdlatoel Oelama, dan menyerahkan jabatan tertinggi organisasi baru itu kepada gurunya, K.H. M. Hasjim Asj’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. Restu guru dari para ulama itulah yang memuluskan pembentukan NU, sementara jabatan ketua Tanfidziyah dipercayakan kepada Hasan Gipo (Ampel), yang beberapa waktu kemudian wafat.

Gagasan Kiai Wahab menyerahkan jabatan tertinggi kepada Hadhratusy Syaikh Hasjim Asj’ari sangat brilian. Sebab, selain berkedudukan sebagai ulama besar yang sangat disegani karena kedalaman ilmunya, Mbah Hasyim juga dikenal sebagai guru hampir semua ulama muda di tanah air. Bahkan bisa dibilang, sepeninggal K.H. Muhammad Cholil Bangkalan (guru besar ulama tanah air pada awal abad ke-20), Kiai Hasjim dan Pesantren Tebuireng yang diasuhnyalah yang menjadi kiblat dunia pesantren di negeri ini, khususnya di Jawa.

Dengan nama besar sang pemimpin, yang jaringan santrinya tersebar di seluruh penjuru tanah air, serta ditopang oleh barisan ulama muda yang andal di lapis kedua, perlahan tapi pasti NU tumbuh menjadi organisasi besar yang menasional. Sayang, meski jaringan para nahdliyyin tumbuh subur, masa kepemimpinan Hadhratusy Syaikh sarat dengan berbagai keprihatinan. Terutama karena kolonialis Belanda selalu memantau gerak-gerik para ulama dan kaum santri.

Di mata kaum penjajah, Kiai Hasjim dikenal sebagai sosok non-kooperatif yang selalu menularkan sikap anti penjajah kepada warga nahdliyyin. Terutama melalui forum muktamar, yang kala itu digelar setiap tahun secara bergiliran dari satu daerah ke daerah lain. Dalam Muktamar ke-10 di Banjarmasin, sebagaimana dikisahkan dalam buku Kharisma Ulama, Riwayat Singkat 26 Tokoh NU, Kiai Hasjim mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam Indonesia pergi haji dengan menumpang kapal milik Belanda.

Fatwa tersebut mendapat dukungan gegap gempita dari berbagai partai dan ormas Islam di seluruh Indonesia. Bahkan, belakangan mereka membentuk badan federasi partai dan ormas Islam bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang diketuai oleh Kiai Hasjim. Melalui MIAI – yang akhirnya (terpaksa) diakui oleh pemerintah Hindia Belanda – itulah, perjuangan melindungi umat Islam, khususnya warga nahdliyyin, dilakukan.

Kelimpungan menghadapi aksi ulama NU, pemerintah Hindia Belanda berusaha melunakkan hati sang Rais Akbar. Pada 1937, pemerintah Hindia Belanda menganugerahkan bintang kehormatan dari Ratu Belanda Wilhelmina yang terbuat dari emas dan perak. Namun, dengan tegas Kiai Hasjim menolaknya.

Selain perjuangan di kalangan eksternal, Mbah Hasjim tidak melupakan urusan internal NU. Untuk membentengi aqidah kaum nahdliyyin dari demam pemikiran Muhammad Abduh, ulama reformis dari Mesir, Hadhratusy Syaikh menyusun qanun asasi (anggaran dasar) NU, yang memuat pedoman dasar aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU.

Ditangkap dan Dipenjara
Ketika Belanda bertekuk lutut dan gantian Jepang menjajah Indonesia, nasib NU tak kunjung membaik. Banyak ulama pesantren menjadi sasaran tuduhan gerakan anti Nippon. Bahkan, pada awal 1943, Kiai Hasjim Asj’ari dan K.H. Mahfoedz Shiddiq (ketua Tanfidziyyah), beserta beberapa ulama lain, ditangkap dan dipenjara di Bubutan, Surabaya. Tak hanya pemimpin tertinggi yang ditahan, ratusan kiai pengurus NU tingkat cabang pun ditangkapi dan dipenjara. Sebagian bahkan langsung dihukum mati tanpa proses pengadilan.

Berkat perjuangan K.H. Abdoel Wahab Chasboellah yang mengambil alih kepemimpinan NU, bersama Keluarga Besar Pesantren Tebuireng, lima bulan kemudian Kiai Hasjim dibebaskan. Belakangan, sebagai upaya kompensasi atas penangkapan sewenang-wenang itu, pemerintah Dai Nippon mengangkat Mbah Hasyim sebagai shumobucho alias kepala jawatan agama; sementara MIAI diakui oleh pemerintah Dai Nippon dengan nama baru, Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi, yang kelak menjadi partai politik), dengan K.H. Abdoel Wahid Hasjim tetap sebagai ketua.

Untuk melindungi NU dan para nahdliyyin dari kebengisan bala tentara Dai Nippon serta fitnah anti Nippon, Kiai Hasjim terpaksa menerima jabatan tersebut. Namun, dengan alasan usia dan kesehatan, Mbah Hasjim mewakilkan aktivitasnya kepada putranya, K.H. Abdoel Wahid Hasjim. “Menerima jabatan itu lebih kecil madharatnya bagi warga nahdliyyin daripada menolaknya,” ujar Kiai Wahid menjelaskan alasan ayahandanya dalam buku biografi K.H. Saifudin Zuhri, Berangkat dari Pesantren.

