Ketika Seorang Imam Masjid Membangun “Jembatan” Islam - Barat
Meski sudah enam tahun berlalu, trauma Tragedi 11 September masih menghantui sebagian besar masyarakat Amerika. Umat Islam di negeri itu pun menjadi korban pelampiasannya. Tak mau berlarut-larut, seorang Imam masjid berusaha memulihkan hubungan Islam-Amerika dengan caranya sendiri.
Jika beberapa waktu belakangan ini Anda berjalan-jalan ke toko buku, Anda akan melihat sebuah buku baru yang selalu menarik perhatian pengunjung. Buku itu berjudul Seruan Azan Dari Puing WTC terjemahan dari What’s Right With Islam : A New Vision For Muslims and the West, sebuah buku best seller yang ditulis oleh seorang Imam Masjid di New York, yang tempat tinggalnya hanya beberapa blok dari lokasi pemboman gedung WTC. Sejak tragedi 9/11, wajah Feisal Abdul Rauf, demikian nama sang imam, sering muncul di berbagai media lokal, menjelaskan tentang ajaran Islam yang sebenarnya, yang jauh dari budaya kekerasan, kebencian dan dendam.
Sangat menarik, demikian komentar para agamawan di negeri Paman Sam, yang dikutip di bagian dalam cover. Karena berbeda dengan kebanyakan tokoh muslim yang hanya membela diri dan agamanya, Imam Feisal justru mengulurkan tangan, mengajak seluruh komponen masyarakat Amerika mencari akar masalah yang membuat hubungan antara Islam dan “Amerika” menjadi tegang. Ia juga mengajak semua penganut agama untuk mencari titik temu dari berbagai silang sengkarut pemahaman masing agama yang sangat eksklusif.
Upaya Imam Feisal itu sangat beralasan. Sebab selain berita gembira bahwa Islam mendadak menjadi item paling populer di penghujung tahun 2001 hingga beberapa tahun berikutnya, terbukti enam tahun belakangan majelis-majelis kajian keislaman marak dibanjiri masyarakat non muslim, buku-buku, artikel di internet, majalah, dan koran, serta acara TV yang mengulas tentang Islam selalu mendapat perhatian masyarakat Amerika, bahkan Al Quran, seperti diungkap Bill Schnoeblen, seorang penulis buku spiritual yang cukup dikenal di AS, sejak peristiwa 11 September lalu menjadi buku paling laris dan banyak diburu rakyat Amerika; fakta bahwa ada peningkatan kuantitas (dari 30% menjadi 58 %) rakyat Amerika yang memberikan gambaran bagus tentang Islam; dan gelombang besar warga AS yang memeluk Islam, sebagaimana dilansir harian The New York Times (22/10/2001) bahwa ada sekitar 25 ribu orang Amerika yang telah beralih memeluk Islam sejak kasus 11 September dan Columbia News Service (22/3/2001) yang menulis, sekitar 15 ribu orang keturunan Amerika Latin yang tersebar di berbagai kota seperti Newark, Miami, Los Angeles dan New York beralih dari Katolik dan memeluk Islam di AS; atau cerita lain yang datang dari Presiden Assosiasi Muslim Hawaii, Hakim Ouansafi, bahwa sejak 11 September 2001, rata-rata ada sekitar 3 orang AS di Hawaii masuk Islam dalam sebulan, bahkan, sempat mencapai angka 23 kasus; atau berita Hidayatullah.com tentang seorang komandan pasukan International Security Assistance Force (ISAF) asal Amerika, Capt. Michael P. Cormier, 45, yang masuk Islam di Propinsi Ghazni, Afghanistan, yang dikenal dengan basis pejuang Taliban; tertoreh juga cerita pilu, yang hingga kini masih terus berlangsung: umat Islam di negeri yang mengklaim dirinya sebagai kampiun demokrasi itu itu mengalami banyak teror, sebagai dampak pemberitaan miring di media.
Melucuti Pakaian
Tengok saja laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR) yang mengungkapkan, sampai bulan Februari 2002 umat Islam Amerika mengalami 1717 kasus kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk, seperti penyerangan fisik (289 kasus), pembunuhan (11 kasus), diskriminasi di tempat kerja (166 kasus), diskriminasi di bandara (191 kasus), dan pelecehan seksual terhadap para Muslimah (372 kasus). Petugas keamanan bandara di AS, misalnya. Dengan alasan khawatir membawa barang-barang yang berkaitan dengan terorisme mereka tak segan melucuti pakaian seorang muslimah yang mengenakan abaya dan jilbab.
