Tuesday, April 24, 2007

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Bagian 1)

Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi


Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang seharusnya diteladani.

Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat.

Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi. Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.


Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.


Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang guru untuk menyampaikan nadzar.


Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh Abdul Qadir.


“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri thariqah itu terheran-heran.


Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab. Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian barang dagangan mereka.


Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.”


Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.”


Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah, sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah ketakutan.


Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika. “Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya.


Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian, sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”


Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan, dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya, tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa.


Kematian dalam Mimpi
Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi, seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan cemas dan hati berdebar-debar.

Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17 tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan akan selamat dan mendapat untung besar.”

Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.

Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum, dompetnya yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia tertidur pulas di penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok sekelompok orang Badui. Dalam mimpinya, salah seorang perampok menghunjamkan pisau ke dadanya. Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun. Anehnya, ia merasakan nyeri di dada meski tak ada luka sama sekali. Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di WC umum. Ia pun lari, kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada, lengkap dengan isinya.

Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh Hammad dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad yang lebih tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih belia ucapannya benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad, yang langsung menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah waliyullah yang benar-benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan keselamatanmu sebanyak 17 kali, sehingga takdir kematianmu hanya kamu rasakan dalam mimpi, sedangkan takdir kefakiranmu hanya berupa lupa meletakkan dompet,” tuturnya.

Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu berjumpa, belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah mendahului berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17 kali, kemudian berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu belaka apa yang diucapkan oleh Syaikh Hammad.

Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan, dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.

Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak jarang masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam yang “Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sebagai ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.

Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan sang waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat atau mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal ialah mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat dengan perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah, yang membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para wali. Dalam manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi dan semangat baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir melakukan riyadhah bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.

Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur, tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia pegang teguh.


Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok. Salah seorang perampok bertanya, apakah ia memiliki barang berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia memiliki 40 keping uang emas. Anehnya, perampok itu malah tidak percaya, dan berlalu pergi.

Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.

Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu. Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran, mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa pun,” kata Abdul Qadir.


Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”


“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul Qadir dengan tenang.

Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh di hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga janji kepada ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang Pencipta,” ujarnya, yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Suci Sepanjang Malam
Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu, sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.

Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan, rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang. Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat, sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu tetap dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai kepala, dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi

Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat penjagaan dari Allah SWT.

Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari, Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti sebagai pengganjal perut.

Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.


Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan halal tersebut.

Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun, bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.

Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya' Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji.

Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra, Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang sama. Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa menghiraukan dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam hari, ia mandi junub lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.

Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.

Dalam beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu ditonjolkan. Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap keistiqamahan sang wali yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan cuaca sangat dingin, sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana bagi Allah SWT untuk menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan simbol sangat seringnya suatu kejadian.

Keseriusannya menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya mempertemukannya dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat selama tiga tahun, mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan ini pun keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.

Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati, kecuali untuk bersuci.

Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.

Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan berat disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para awliya dan kaum sufi sepanjang masa.

Jika selama ini orang selalu mengidentikkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan kehebatan dan keajaiban karamahnya – sehingga sosoknya selalu dijadikan wasilah untuk meraih kesaktian secara instan – sekaranglah saatnya untuk berubah. Caranya, dengan meneladani kebersihan jiwa dan keteguhan hatinya dalam mengistiqamahkan ibadah dan menunaikan syari’at. (Kang Iftah, 2007)

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Bagian 2)

Janji, Wasiat dan Ajaran Sang Wali
Sebagai pewaris Nabi, para waliyullah mendapat hak istimewa memberikan syafa’at bagi murid dan pecintanya. Namun, persyaratannya tak mudah: meneladani sang wali dan mengikuti ajarannya yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah.
.
Dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’ Syaikh Abdil Qadir Al-Jailani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-Barzanji, termaktub sebuah janji sang wali, “Tidak seorang muslim pun yang melewati pintu madrasahku kecuali Allah akan meringankan bebannya di hari kiamat. Aku pasti akan menolong siapa pun yang tersesat jalan, baik ia sahabat-sahabatku, murid-muridku, maupun pecintaku. Kudaku selalu terkekang, panahku selalu terbentang, dan pedangku senantiasa terhunus untuk menolong mereka. Aku pasti menjaga dan menolong, meskipun mereka tak menyadarinya.” Kalimat indah itu diucapkan oleh penghulu para kekasih Allah SWT, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, yang juga Sulthanul Awliya, “raja” para waliyullah.
.
Janji itu memang syafa’at (pertolongan), yang oleh Rasulullah SAW, dengan izin Allah SWT, juga didelegasikan kepada beberapa golongan istimewa, seperti para awliya, guru mursyid, dan hufazhul Quran – para penghafal Al-Quran yang istiqamah menjaga dan mengamalkan Al-Quran. Para penghafal Al-Quran, misalnya, mempunyai hak memberi syafa’at kepada 10 orang keluarganya. Nilai syafa’at itu tentu tak setinggi Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, syafa’at agung, sebagai hak istimewa Rasulullah SAW.