Di antara berbagai aksi nasionalisme Kiai Hasjim, yang paling fenomenal adalah fatwanya tentang kewajiban berjihad membela negara, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Melalui fatwa yang belakangan disebut Resolusi Jihad, Mbah Hasjim menggelorakan seluruh sudut pesantren dan kantung-kantung nahdliyyin di negeri ini dengan semangat juang mempertahankan kemerdekaan. Dari pesantrennya di Tebuireng ia mengomando para kiai dan santri maju ke medan perang 10 November di Surabaya dan pertempuran-pertempuran jihad di beberapa daerah lain.

Semangat nasionalisme para ulama NU memang luar biasa. Selain berjuang di bidang politik seperti yang dilakukan oleh K.H. A. Wahid Hasjim (putra K.H. Hasjim Asj’ari dan ayahanda K.H. Abdurrahman Wahid), banyak yang langsung angkat senjata, seperti yang dilakukan oleh Kiai Wahab, Kiai As’ad, Kiai Masjkur, dan Kiai Abbas (Buntet, Cirebon).

Kiai Hasjim sendiri membuktikan kecintaannya kepada tanah air hingga wafat, beberapa waktu setelah Malang jatuh ke tangan pasukan Belanda. Ia jatuh pingsan mendengar kabar bahwa kota tempat markas besar Lasykar Hizboellah itu direbut oleh tentara Belanda. Sejak itu sang Allamah tak pernah sadarkan diri hingga wafatnya pada 25 Juli 1947 M bertepatan dengan 8 Ramadhan 1366 Hijriyyah.

Barisan Kiai
Sepeninggal Hadhratusy Syaikh K.H. Hasjim Asj’ari, tampuk kepemimpinan NU dipegang oleh K.H. Abdul Wahab Chasboellah. Sebagai ungkapan kerendahan hatinya kepada sang guru, ia menghapus jabatan rais akbar (pemimpin besar) dan menggantinya dengan rais ‘am (pemimpin umum).

Berbeda dengan sang guru yang lembut dan sangat berhati-hati, Kiai Wahab adalah sosok ulama yang cekatan, lincah, dan lugas. Meski murni produk pesantren tradisional, pengetahuan Kiai Wahab sangat luas. Topik obrolannya bisa beragam, mulai dari pencak silat sampai bom atom, dari onderdil mobil sampai aparatur negara, dari qashidah sampai perwayangan, bahkan hingga masalah land reform dan sosialisme.

Hebatnya, kecerdasan Kiai Wahab juga dilengkapi dengan retorika, sehingga menjadikan uraiannya terdengar menarik. Orasinya di rapat-rapat umum selalu memukau. Ia tak pernah canggung berbicara di depan ribuan massa, padahal ia diminta bicara secara mendadak. Sebaliknya, ia tidak pernah kecewa jika yang mengerumuninya cuma sedikit orang.

Kiai Wahab termasuk pemegang andil terbesar dalam kelahiran dan peletakan dasar-dasar NU di hampir semua sektor. Dari tradisi intelektual, struktur organisasi, aktivitas jurnalistik, sampai siasat bertempur di medan perang. Ia tak canggung terjun langsung ke medan laga memimpin Barisan Kiai yang berada di lapisan kedua di belakang pasukan Hizbullah yang dipimpin K.H. Zainoel Arifin dan pasukan Sabilillah pimpinan K.H. Masjkoer.

Di bawah kepemimpinan Kiai Wahab, lagi-lagi NU selamat melewati transisi revolusi fisik. Bahkan, sejak awal kemerdekaan, kiprah Kiai Wahab dan NU telah diakui pemerintah. Bersama beberapa tokoh NU dan kaum pergerakan lainnya, Kiai Wahab duduk di Dewan Pertimbangan Agung. Ia juga berkali-kali duduk sebagai anggota sampai akhir hayatnya pada 1971.

Peran politik Kiai Wahab yang paling menonjol di masa pemerintahan Presiden Soekarno ialah sebagai mediator antara NU dan pemerintah. Belakangan ia dipercaya oleh Bung Karno menjadi salah seorang penasihatnya. Karena fungsinya itulah Kiai Wahab sangat dekat dengan Presiden dan pejabat tinggi lainnya, dan berkali-kali menyelematkan NU dari gonjang-ganjing politik yang kala itu sangat kerap terjadi.

Selain piawai membawa diri, Kiai Wahab, yang alumnus berbagai pesantren besar di Jawa dan Makkah, juga dikenal sebagai tokoh yang berhasil melakukan kaderisasi dan regenerasi dalam tubuh NU. Beberapa tokoh muda NU yang digandengnya kelak menjadi aktor utama NU yang andal. Sebut saja misalnya K.H. Abdoel Wahid Hasjim, K.H. Saifudin Zuhri, K.H. Idham Chalid, dan lain-lain. Mereka kenyang belajar pengalaman dan ilmu sang Allamah.

Jurnalistik Modern
Puncak kiprah Kiai Wahab dalam membesarkan NU ialah ketika bersama beberapa tokoh muda binaannya, seperti Kiai Wahid Hasjim dan Kiai Idham Chalid, memisahkan NU dari Partai Masjumi dan berdiri sendiri menjadi Partai Nahdlatul Ulama pada 1952. Partai baru itu bersaing dengan partai-partai lain yang telah lebih dulu mapan dalam gelanggang politik Indonesia, terutama menghadapi pemilu pertama, 1955.

Perubahan drastis itu tentu bukan tanpa hambatan, baik eksternal maupun internal. Ketika itu muncul keraguan di kalangan beberapa pemimpin NU yang duduk dalam kepengurusan Partai Masyumi. Maka, dengan sikap khasnya yang tegas dan berwibawa, Kiai Wahab berkata, “Siapa yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri Partai Nahdlatul Ulama. Saya hanya memerlukan seorang sekretaris. Dan Tuan-tuan silakan lihat apa yang akan saya lakukan!” Dan tantangan itu terbukti. Tiga tahun kemudian, dalam pemilu 1955, NU keluar sebagai empat besar bersama PNI, Masyumi, dan PKI.