Datar kasus-kasus diskriminatif dan sikap Islamophobia terhadap kaum Muslim di Amerika tersebut masih akan terus bertambah panjang hingga saat ini. Abdus Sattar Ghazali, misalnya, dalam laporannya yang ditulis di The Milli Gazette Online, 9 September 2006 berjudul, “Muslim Islamic News Five years after 9/11: American Muslims remain under siege”, melukiskan perkembangan terakhir kaum Muslim di Negeri Paman Sam pasca runtuhnya Menara Kembar WTC.
“Tak ada masa begitu menyulitkan, selain beberapa tahun pasca 11 September. Orang Amerika, lebih akrab menyebut 9/11. Lima tahun pasca runtuhnya menara kembar, teror terhadap warga Muslim menjadi hal biasa. Bagi kaum Muslim, kampanye Presiden AS, George W Bush, yang dikenal dengan aksi global war on terror-nya menjadi bagian hidup baru yang menakutkan. Penggeledahan, penculikan, pelecehan, intrograsi dan penangkapan, serta pengadilan tanpa bukti –seolah—begitu halal bagi kaum Muslim di sebuah Negeri yang mengaku kampiun demokrasi ini,” tulisnya.
Setahun pasca peledakan WTC, kondisi kaum Muslim begitu buruk. Serangan dan pelecehan terjadi di mana-mana. “Jika kamu sedang berada di jalanan, secara fisik kamu akan diserang,” kata Nidal Ibrahim, Direktur eksekutif CAIR Washington, sebagaimana dikutip Voice of America.
Sebagian kalangan menilai, streoptip buruk terhadap Muslim Amerika seratus persen dipicu oleh peristiwa 9/11. Namun, tak sedikit juga yang memahami sebaliknya. Profesor Howard Winant salah satunya. Pengarang buku Racial Formation in the United States, Formasi Rasial di Amerika Serikat, itu beranggapan, sikap buruk terhadap Islam –khususnya oleh pemerintahan Amerika—justru merupakan kebijakan (policy) resmi negara.
“Amerika Serikat memang selalu mempunyai kecenderungan untuk membedakan ras dan memandang konflik internasional sebagai ancaman domestik,” ujarnya sebagaimana dikutip The Milli Gazette Online.
Sepanjang Perang Dunia II, lanjutnya, Jerman, Italia dan --khususnya--Jepang, juga pernah mengalami hal sama seperti umat Islam saat ini: dipandang dengan penuh curiga atas alasan-alasan “keamanan nasional”. Dengan cara yang sama, peristiwa serupa pernah terjadi di saat naiknya komunisme Uni Soviet di tahun 1920 dan 1950. Maka tidak mengherankan jika Islam kemudian dijadikan ancaman “keamanan nasional” berikutnya.
Perang Koboi
Parahnya, sikap “jahat” pemerintah negara adi kuasa itu tak membuat umat Islam di belahan dunia lain ketakutan. Bahkan simpati kaum msulimin atas peristiwa Tragedi WTC ikut terkikis oleh kebijakan “perang koboi” yang digaungkan pemerintah Amerika.
Tengok saja penelitian yang dilakukan Freedom Institute dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta yang bertujuan mengungkap sentimen anti-Amerika di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut hasil survei, sekitar 2 persen dari total penduduk dewasa Indonesia pernah melakukan aksi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan anti-Amerika.
Mereka terlibat, misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi menentang berbagai kebijakan luar negeri Amerika, melakukan penyisiran (sweeping) terhadap warga negara Amerika, menyerukan boikot atas produk-produk Amerika, atau sekadar berupaya mengompori orang lain untuk membenci Amerika. Meski mengakui angka ini relatif kecil, para penulis menggarisbawahi signifikansinya. Karena, aksi-aksi tersebut begitu menonjol di ruang publik dan menarik perhatian yang cukup luas.
Selain itu, survei ini juga menemukan, ada sekitar 20 persen Muslim Indonesia yang menyimpan kebencian terhadap Amerika karena berbagai alasan, meskipun mereka tidak pernah terlibat secara langsung dalam aksi-aksi anti-Amerika tersebut. Mereka umumnya bersikap mendukung aksi-aksi tersebut karena percaya, Amerika memusuhi negara-negara Islam dan kerap memaksakan kehendak-kehendak politiknya terhadap negara lain.
