Saturday, August 15, 2009

Serial Tarekat I

Sejarah Perkembangan Thariqah Di Indonesia

Berdakwah Dan Berjuang Melalui Dzikir


Dengan semangat dzikir kaum thariqah berjuang mengislamkan nusantara dan mempertahankannya dari upaya penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Dan kini, melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah kaum tarekat Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa. 

Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan panjang sejarah kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah. Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan keluhuran akhlak, mereka juga berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing.  Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu khazanah umat Islam yang mendunia.   

Tengok saja fenomena Thariqah Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Hisham Kabbani Al-Hasani asal Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang perkenalkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal Damaskus, Suriah. Meski perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat signifikan di berbagai negeri-negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat Islam di negeri-negeri yang sejak lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek moyangnya. 

Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang.  

Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh bangunnya bangsa ini.

Serat Banten  
Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat.  Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid, akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal sebagai paham wahdatul wujud.  

Karena bertentangan dengan doktrin umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi sangat berdarah-darah. Aksi-aksi kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut kemarahan jumhur ulama dan penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan dihukum mati.

Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.  Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.  

Para sejarawan barat meyakini, sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali.  

Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.  

Untuk menguatkan cerita tersebut, Serat Banten Rante-rante juga mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang sama juga belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh penyebar Thariqah Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh Jamaluddin Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani.  Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah ke tanah Jawa.

Faham Wahdatul Wujud Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Thariqah yang pertama kali masuk adalah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat Islam.  Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.

Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud. Ajaran itulah yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri.  Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya.

Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi.  Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.  

Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.  

Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya.

Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang.

Membela Penjajah
Namun sayang, karena Sultan Haji, raja Banten berikutnya lebih cenderung membela kepentingan penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka.

Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Bahkan saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-negeri muslim lain.  

Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.  Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Baginda Nabi Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.  

Karena kehebatan karamahnya, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera saja tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu.  Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.  Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumatera Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.

Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran penjajah pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra setempat dikisahkan, sekelompok pengikut thariqah yang mengenakan pakaian serba putih dan menyandang senjata tampak berzikir dengan keras hingga mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa gentar mereka menyerbu dan mengobrak-abrik barisan tentara Belanda.

Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih berganti.Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.

Bermodal Kesaktian Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.

Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Tak heran pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai daerah yang digelorakan oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang, pertempuran lain melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga tercatat pernah meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888) dan Lombok (1891).

Dua pertempuran yang disebut terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur.

Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua abad dua puluh, terdapat setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa : Rejoso (Jombang – Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly, Mranggen (Demak –Jawa tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya – Jawa Barat) dipimpin oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat) dipimpin oleh Kiai Tohir Falak. Keempat tokoh besar TQN itu kini telah wafat. Namun hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasuhnya, kepemimpinan thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat pengajaran lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi.

Di Jawa Timur, misalnya, Kiai Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai ditinggalkan pengikutnya. Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan Aly dari Tebuireng. Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur dipegang Kiai Utsman Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang legendaris, K.H. Asrori A-Ishaqi. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai Muslikh yang kharismatik, kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur surut. Hal yang sama juga terjadi di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang sempat berjaya pada masa kepengasuhan Abah Falak.

Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, masih banyak lagi thariqah besar yang masuk ke nusantara pada pertengahan abad 19. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maula Khalid Al-Baghdadi.Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin VB dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.

Perang Paderi
Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Para penganut Naqsyabandiyyah yang menganggap diri mereka pembaharu mengecam kaum konservatif di Ulakan, yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol. Cerita seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli. Pemicuya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim tradisionalis di kawasan itu. Wallahu a’lam bish shawwab.

Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto, lalu oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi dan muridnya Kiai Arwani Amin Kudus.

Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.

Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang, K.H. Ahmad Ngadirejo (Klaten/Solo?) dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Ketiganya memliki mata rantai yg sama: Kyai Ahmad,  Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Mazdhab Hanafi. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih Mufti Al-Hanafi.

Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga). Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara dari Mbah Idris Jamsaren, ijazah kemursyidan itu diturunkan kepada K.H.R. Abdul Mu'id Tempursari, Klaten, kemudian diteruskan oleh putranya K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto yg bermukim di kampung Jenengan, Solo. Mbah Ma'ruf sendiri tidak menurunkan kemursyidannya kepada siapa pun.

Selain kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah bai'at kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yg akrab disapa Mbah Kyai Idris Kacangan. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.Melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, kemudian K.H. Abdul Rozaq Tremas ini, Thariqah Syadziliyah juga diturunkan kepada K.H. Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung.
Dan pada akhir abad dua puluh, pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di beberapa pesantren : Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai Muhammad Abdul Haqq bin Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan Temanggung oleh Kiai Muhaiminan Gunardo, dan Pesantren Cidahu Pandeglang oleh Abuya Dimyathi.

Selain di beberapa pesantren tersebut, pengajaran Thariqah Syadziliyyah juga diberikan oleh guru mursyid non pesantren. Yang terkenal di desa Kacangan Boyolali oleh Kiai Idris dan –yang terbesar-- di Noyontakan Pekalongan yang diasuh oleh Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya. Namun sayangnya saat ini hanya tinggal Habib Luthfi saja yang masih hidup, sementara yang lain telah wafat sepanjang satu dasa warsa lalu.

Yang menarik, meski baru tersebar luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah Syadziliyyah sudah masuk negeri ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir abad 18. Pembawanya adalah Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.

Ijazah Dari Rasulullah
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.

Di negeri ini kehadiran Thariqah Tijaniyyah sempat mengundang polemik, karena pendirinya mengaku mendapat ijazah langsung dari Rasulullah dalam keadaan sadar dan thariqahnya menyempurnakan serta menutup thariqah-thariqah lain. Meski sempat ditentang oleh ulama thariqah lain, Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh Indonesia. Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah.

Masalah kemu’tabaran itu memang selalu menjadi isu krusial dalam dunia thariqah, karena dengan menyandang status mu’tabar suatu thariqah diakui ketersambungan sanadnya sampai kepada Rasulullah. Kemu’tabaran suatu thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya dari pengaruh ajaran metafsik lain yang menyesatkan. Untuk menjaga kemurnian dan kemu’tabaran ajaran thariqah-thariqah tersebut, sejak tahun 1979, pada muktamarnya ke-26, warga Nahdlatul Ulama membentuk Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, badan otonom NU yang melaksanakan mandat warga nahdliyyin seputar dunia pertarekatan. Dan saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah telah mengakui kemu’tabaran empat puluh empat thariqah di Indonesia.

Dari organisasi ini diharapkan akan semakin banyak kemanfaatan lahir dan tersebar di nusantara, dari kaum thariqah. Sebagaimana selama ini insan thariqah telah membuktikan jati dirinya melalui dakwah, dzikir dan perjuangan merebut kemerdekaan. Semoga!. (Kang Iftah, Januari 2009)

Sumber : Martin VB (Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat), dan beberapa sumber lain.

Serial Tarekat II

Mursyid-mursyid Thariqah di Jawa Saat Ini

Setelah berkembang selama lebih dari enam abad, thariqah saat ini telah tersebar di seluruh nusantara. Pada awal abad dua puluh satu ini ribuan guru mursyid tinggal dan mengajarkan ilmunya di seluruh pelosok tanah air. Berikut sekilas profil lima mursyid yang mewakili tiga thariqah terbesar di tanah air: Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan Syadziliyyah.

Tokoh pertama adalah Abah Anom. Kedudukannya sebagai seorang mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus ulama sepuh membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa-jiwa yang dahaga. Sebagai orang tua telah kenyang dengan asam garam kehidupan Abah Anom dengan arif menerima kunjungan tamu-tamunya, siapapun adanya dan apapun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas dipersembahkan untuk melayani umat manusia.