Banyak keteladanan, nasihat, dan ajaran Syaikh Abdul Qadir yang perlu dipelajari dan diamalkan jika seseorang ingin dianggap patut menyandang status sebagai pecintanya, muridnya, atau sahabatnya. Yang paling awal harus ditanamkan ialah perasaan husnuzhan, atau baik sangka, dan cinta kepada sang guru. Ada beberapa murid yang sebelumnya tidak simpati, bahkan cenderung membencinya, namun kemudian berbalik mencintainya dan berguru kepadanya. Seorang di antaranya Syaikh Abduh Hamad bin Hammam.

“Pada mulanya aku tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir. Walaupun aku seorang saudagar yang paling kaya di Baghdad, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun puas hati. Pada suatu hari, ketika menunaikan shalat Jumat, aku tidak mempercayai karamah Syaikh Abdul Qadir. Sampai di masjid, aku dapati beliau sudah di sana. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, kebetulan persis di depan mimbar. Ketika Syaikh Abdul Qadir mulai berkhutbah, ada beberapa perkara yang menyinggung perasaanku.”

Syaikh Abduh Hamad melanjutkan, “Tiba-tiba, aku ingin buang air besar, sementara untuk keluar dari masjid tentu sangat sulit. Aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut kalau-kalau aku buang air besar di dalam masjid. Dan kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir pun memuncak. Tapi, seketika itu beliau turun dari mimbar dan berdiri di depanku. Sambil terus berkhutbah, beliau menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku merasa sedang berada di suatu lembah hijau yang sangat indah.”

Dalam jubah sang waliyullah itu, Syaikh Abduh Hamad seperti berada di sebuah lembah sunyi dengan anak sungai yang airnya mengalir tenang. Maka segeralah ia menunaikan hajatnya, lalu mengambil air wudhu. Dan ketika ia berniat menunaikan shalat, tiba-tiba sudah berada di tempat semula: di dalam jubah Syaikh Abdul Qadir – yang segara mengangkat jubahnya lalu kembali berkhutbah di mimbar. “Aku sangat terkejut. Bukan karena perutku sudah lega, tapi juga perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan jahat lainnya, semuanya hilang,” tambahnya.

Selepas sembahyang Jumat, Syaikh Abduh Hamad pulang. Di jalan ia baru tahu kunci rumahnya hilang. Ia pun lalu kembali ke masjid untuk mencarinya, tapi ia tidak menemukannya sehingga terpaksa memesan kunci baru. Keesokan harinya ia dan rombongan meninggalkan Baghdad untuk berniaga. Tiga hari kemudian, ia melewati sebuah lembah yang indah dengan anak sungai yang airnya jernih. Ia merasa seperti pernah buang hajat di sungai itu.

“Aku lalu mandi di sungai. Setelah selesai dan mau mengambil jubah, aku menemukan kembali kunci pintu rumahku, yang rupa-rupanya tertinggal dan tersangkut pada sebatang dahan di sana. Setelah urusan dagangku selesai, aku segera menemui Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di Baghdad dan menjadi muridnya,” tuturnya.

Memang, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah ulama kharismatis, bahkan seorang sufi besar yang kepribadiannya sangat dikagumi. Dalam kitab Rijalul Fikr wa Da’wah fil Islam, Sayyid Abu Hasan An-Nadwi mengungkapkan, “Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah sosok yang berkepribadian bersih, bersemangat, sangat kuat pengaruhnya. Dia seorang zahid, qana’ah, dan kuat menahan syahwat. Dia laksana mercusuar iman yang menerangi orang yang tersesat dalam kegelapan.”

Dalam taushiyah-taushiyahnya yang sangat menyentuh qalbu, sang waliyullah selalu mengingatkan agar setiap orang berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, setia menjalankan perintah Allah dan Rasul, menjauhi larangan-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam mengendalikan nafsu. Ditekankannya agar pada taraf yang lebih tinggi ia bisa berserah diri sepenuh hati kepada kehendak-Nya. Menurutnya, ada tiga hal yang mutlak harus dijiwai dan diamalkan oleh seorang mukmin dalam segala keadaan. Pertama, menjaga perintah Allah; kedua, menghindar dari segala yang haram; ketiga, ridha dengan takdir Allah.

Salah satu wasiatnya yang sangat terkenal ialah ujarannya sebagai berikut, “Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah. Patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyekutukan Allah. Selalu sucikanlah Allah, dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pertahankanlah kebenaran-Nya, jangan pernah ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidaksabaran. Beristiqamahlah dengan berharap kepada-Nya. Bekerjasamalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam.”