Seperti lazimnya dialami para pemimpin, kepemimpinan Kiai Wahab juga tidak lepas dari ejekan, fitnah, dan hinaan, di samping sanjungan dan penghormatan. Pada zaman Orde Lama, misalnya, banyak orang mengejek Kiai Wahab sebagai “Kiai Nasakom”, lantaran NU menerima konsep Bung Karno mengenai Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis). Padahal, seperti ditulis Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya, Berangkat dari Pesantren, ketika itu semua kekuatan sosial-politik, termasuk ABRI, menerima Nasakom. Tak seorang pun berani menentang Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno.

Menanggapi ejekan itu, dengan enteng Kiai Wahab hanya tertawa. “Biarkan saja. Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding ejekan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila,” katanya terkekeh-kekeh.

Untuk ukuran zaman dan komunitasnya, Kiai Wahab tergolong ulama yang maju dan inovatif. Ia tak pernah berhenti berpikir mencari terobosan untuk memajukan NU. Suatu ketika, misalnya, ia merasa media lisan sangat terbatas dalam menyampaikan pesan dakwah kepada warga nahdliyyin. Maka ia pun melirik media cetak, yang waktu itu belum lazim di kalangan pesantren.

Bersama tokoh NU lainnya, ia membeli secara patungan sebuah gedung dan sebuah percetakan di Jalan Sasak 23, Surabaya. Dengan dilandasi pemikiran sederhana (menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien), Kiai Wahab merintis tradisi jurnalistik modern di kalangan warga nahdliyyin. Mula-mula ia menerbitkan majalah tengah bulanan Soeara Nahdlatoel Oelama, yang dipimpinnya sendiri. Tak lama kemudian media itu berganti nama menjadi Berita Nahdlatoel Oelama.

Dari ide kiai berperawakan kecil dan berkulit gelap itu, bermunculan media massa di kalangan nahdliyyin, seperti Soeloeh Nahdlatoel Oelama (dipimpin Umar Burhan), Terompet Ansor (dipimpin Tamyiz Khudlory), majalah berbahasa Jawa yang beredar di Jawa Tengah bagian selatan Penggoegah (dipimpin Kiai Raden Iskandar dan Saifuddin Zuhri), dan koran berskala nasional, Duta Masyarakat. Dari penerbitan itulah NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi.

Sikap dan Kebijakan Tegas
Begitu besar kecintaan Kiai Wahab pada NU. Sejak kelahiran jam’iyyah itu hingga sang pendiri wafat, ia tidak pernah absen menghadiri muktamar NU. Ketika Muktamar ke-25 digelar di Surabaya (1971), meski sedang sakit keras, Kiai Wahab tetap bersikeras menghadirinya. Ia juga berharap masih bisa ikut memberikan suaranya bagi Partai Nahdlatul Ulama dalam pemilu 1971. Alhamdulillah, keinginan itu dikabulkan oleh Allah SWT.

Dalam Muktamar Surabaya itu, sekali lagi ulama besar itu terpilih sebagai rais ’am Syuriah PBNU. Namun kepemimpinannya tak berlangsung lama. Empat hari setelah Muktamar Surabaya, 29 Desember 1971, ulama besar yang banyak berjasa terhadap bangsa dan NU itu wafat di rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang.
Maka jabatan rais ‘am pun dipercayakan kepada K.H. Bisri Sjansoeri, pengasuh Pesantren Denanyar, Jombang, yang tidak lain adalah sahabat seperguruan Kiai Wahab. Kiai Bisri juga besan Hadhratusy Syaikh K.H. Hasjim Asj’ari, karena ia adalah ayahanda Nyai Hj. Sholihah, istri K.H. A. Wahid Hasjim.

Masa kepemimpinan Mbah Bisri merupakan masa-masa sulit bagi NU. Usai pemilu 1971, pemerintah Orde Baru memfusikan semua partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sisanya (partai nasionalis, Nasrani, dan murba) ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sementara pemerintah membentuk Golongan Karya (Golkar).

Maka warga NU pun memasuki babak baru. Meski Kiai Bisri diangkat sebagai rais ‘am PPP, nyatanya warga nahdliyyin cuma berperan sebagai “tukang dorong mobil”: hanya digalang suaranya setiap kali menjelang pemilu. Usai pemilu, para ulama dan warga NU kembali disisihkan dari percaturan politik. Paling banter diberi kedudukan kehormatan di parlemen.

Oleh pemerintah Orde Baru pun, NU dianggap sebagai duri dalam daging. Sikap dan kebijakan tegas para ulama NU yang dimotori oleh Kiai Bisri, yang ahli fiqih tulen, tak jarang berseberangan dengan pemerintah. Beberapa kali undang-undang yang digagas oleh pemerintah ditentang oleh Fraksi PPP di DPR yang dipimpin oleh kiai sepuh itu. Bahkan pernah, dalam sebuah Sidang Umum MPR 1978, Kiai Bisri mengajak Fraksi PPP melakukan walk out dari ruang sidang.

Tak pelak, sikap keras NU itu dijadikan alasan untuk “mencelakai” tokoh-tokoh NU. Para muballigh NU diawasi dengan ketat, bahkan tak jarang diturunkan dari podium karena mengkritik pemerintah secara terang-terangan. Tapi, tokoh-tokoh NU tak patah arang. Mereka menggeliat. Namun, efek negatifnya, gara-gara sibuk memperbaiki posisi tawar di dunia politik, banyak garapan di ranah dakwah, sosial, ekonomi, dan pendidikan (cita-cita awal ketika NU berdiri) terabaikan.