Belum lagi kemasyhuran pesantren Suryalaya sebagai tempat penyembuhan pecandu narkoba dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hidrotherapy, yang formulanya dirancang oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang diislamkan melalui mandi taubat, serangkaian shalat dengan dzikir ala Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program yang semula diniatkan untuk membantu program pemerintah tahun 1971 ini kemudian berlanjut terus dan dilembagakan dalam pesantren remaja Inabah.

Abah Anom yang sejak muda tidak makan daging dan selalu minum air putih itu adalah putra kelima KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dari istri keduanya Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan ayahnya untuk meneruskan kepemimpinan thariqah di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan pesantren orangtuanya, pada tahun 1930 Abah Anom memulai pengembaraan menuntut ilmu agama Islam secara lebih mendalam.

Diawali dengan mengaji ilmu fiqih di pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu alat dan balaghah di pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah dua tahun di Jambudipa ia melanjutkan mengaji pada ajengan Syatibi di Gentur Cianjur dan ajengan Aceng Mumu di pesantren Cireungas Sukabumi yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya pada 2 tahun berikutnya. Kegemaran akan ilmu silat dan hikmah kemudian diperdalam di pesantren Citengah Panjalu yang diasuh oleh Ajengan Junaidi, seorang ulama ahli ilmu alat dan hikmah.

Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh pesantren Suryalaya sampai beliau wafat pada tahun 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talqinnya, kemudian menjadi mursyid penuh Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh pesantren menggantikan Abahnya yang mulai sakit-sakitan.

Manajer Handal
Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu dibahunya di usianya yang baru menginjak 41 tahun, menenggelamkan Abah Anom ke dalam samudera riyadhah. Kecintaannya kepada pesantren, thariqah dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiyah dan doa.

Sepanjang sisa hidupnya Abah Anom hampir tidak pernah tidur, demikian cerita salah satu keponakan Abah Anom yang pernah mengabdi di rumahnya. Di luar kegiatan ibadah mahdlah, mengajar dan kunjungan, Abah Anom menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan dzikir khafi. Setiap kali kantuk menyerang, Abah Anom segera berwudhu dan shalat sunah lalu melanjutkan dzikirnya.

Selain berdzikir, Abah Anom juga seorang manajer yang handal. Di tangannya Suryalaya, yang dulunya pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah satu pesantren yang sangat disegani di negeri ini. Santri dan pengikutnya yang mencapai angka jutaan tersebar di seluruh Indonesia bahkan negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain sebagainya. Jumlah ini mencakup sekitar 3000 santri yang bermukim untuk belajar dan kuliah di lingkungan pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah serta jutaan ikhwan-akhwat Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN).

Kini di usianya yang semakin senja, Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi santrinya. Tubuhnya yang semakin renta tak lagi mampu mensejajari semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu beberapa tahun belakangan semua urusan pesantren dan thariqah diserahkan kepada 3 orang yang ditunjuk sebagai Pengemban Amanat, yang terdiri dari KH. Zainal Abidin Anwar, KH. Dudun Nur Syaidudin dan KH. Nur Anom Mubarok.

Namun demikian dengan sisa-sisa tenaga yang semakin melemah Abah Anom tetap bersikeras menerima semua tamu yang mengunjunginya dari berbagai pelosok tanah air, walau hanya sekedar dengan berjabat tangan. Juga diyakini, secara ruhaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya.

Tokoh mursyid ternama lain dari Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Indonesia adalah K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pemimpin Jamaah Al-Khidmah yang berpusat Kedinding Lor, Surabaya. Sebagai ciri khas, Kiai Asrori menambahkan kata Al-Utsmaniyyah di belakang thariqahnya yang merujuk kepada ayahandanya, K.H. Utsman Al-Ishaqi.