Bersatu dengan-Nya
Sementara dalam ranah tasawuf ia senantiasa megingatkan, “Tabir penutup qalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau belum melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah dan cahaya-Nya.

Jika engkau mengatakan, jiwamu bersatu dengan Allah dan mencapai kedekatan dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki yang dimaksud ialah berlepas diri dari makhluk dan kedirian, serta sesuai dengan kehendak-Nya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendak-Nya. Inilah keadaan fana dirimu, dan dalam keadaan itulah engkau bersatu dengan-Nya, bukan bersatu dengan ciptaan-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Allah tak terpadani oleh semua ciptaan-Nya’? Istilah bersatu dengan-Nya hanya lazim dikenal oleh mereka yang mengalaminya.”

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang mengajarkan penafian hasrat akan kebendaan duniawiah. Sudah sejak awal ia mengkhawatirkan kecintaan manusia kepada materi yang berakibat ketidakseimbangan ruhani. Sebab, menurutnya, manusia yang sempurna ialah yang mempunyai keseimbangan materi dan spiritual, yang satu sama lain saling menjaga dengan porsi yang sama, porsi yang adil.

Ia memang tokoh unik. Meski sebagian sufi sering dicitrakan lebih mementingkan haqiqat daripada syari’at – karena perilakunya yang dianggap nyeleneh – ia justru dengan tegas menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at sebagai landasan berthariqah dalam rangka menggapai haqiqat dan ma’rifat.
.
Keseimbangan Tiga Pilar
Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.

Misalnya dalam masalah syafa’at Rasulullah SAW, Syaikh Abdul Qadir menulis, “Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa Allah SWT akan menerima syafa’at Rasulullah SAW bagi umatnya yang telah telanjur berbuat dosa, baik dosa besar maupun kecil, yang karenanya mereka ditetapkan masuk neraka, baik syafa’at yang berlaku umum bagi semua umat sebelum proses hisab (perhitungan amal), maupun yang berlaku khusus bagi mereka yang telah masuk neraka.”
.
Dengan syafa’at tersebut seluruh orang beriman yang berada di neraka kelak akan keluar, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Selagi ada sebutir dzarrah (benda terkecil) keimanan dalam qalbu seseorang, dan selama ia mengakui dengan tulus bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT, orang itu akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau, “Syafa’atku, insya Allah, akan didapatkan oleh siapa saja dari umatku selama ia tidak mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu.” (HR Abu Hurairah).

Sebagaimana Rasulullah SAW mempunyai syafa’at, para nabi yang lain pun memilikinya, begitu pula orang-orang shiddiq (yang kepercayaannya akan kebenaran Rasul sangat teguh), serta orang-orang shalih – yang semuanya tentu dengan izin Allah SWT. Dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang layak menjadi salah seorang wasilah (perantara) dalam berdoa, karena ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Namun perlu diingat, ketinggian derajat sang Sulthanul Awliya itu di sisi Allah diperoleh berkat kedalaman ilmunya dalam bidang syari’at.

Cahaya yang Menyesatkan
Kisah penutup berikut ini menggambarkan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir yang menuntunnya mampu melampaui semua godaan yang menghadang laku suluknya.

Ketika suatu malam Syaikh Abdul Qadir bermunajat di zawiyahnya, tiba-tiba muncul sesosok cahaya yang sangat terang benderang di depannya. Dengan suara yang agung, cahaya itu berkata, “Hai Abdul Qadir, aku adalah tuhanmu. Karena ketekunan ibadahmu, mulai saat ini aku halalkan bagimu semua perkara yang haram.”

Tanpa bergerak, tapi dengan ekspresi murka, Syaikh Abdul Qadir menghardik cahaya itu, “Enyahlah engkau, wahai mahkluk terkutuk!”

Seketika, cahaya terkutuk itu padam meninggalkan kepulan asap tipis. Tiba-tiba suara ghaib terdengar lagi, “Kau memang hebat, Abdul Qadir. Keluasan pengetahuanmu mengenai syari’at dan hukum Allah telah menyelamatkanmu. Padahal, sebelum engkau, aku telah berhasil menyesatkan 70 orang sufi dengan cara yang sama seperti ini.”

Ketika pengalaman spiritual itu diceritakan kepada murid-muridnya, salah seorang di antara mereka bertanya, “Dari mana Tuan tahu cahaya itu adalah iblis, bukan Allah?”

Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapannya, ‘Aku halalkan bagimu semua perkara yang haram’. Aku tahu, tidak mungkin Allah SWT akan memerintahkan sesuatu yang buruk dan keji.” Begitulah ketinggian ilmu dan keteguhan iman seorang waliyullah. (Kang Iftah, dari berbagai sumber)