Kondisi seperti itu perlahan-lahan memancing kegelisahan tokoh-tokoh muda NU, seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, dan teman-teman seangkatannya. Mereka segera mengampanyekan gerakan NU kembali ke Khiththah 1926 sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang berjuang di ranah dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan sosial.

Asas Tunggal Pancasila
Perlahan, kampanye itu mulai menarik simpati golongan sepuh. Gerakan itu semakin menguat ketika Kiai Bisri Sjansoeri wafat pada 25 April 1980. Saat dipilih sebagai rais ‘am yang baru, Kiai Ali Ma’shum serta para kiai sepuh mendukung gagasan reformasi yang digerakkan oleh kaum muda NU itu. Tapi, mereka berhadapan dengan sebagian tokoh yang duduk di jajaran Tanfidziyyah, yang masih asyik bergulat dengan aktivitas politik.

Konflik pun semakin memanas ketika pada 1982 peran NU di PPP dipersempit. Para ulama sepuh yang diwakili oleh Kiai Masykur, Kiai Ali Ma’shum, Kiai Makhrus Ali, dan Kiai As’ad Sjamsoel Arifin menemui K.H. Idham Chalid, dan memintanya mundur sebagai ketua umum Tanfidziyyah, yang sudah dijabatnya lebih dari 30 tahun. Idham bersedia menandatangani surat pengunduran diri. Namun, beberapa hari kemudian ia mencabutnya kembali.

Tentu saja Kiai Ali Ma’shum menolak pencabutan pengunduran diri tersebut, dan merangkap jabatan rais ‘am dan ketua umum. Puncak konflik meletus dalam Muktamar ke-27 Situbondo pada 1984, yang secara resmi memutuskan NU kembali ke Khiththah 1926. Muktamar juga membuat keputusan penting yang menyelamatkan langkah NU hingga satu dasawarsa ke depan, yaitu menerima asas tunggal Pancasila, karena dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sejak itu NU benar-benar menarik diri dari kancah politik yang telah digelutinya sejak negeri ini merdeka. Tenggelamkah NU? Ternyata tidak. Ia muncul kembali di ranah dakwah, sosial, kebudayaan, ekonomi, dan pendidikan, dengan seragam asli sebagai organisasi masyarakat keagamaan. Bahkan NU semakin tumbuh meraksasa, karena gerak langkahnya terbebas dari pengawasan pemerintah.

Kepemimpinan Kiai Ali, yang sangat moderat dan sejuk, saat itu dianggap sangat tepat untuk mengimbangi langkah Gus Dur yang atraktif dan penuh gebrakan. Tak seperti periode sebelumnya ketika Syuriyyah sangat dominan, sosok Kiai Ali yang pendiam juga membuat NU ketika itu cocok dan serasi dengan Gus Dur.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Aksi-aksi Gus Dur yang lintas sosial dan budaya, membuat sebagian ulama sepuh kelimpungan. Puncaknya ketika Kiai As’ad, salah seorang sesepuh NU, dalam Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta (1989), menyatakan mufaraqah alias memisahkan diri.

Dalam muktamar tersebut K.H. Ahmad Shiddiq, pengasuh Pesantren Ash-Shiddiq, Jember, dan pencetus ide penerimaan asas tunggal Pancasila, sebagai rais ‘am menggantikan Kiai Ali, yang sudah sangat sepuh. Duet baru Ahmad Shiddiq-Gus Dur yang juga sangat moderat itu pun kembali melaju kencang.

Mewarisi tradisi intelektual khas pesantren, Kiai Ahmad Shiddiq banyak mewarnai NU dengan karya-karya besarnya. Terutama ketika mengukuhkan kembali konsep Ahlussunnah wal Jama’ah di kalangan NU yang mengusung prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (adil). Di lain pihak, aksi-aksi kontroversial Gus Dur berhasil membuat nama NU mendunia, walaupun ditentang para ulama sepuh. Banyak pangamat sosial dan politik mancanegara berdatangan untuk mengkaji NU dan kaum nahdliyyin.

Diobok-obok
Namun, “bulan madu” antara NU dan pemerintah tak berlangsung lama. Perlahan, pemerintah mulai gerah menghadapi politik zig-zag ala Gus Dur. Ujung-ujungnya, dalam Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, NU sempat diobok-obok. Dalam bursa pancalonan ketua Tanfidziyyah, pemerintah memunculkan Abu Hasan, seorang pengusaha asal Palembang. Isu yang diusung ialah minimnya kader-kader luar Jawa dalam tubuh PBNU.

Meski Gus Dur berhasil memenangkan pemilihan ketua, muktamar berakhir dengan pecahnya kader NU dalam dua kubu: kubu Gus Dur dan kubu Abu Hasan. Belakangan, kubu Abu Hasan menggelar muktamar tandingan yang berujung terbentuknya Komisi Penyelamat Pengurus NU (KPPNU) yang dipimpin sendiri oleh Abu Hasan.

Namun, lagi-lagi NU diuntungkan oleh kehadiran rais ‘am yang kali itu dijabat oleh K.H. M. Ilyas Ruhiat, ulama ahli tasawuf yang santun dan lemah lembut. Ulama yang baru saja wafat di penghujung 2007 lalu itu terpilih untuk menggantikan K.H. Ahmad Shiddiq, yang wafat pada 1991.
Langkah-langkah ajengan pengasuh Pondok Pesantren Cipasung itu perlahan berhasil merengkuh kembali kader-kader nahdliyyin yang terpecah belah. Bertepatan dengan dimulainya krisis moneter yang melanda negeri ini, para tokoh NU kembali utuh dan solid, sehingga mampu membawa jamaahnya melewati gonjang-ganjing reformasi 1998. Bahkan Gus Dur yang moderat, saat itu dianggap sebagai angin segar bagi perubahan negeri ini.