Yang lebih membuat ngeri para tokoh Islam di negeri Paman Sam, ada upaya sistematis untuk menghadap-hadapkan kebenaran Islam dengan kebenaran Amerika. Beberapa hari setelah tragedi WTC, misalnya, muncul tulisan seorang pengamat politik di harian Wall Street Journal yang memotivasi pemerintah federal untuk menggunakan semua kemampuannya guna memerangi Islam, termasuk organisasi-organisasi dan lembaga Islam di Amerika. Alasannya, lembaga dan organisasi tersebut bisa jadi simpatisan dari gerakan fundamentalis seperti Osama Bin Laden yang bisa mengancam American way of life.
Menanggapi isu berbahaya tersebut berbagai reaksi dilakukan para tokoh Islam. Namun rata-rata hanya sebatas menjelaskan bahwa Islam tidak seperti yang dituduhkan sebagian non-muslim.
Berbeda dengan kebanyakan tokoh muslim, Feisal Abdul Rauf, imam Masjid Al-Farah New York, USA, mencoba mencari terobosan baru dengan mencari akar-akar persoalan --dari inti ajaran Islam, nilai-nilai dasar konstitusi Amerika, aspek-aspek sosial-politik-ekonomi dari terorisme, hingga kepentingan Amerika mempertahankan hegemoninya di dunia internasional.
Sebagai pendiri dan pemimpin American Society for Muslim Advancement (ASMA) yang berdiri sejak 1997, Imam Feisal memang telah membaktikan hidupnya untuk membangun jembatan sosial yang menghubungkan masyarakat muslim dengan dunia Barat, khususnya publik non-muslim Amerika. Belakangan, setelah peristiwa 11 September, ia juga mendirikan Cordoba Initiative, sebuah usaha multi-agama untuk memulihkan hubungan muslim dan Amerika yang selama lima puluh tahun terakhir telah terlanjur rusak, atau dalam konteks yang lebih luas antara dunia Islam dengan dunia Barat. Melalui gerakan Cordoba Initiative, Imam Feisal mengajak umat Islam Amerika untuk memainkan peran utama dalam menjembatani hubungan dunia muslim dan Amerika, tak lagi bergantung kepada pihak-pihak lain di luar Amerika.
Satu Akar
Melalui buku Seruan Azan Dari Puing WTC, dengan bijak dan runtut, ia memaparkan bahwa Islam sangat menghargai penganut agama lain, meski tidak membenarkan keyakinannya. Sebab semua agama pada dasarnya bermuara pada satu ajaran, kepasrahan dan penghambaan diri secara murni, mutlak dan total kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Feisal memaparkan kembali fakta historis bahwa Islam, Kristen dan Yahudi –yang merupakan agama terbesar di Amerika-- sesungguhnya mempunyai akar yang sama yakni agama Ibrahim yang disebutnya sebagai agama berserah diri sepenuhnya kepada Allah atau dalam bahasa Arabnya diistilahkan Islam yang hanif (lurus). Karena itu kebenaran Islam pasti sesuai dengan kebenaran Amerika.
Adapun keterbelahannya menjadi tiga agama berbeda semata-mata berasal dari perasaan tidak ingin diusik dalam diri pengikut para nabi pembawa risalah, ketika datang seorang nabi baru untuk melempangkan kembali ajaran agama Ibrahim yang telah tercemari anasir-anasir kemusyrikan.
Ketika Isa datang untuk meluruskan ajaran Ibrahim yang sebelumnya telah diluruskan oleh Musa, misalnya, kaum Yahudi marah dan menentang sang nabi beserta pengikutnya. Tak hanya menentang, mereka juga berusaha membunuh sang nabi dan membasmi pengikutnya. Kelompok pengikut nabi baru itu belakangan dipisahkan secara permanen dari komunitas Yahudi dan disebut sebagai pengikut Kristus atau umat Kristen.
Hal yang sama terulang ketika Nabi Muhammad datang untuk membersihkan ajaran nabi Ibrahim yang ratusan tahun sepeninggal Nabi Isa telah kembali tercemari oleh tangan-tangan Romawi. Dengan serta merta kaum Yahudi dan Kristen menolak ajaran Rasulullah. Mereka juga membuat demarkasi baru terhadap pengikut Nabi terakhir tersebut, muslim. Sejak itu, terbelahlah penganut agama Ibrahim itu menjadi tiga kelompok: Yahudi, Kristiani dan Muslim.