Usai reformasi, keran politik dibuka selebar-lebarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak mau ketinggalan kereta, sebagian warga nahdliyyin kembali tergoda terjun ke gelanggang politik praktis, meski tanpa mengenakan seragam NU. Menjelang pemilu 1999, partai-partai yang berbasis massa NU pun bermunculan: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Bahkan PBNU ikut memfasilitasi salah satu partai politik yang saat pemilu 2004 berhasil menjadi salah satu pemenang.

Ketulusan Perjuangan
Sejak masa kampanye, warga NU kembali terkotak-kotak oleh kepentingan politik praktis. Satu-satunya yang cukup menghibur adalah Gus Dur, sang ketua Tanfidziyyah PBNU, yang terpilih sebagai presiden keempat RI. Hati segenap warga NU pun mongkog alias bangga. Setelah puluhan tahun para ulama dan santri berjuang untuk kemerdekaan, akhirnya muncul kader NU yang menduduki posisi tertinggi dan bergengsi di negeri ini.

Ketika Gus Dur menjadi presiden itulah Muktamar NU di Lirboyo digelar pada 1999. Muktamar ke-30 itu tentu saja sangat meriah. Setelah membuka muktamar, sebagai presiden, Gus Dur, yang habis masa jabatannya sebagai ketua Tanfidziyyah, menyerahkan pemilihan kepemimpinan NU kepada muktamar. Maka muktamirin pun memilih duet K.H. M.A. Sahal Mahfudz, ahli fiqih dan pengasuh Pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati, dan K.H. A. Hasyim Muzadi, mantan ketua PWNU Jawa Timur, sebagai rais ‘am dan ketua umum.

Pekerjaan rumah yang berat segera menanti kedua ulama intelektual itu. Yakni, menyolidkan kembali warga nahdliyyin yang sempat dicerai-beraikan oleh euforia reformasi dan pemilu multipartai. Namun, di tengah proses itu, kembali kaum nahdliyyin meradang. Presidennya digulingkan oleh lawan-lawan politik. Beruntung, kerja keras para ulama sepuh berhasil meredam kemarahan kaum nahdliyyin yang nyaris membuat huru-hara.

Roda organisasi bermassa 40-an juta orang itu pun kembali berputar. Kekecewaan tersebut dipendam dalam-dalam di hati kaum nahdliyyin. Bahkan muncul efek positif dari rangkaian peristiwa jatuh-bangun yang susul-menyusul dengan cepat itu: warga NU semakin dewasa dalam berpolitik.

Hal itu terbukti dalam pemilu 2004. Meski beberapa kader NU, seperti K.H. Hasyim Muzadi dan K.H. Shalahuddin Wahid, ikut berlaga dalam pemilihan presiden secara langsung, warga nahdliyyin mengikutinya dengan kepala dingin. Tak ada lagi perpecahan dan kubu-kubuan dalam tubuh NU. Seperti diketahui, Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri, sedangkan Shalahuddin Wahid (juga sebagai cawapres) berpasangan dengan Wiranto.

Begitu pula dalam Muktamar ke-31 di Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, yang berlangsung di tahun yang sama. Meski sempat memanas, warga NU tetap bergandengan tangan. Muktamar yang tetap mengukuhkan duet K.H. Dr. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz dan K.H. Hasyim Muzadi itu berakhir dengan damai. Dan kini kepengurusan NU di semua tingkatan sibuk membangun basis ekonomi, sosial, dan pendidikan warganya.

Demikianlah sekilas kisah panjang perjalanan kepemimpinan dalam tubuh Nahdlatul Ulama, yang sempat jatuh-bangun dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan negeri ini, dengan gaya khas pesantrenannya. Ribuan nama tokoh nahdliyyin telah tampil dalam percaturan negara Republik Indonesia, dengan berbagai aksi dan gayanya. Satu hal yang tampak seragam ialah, kecintaan mereka yang sepenuh hati kepada tanah air, yang tertanam sejak mereka mengenal alif ba ta dan mendaras kitab kuning.

Mengenang sejarah NU, sesungguhnya mengenang sejarah ketulusan perjuangan para ulama untuk bangsa dan tanah airnya. Dan mengenang perjalanan NU tahun ini tak lain untuk mengenang sebuah pengabdian tanpa pamrih yang digaungkan dari bilik-bilik pesantren yang bersahaja tapi kukuh. (Kang Iftah, Februari 2008)

Geliat Islam Di Amerika


Ketika Seorang Imam Masjid Membangun “Jembatan” Islam - Barat

Meski sudah enam tahun berlalu, trauma Tragedi 11 September masih menghantui sebagian besar masyarakat Amerika. Umat Islam di negeri itu pun menjadi korban pelampiasannya. Tak mau berlarut-larut, seorang Imam masjid berusaha memulihkan hubungan Islam-Amerika dengan caranya sendiri.

Jika beberapa waktu belakangan ini Anda berjalan-jalan ke toko buku, Anda akan melihat sebuah buku baru yang selalu menarik perhatian pengunjung. Buku itu berjudul Seruan Azan Dari Puing WTC terjemahan dari What’s Right With Islam : A New Vision For Muslims and the West, sebuah buku best seller yang ditulis oleh seorang Imam Masjid di New York, yang tempat tinggalnya hanya beberapa blok dari lokasi pemboman gedung WTC. Sejak tragedi 9/11, wajah Feisal Abdul Rauf, demikian nama sang imam, sering muncul di berbagai media lokal, menjelaskan tentang ajaran Islam yang sebenarnya, yang jauh dari budaya kekerasan, kebencian dan dendam.

Sangat menarik, demikian komentar para agamawan di negeri Paman Sam, yang dikutip di bagian dalam cover. Karena berbeda dengan kebanyakan tokoh muslim yang hanya membela diri dan agamanya, Imam Feisal justru mengulurkan tangan, mengajak seluruh komponen masyarakat Amerika mencari akar masalah yang membuat hubungan antara Islam dan “Amerika” menjadi tegang. Ia juga mengajak semua penganut agama untuk mencari titik temu dari berbagai silang sengkarut pemahaman masing agama yang sangat eksklusif.

Upaya Imam Feisal itu sangat beralasan. Sebab selain berita gembira bahwa Islam mendadak menjadi item paling populer di penghujung tahun 2001 hingga beberapa tahun berikutnya, terbukti enam tahun belakangan majelis-majelis kajian keislaman marak dibanjiri masyarakat non muslim, buku-buku, artikel di internet, majalah, dan koran, serta acara TV yang mengulas tentang Islam selalu mendapat perhatian masyarakat Amerika, bahkan Al Quran, seperti diungkap Bill Schnoeblen, seorang penulis buku spiritual yang cukup dikenal di AS, sejak peristiwa 11 September lalu menjadi buku paling laris dan banyak diburu rakyat Amerika; fakta bahwa ada peningkatan kuantitas (dari 30% menjadi 58 %) rakyat Amerika yang memberikan gambaran bagus tentang Islam; dan gelombang besar warga AS yang memeluk Islam, sebagaimana dilansir harian The New York Times (22/10/2001) bahwa ada sekitar 25 ribu orang Amerika yang telah beralih memeluk Islam sejak kasus 11 September dan Columbia News Service (22/3/2001) yang menulis, sekitar 15 ribu orang keturunan Amerika Latin yang tersebar di berbagai kota seperti Newark, Miami, Los Angeles dan New York beralih dari Katolik dan memeluk Islam di AS; atau cerita lain yang datang dari Presiden Assosiasi Muslim Hawaii, Hakim Ouansafi, bahwa sejak 11 September 2001, rata-rata ada sekitar 3 orang AS di Hawaii masuk Islam dalam sebulan, bahkan, sempat mencapai angka 23 kasus; atau berita Hidayatullah.com tentang seorang komandan pasukan International Security Assistance Force (ISAF) asal Amerika, Capt. Michael P. Cormier, 45, yang masuk Islam di Propinsi Ghazni, Afghanistan, yang dikenal dengan basis pejuang Taliban; tertoreh juga cerita pilu, yang hingga kini masih terus berlangsung: umat Islam di negeri yang mengklaim dirinya sebagai kampiun demokrasi itu itu mengalami banyak teror, sebagai dampak pemberitaan miring di media.

Melucuti Pakaian
Tengok saja laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR) yang mengungkapkan, sampai bulan Februari 2002 umat Islam Amerika mengalami 1717 kasus kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk, seperti penyerangan fisik (289 kasus), pembunuhan (11 kasus), diskriminasi di tempat kerja (166 kasus), diskriminasi di bandara (191 kasus), dan pelecehan seksual terhadap para Muslimah (372 kasus). Petugas keamanan bandara di AS, misalnya. Dengan alasan khawatir membawa barang-barang yang berkaitan dengan terorisme mereka tak segan melucuti pakaian seorang muslimah yang mengenakan abaya dan jilbab.

Datar kasus-kasus diskriminatif dan sikap Islamophobia terhadap kaum Muslim di Amerika tersebut masih akan terus bertambah panjang hingga saat ini. Abdus Sattar Ghazali, misalnya, dalam laporannya yang ditulis di The Milli Gazette Online, 9 September 2006 berjudul, “Muslim Islamic News Five years after 9/11: American Muslims remain under siege”, melukiskan perkembangan terakhir kaum Muslim di Negeri Paman Sam pasca runtuhnya Menara Kembar WTC.

“Tak ada masa begitu menyulitkan, selain beberapa tahun pasca 11 September. Orang Amerika, lebih akrab menyebut 9/11. Lima tahun pasca runtuhnya menara kembar, teror terhadap warga Muslim menjadi hal biasa. Bagi kaum Muslim, kampanye Presiden AS, George W Bush, yang dikenal dengan aksi global war on terror-nya menjadi bagian hidup baru yang menakutkan. Penggeledahan, penculikan, pelecehan, intrograsi dan penangkapan, serta pengadilan tanpa bukti –seolah—begitu halal bagi kaum Muslim di sebuah Negeri yang mengaku kampiun demokrasi ini,” tulisnya.

Setahun pasca peledakan WTC, kondisi kaum Muslim begitu buruk. Serangan dan pelecehan terjadi di mana-mana. “Jika kamu sedang berada di jalanan, secara fisik kamu akan diserang,” kata Nidal Ibrahim, Direktur eksekutif CAIR Washington, sebagaimana dikutip Voice of America.
Sebagian kalangan menilai, streoptip buruk terhadap Muslim Amerika seratus persen dipicu oleh peristiwa 9/11. Namun, tak sedikit juga yang memahami sebaliknya. Profesor Howard Winant salah satunya. Pengarang buku Racial Formation in the United States, Formasi Rasial di Amerika Serikat, itu beranggapan, sikap buruk terhadap Islam –khususnya oleh pemerintahan Amerika—justru merupakan kebijakan (policy) resmi negara.