Seandainya semua pihak berbesar hati –seperti sebagian kecil orang Yahudi dan Kristen yang kemudian mengakui kebenaran risalah Nabi Muhammad dan masuk Islam-- untuk menerima gerakan pemurnian ajaran Ibrahim yang dilakukan para nabi dan rasul, pasti agama tidak akan terpecah menjadi tiga besar dunia. Dan bisa dipastikan juga tidak akan pernah ada sentimen antar umat beragama atau pertumpahan darah atas nama Tuhan, seperti yang terjadi sepanjang dua milenium belakangan.
Tak hanya tiga agama besar tersebut, Imam Feisal juga menyinggung penghargaan Islam terhadap umat agama lain, seperti Hindu, Budha, dan Konfusianisme, melalui kutipan ayat 58 dari surah Maryam yang artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”
Merujuk kepada ayat tersebut, menurut Imam Feisal, jelas ada nabi dan rasul diluar keturunan Ibrahim atau di luar Bani Israil dan Bani Ismail, yakni dari keturunan orang-orang yang diselamatkan Allah bersama Nabi Nuh AS yang kemudian menyebar ke bagian lain dari bumi ini. Lebih luas lagi, juga ada nabi dan rasul di luar kelompok yang berlindung di bahtera Nabi Nuh, yakni dari keturunan Nabi Adam AS. Sebab kajian ilmiah modern membuktikan, banjir bandang pada zaman Nabi Nuh sifatnya sangat lokal, di kawasan Timur Tengah.
Rasul Lain
Di luar itu, Allah pasti juga telah mengutus nabi dan rasul untuk menyampaikan kebenaran kepada anak cucu Adam di India, Cina, Indonesia, benua Amerika dan negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia. Maka bukan tidak mungkin pembawa ajaran awal Hindu, Budha dan Konfusianisme adalah para nabi dan rasul Allah juga. Dengan demikian, lebih luas dari ajaran Ibrahim, pasti ada muara akhir di antara semua kepercayaan tersebut, yakni agama Nuh atau yang lebih tinggi lagi agama Adam AS.
Bukti dari semua itu, menurut Feisal, adalah ditemukannya unsur tauhid dalam setiap agama tersebut, meski sebagian besar sudah bercampur dengan hal-hal yang dalam Islam dianggap syirik. Prinsip dasar tauhid, tambahnya, adalah hanya menuhankan Pencipta Alam Semesta. Karena hanya Sang Pencipta saja yang patut disembah, diagungkan dan dimuliakan, maka secara otomatis selain Tuhan semuanya berdudukan setara.
Prinsip kesetaraan inilah yang menurut Imam Feisal saat ini perlu diperjuangkan untuk tegak kembali, setelah sebelumnya dihancurluluhkan oleh kolonialisme Eropa atas negeri-negeri muslim, Hindu, Budha dan lain-lain. Sebab perasaan superioritas yang masih bercokol di hati masing-masing umat beragama –terutama Yahudi dan Kristen yang dianut oleh mayoritas masyarakat Amerika dan Eropa-- lah yang saat ini sering menyebabkan benturan-benturan horisontal.
Masih banyak lagi argumentasi yang disampaikan Imam Feisal dalam Rauf dalam bukunya tersebut. Seperti adanya common platform antara nilai-nilai dasar Islam dan Konstitusi Amerika dalam mempromosikan kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Juga fakta-fakta bahwa keislaman dan keamerikaan bukan bersifat substitutif (saling menggantikan), tetapi komplementer (saling melengkapi).
Feisal Abdul Rauf juga mengemukakan argumentasi yang meyakinkan tentang eksistensi identitas Muslim-Amerika, di mana seorang Muslim yang taat bisa menjadi warga negara Amerika yang loyal dan warga Amerika siapa pun bisa menjadi muslim yang taat, tanpa harus kehilangan identitasnya. Namun fakta terpenting yang ia ungkapkan adalah terorisme Islam lebih berakar pada persoalan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi, daripada persoalan agama.
Di bagian akhir buku itu ia menawarkan visi baru hubungan Islam-Amerika yang damai dan harmonis, di mana setiap anggota masyarakat dari semua ras, agama, sekte dan golongan di Amerika bisa berperan aktif di dalamnya. Visi baru yang tersorot di benaknya adalah semacam Cordoba di masa kejayaan Islam, ketika semua pemeluk agama berada dalam kedamaian, kebersamaan dan keadilan yang setara, menyongsong kejayaan negara yang adil makmur dan bersahabat kepada siapa pun. Semoga! (Kang Iftah, Januari 2008)
No comments:
Post a Comment