“Amerika Serikat memang selalu mempunyai kecenderungan untuk membedakan ras dan memandang konflik internasional sebagai ancaman domestik,” ujarnya sebagaimana dikutip The Milli Gazette Online.

Sepanjang Perang Dunia II, lanjutnya, Jerman, Italia dan --khususnya--Jepang, juga pernah mengalami hal sama seperti umat Islam saat ini: dipandang dengan penuh curiga atas alasan-alasan “keamanan nasional”. Dengan cara yang sama, peristiwa serupa pernah terjadi di saat naiknya komunisme Uni Soviet di tahun 1920 dan 1950. Maka tidak mengherankan jika Islam kemudian dijadikan ancaman “keamanan nasional” berikutnya.

Perang Koboi
Parahnya, sikap “jahat” pemerintah negara adi kuasa itu tak membuat umat Islam di belahan dunia lain ketakutan. Bahkan simpati kaum msulimin atas peristiwa Tragedi WTC ikut terkikis oleh kebijakan “perang koboi” yang digaungkan pemerintah Amerika.

Tengok saja penelitian yang dilakukan Freedom Institute dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta yang bertujuan mengungkap sentimen anti-Amerika di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut hasil survei, sekitar 2 persen dari total penduduk dewasa Indonesia pernah melakukan aksi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan anti-Amerika.

Mereka terlibat, misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi menentang berbagai kebijakan luar negeri Amerika, melakukan penyisiran (sweeping) terhadap warga negara Amerika, menyerukan boikot atas produk-produk Amerika, atau sekadar berupaya mengompori orang lain untuk membenci Amerika. Meski mengakui angka ini relatif kecil, para penulis menggarisbawahi signifikansinya. Karena, aksi-aksi tersebut begitu menonjol di ruang publik dan menarik perhatian yang cukup luas.

Selain itu, survei ini juga menemukan, ada sekitar 20 persen Muslim Indonesia yang menyimpan kebencian terhadap Amerika karena berbagai alasan, meskipun mereka tidak pernah terlibat secara langsung dalam aksi-aksi anti-Amerika tersebut. Mereka umumnya bersikap mendukung aksi-aksi tersebut karena percaya, Amerika memusuhi negara-negara Islam dan kerap memaksakan kehendak-kehendak politiknya terhadap negara lain.

Yang lebih membuat ngeri para tokoh Islam di negeri Paman Sam, ada upaya sistematis untuk menghadap-hadapkan kebenaran Islam dengan kebenaran Amerika. Beberapa hari setelah tragedi WTC, misalnya, muncul tulisan seorang pengamat politik di harian Wall Street Journal yang memotivasi pemerintah federal untuk menggunakan semua kemampuannya guna memerangi Islam, termasuk organisasi-organisasi dan lembaga Islam di Amerika. Alasannya, lembaga dan organisasi tersebut bisa jadi simpatisan dari gerakan fundamentalis seperti Osama Bin Laden yang bisa mengancam American way of life.

Menanggapi isu berbahaya tersebut berbagai reaksi dilakukan para tokoh Islam. Namun rata-rata hanya sebatas menjelaskan bahwa Islam tidak seperti yang dituduhkan sebagian non-muslim.
Berbeda dengan kebanyakan tokoh muslim, Feisal Abdul Rauf, imam Masjid Al-Farah New York, USA, mencoba mencari terobosan baru dengan mencari akar-akar persoalan --dari inti ajaran Islam, nilai-nilai dasar konstitusi Amerika, aspek-aspek sosial-politik-ekonomi dari terorisme, hingga kepentingan Amerika mempertahankan hegemoninya di dunia internasional.

Sebagai pendiri dan pemimpin American Society for Muslim Advancement (ASMA) yang berdiri sejak 1997, Imam Feisal memang telah membaktikan hidupnya untuk membangun jembatan sosial yang menghubungkan masyarakat muslim dengan dunia Barat, khususnya publik non-muslim Amerika. Belakangan, setelah peristiwa 11 September, ia juga mendirikan Cordoba Initiative, sebuah usaha multi-agama untuk memulihkan hubungan muslim dan Amerika yang selama lima puluh tahun terakhir telah terlanjur rusak, atau dalam konteks yang lebih luas antara dunia Islam dengan dunia Barat. Melalui gerakan Cordoba Initiative, Imam Feisal mengajak umat Islam Amerika untuk memainkan peran utama dalam menjembatani hubungan dunia muslim dan Amerika, tak lagi bergantung kepada pihak-pihak lain di luar Amerika.

Satu Akar
Melalui buku Seruan Azan Dari Puing WTC, dengan bijak dan runtut, ia memaparkan bahwa Islam sangat menghargai penganut agama lain, meski tidak membenarkan keyakinannya. Sebab semua agama pada dasarnya bermuara pada satu ajaran, kepasrahan dan penghambaan diri secara murni, mutlak dan total kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Feisal memaparkan kembali fakta historis bahwa Islam, Kristen dan Yahudi –yang merupakan agama terbesar di Amerika-- sesungguhnya mempunyai akar yang sama yakni agama Ibrahim yang disebutnya sebagai agama berserah diri sepenuhnya kepada Allah atau dalam bahasa Arabnya diistilahkan Islam yang hanif (lurus). Karena itu kebenaran Islam pasti sesuai dengan kebenaran Amerika.

Adapun keterbelahannya menjadi tiga agama berbeda semata-mata berasal dari perasaan tidak ingin diusik dalam diri pengikut para nabi pembawa risalah, ketika datang seorang nabi baru untuk melempangkan kembali ajaran agama Ibrahim yang telah tercemari anasir-anasir kemusyrikan.
Ketika Isa datang untuk meluruskan ajaran Ibrahim yang sebelumnya telah diluruskan oleh Musa, misalnya, kaum Yahudi marah dan menentang sang nabi beserta pengikutnya. Tak hanya menentang, mereka juga berusaha membunuh sang nabi dan membasmi pengikutnya. Kelompok pengikut nabi baru itu belakangan dipisahkan secara permanen dari komunitas Yahudi dan disebut sebagai pengikut Kristus atau umat Kristen.

Hal yang sama terulang ketika Nabi Muhammad datang untuk membersihkan ajaran nabi Ibrahim yang ratusan tahun sepeninggal Nabi Isa telah kembali tercemari oleh tangan-tangan Romawi. Dengan serta merta kaum Yahudi dan Kristen menolak ajaran Rasulullah. Mereka juga membuat demarkasi baru terhadap pengikut Nabi terakhir tersebut, muslim. Sejak itu, terbelahlah penganut agama Ibrahim itu menjadi tiga kelompok: Yahudi, Kristiani dan Muslim.

Seandainya semua pihak berbesar hati –seperti sebagian kecil orang Yahudi dan Kristen yang kemudian mengakui kebenaran risalah Nabi Muhammad dan masuk Islam-- untuk menerima gerakan pemurnian ajaran Ibrahim yang dilakukan para nabi dan rasul, pasti agama tidak akan terpecah menjadi tiga besar dunia. Dan bisa dipastikan juga tidak akan pernah ada sentimen antar umat beragama atau pertumpahan darah atas nama Tuhan, seperti yang terjadi sepanjang dua milenium belakangan.

Tak hanya tiga agama besar tersebut, Imam Feisal juga menyinggung penghargaan Islam terhadap umat agama lain, seperti Hindu, Budha, dan Konfusianisme, melalui kutipan ayat 58 dari surah Maryam yang artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”

Merujuk kepada ayat tersebut, menurut Imam Feisal, jelas ada nabi dan rasul diluar keturunan Ibrahim atau di luar Bani Israil dan Bani Ismail, yakni dari keturunan orang-orang yang diselamatkan Allah bersama Nabi Nuh AS yang kemudian menyebar ke bagian lain dari bumi ini. Lebih luas lagi, juga ada nabi dan rasul di luar kelompok yang berlindung di bahtera Nabi Nuh, yakni dari keturunan Nabi Adam AS. Sebab kajian ilmiah modern membuktikan, banjir bandang pada zaman Nabi Nuh sifatnya sangat lokal, di kawasan Timur Tengah.

Rasul Lain
Di luar itu, Allah pasti juga telah mengutus nabi dan rasul untuk menyampaikan kebenaran kepada anak cucu Adam di India, Cina, Indonesia, benua Amerika dan negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia. Maka bukan tidak mungkin pembawa ajaran awal Hindu, Budha dan Konfusianisme adalah para nabi dan rasul Allah juga. Dengan demikian, lebih luas dari ajaran Ibrahim, pasti ada muara akhir di antara semua kepercayaan tersebut, yakni agama Nuh atau yang lebih tinggi lagi agama Adam AS.

Bukti dari semua itu, menurut Feisal, adalah ditemukannya unsur tauhid dalam setiap agama tersebut, meski sebagian besar sudah bercampur dengan hal-hal yang dalam Islam dianggap syirik. Prinsip dasar tauhid, tambahnya, adalah hanya menuhankan Pencipta Alam Semesta. Karena hanya Sang Pencipta saja yang patut disembah, diagungkan dan dimuliakan, maka secara otomatis selain Tuhan semuanya berdudukan setara.

Prinsip kesetaraan inilah yang menurut Imam Feisal saat ini perlu diperjuangkan untuk tegak kembali, setelah sebelumnya dihancurluluhkan oleh kolonialisme Eropa atas negeri-negeri muslim, Hindu, Budha dan lain-lain. Sebab perasaan superioritas yang masih bercokol di hati masing-masing umat beragama –terutama Yahudi dan Kristen yang dianut oleh mayoritas masyarakat Amerika dan Eropa-- lah yang saat ini sering menyebabkan benturan-benturan horisontal.
Masih banyak lagi argumentasi yang disampaikan Imam Feisal dalam Rauf dalam bukunya tersebut. Seperti adanya common platform antara nilai-nilai dasar Islam dan Konstitusi Amerika dalam mempromosikan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Juga fakta-fakta bahwa keislaman dan keamerikaan bukan bersifat substitutif (saling menggantikan), tetapi komplementer (saling melengkapi).

Feisal Abdul Rauf juga mengemukakan argumentasi yang meyakinkan tentang eksistensi identitas Muslim-Amerika, di mana seorang Muslim yang taat bisa menjadi warga negara Amerika yang loyal dan warga Amerika siapa pun bisa menjadi muslim yang taat, tanpa harus kehilangan identitasnya. Namun fakta terpenting yang ia ungkapkan adalah terorisme Islam lebih berakar pada persoalan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi, daripada persoalan agama.

Di bagian akhir buku itu ia menawarkan visi baru hubungan Islam-Amerika yang damai dan harmonis, di mana setiap anggota masyarakat dari semua ras, agama, sekte dan golongan di Amerika bisa berperan aktif di dalamnya. Visi baru yang tersorot di benaknya adalah semacam Cordoba di masa kejayaan Islam, ketika semua pemeluk agama berada dalam kedamaian, kebersamaan dan keadilan yang setara, menyongsong kejayaan negara yang adil makmur dan bersahabat kepada siapa pun. Semoga! (Kang Iftah, Januari 2008)