Kiai Utsman yang masih keturunan Sunan Giri itu adalah murid kesayangan dan badal K.H. Romli Tamim (ayah K.H. Musta’in), Rejoso, Jombang, salah satu sesepuh Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di negeri ini. Ia dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto. Sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya, Sawah Pulo, Surabaya.

Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan diberikan kepada putranya, Gus Minan, sebelum akhirnya ke Gus Rori. Konon pengalihan tugas ini berdasar wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Gus Rori jamaah thariqah tersebut semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Gus Rori memilih membuka lahan baru, yakni di Kedinding Lor yang dibukanya dari nol.

Keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Inilah yang menjadikannya didekati banyak pejabat dan juga kalangan selebriti. Jemaah tarekatnya tidak lagi terbatas pada para pencinta tarekat sejak awal, melainkan melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tarekat.


Menyajikan Suguhan
Hebatnya, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, Gus Rori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Ia adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan tak jarang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Kini, ulama yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli tarekat. Karena kesibukannya dan banyaknya tamu, Gus Rori kini menyediakan waktu khusus buat para tamu, yaitu tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jemaah baru maupun jemaah lama, dilakukan seminggu sekali.

Ada tiga macam pembaiatan yang dilakukan Kiai Asrori, yaitu Bai’at bihusnidzdzan bagi pemula, Bai’at bilbarakah (tingkat menengah), dan Bai’at bittarbiyah (tingkat tinggi). Untuk menapaki level-level itu, tiap jemaah diwajibkan melakukan serangkaian zikir rutin sebagai ciri tarekat, yaitu zikir Jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan zikir khafiy (dalam hati) 1.000 kali tiap usai salat. Kemudian, ada zikir khusus mingguan (khushushiyah/usbu’iyah) yang umumnya dilakukan berjemaah per wilayah, seperti kecamatan.

Kunjungan ke tempat lain – sampai ke mancanegara – pada intinya acaranya sama, yaitu zikir. Sedangkan di kediaman Gus Rori sendiri diadakan dua minggu sekali. Minggu pertama untuk jemaah umum, sedangkan minggu kedua untuk kalangan khusus. Yang kedua ini menarik, karena yang hadir hampir kesemuanya orang Madura. Maka, ceramah dan lainnya berbahasa Madura.

Sementara itu di Jawa Tengah tokoh mursyid thariqah terbilang cukup banyak. Dari kalangan Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, misalnya, terdapat salah seorang tokoh besar yang sangat bersahaja. Dialah K.H. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh pesantren Al-Manshuriyah Popongan, Klaten. Ratusan ribu murid Mbah Salman saat ini tersebar di seantero Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur bahkan Sumatera.

Mbah Salman, demikian sang kiai akrab disapa, adalah anak laki-laki tertua dari K.H.M. Mukri bin K.H. Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari K.H.M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang ini diasuhnya. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.

Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh sang kakek, K.H.M. Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai awliya, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.

Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika pemuda-pemuada lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya,–mau tidak mau- Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid.

Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, K.H.M. Mukri.

Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,

Pesantren Sepuh
Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).

Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu.

Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.

Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai, yang bulan Ramadlan 1425 H lalu genap berusia 70 tahun menurut perhitungan hijriyah ini. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.

Selain Mbah Salman, ada juga tokoh mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Nangroe Aceh Darussalam. Namanya Teungku Dr. Muhibbudin Waly, putra dari Syaikh Muhammad Waly, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di tanah Rencong yang berasal dari nagari Minangkabau.

Dari garis ayahandanya, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Syaikh Muda Waly, mengalir darah ulama besar di Minang. Paman Syaikh Muda Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang wali Allah yang sangat termasyhur di tanah Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syaikh Muda Waly juga mewarisi kharisma dan karomahnya. Konon beliau pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap mata.

Syaikh Muda Waly, ayah Buya Muhibbudin adalah sahabat Syaikh Yasin al-Fadany Mekkah saat masih sama-sama berguru pada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek dari Sayyid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky al-Maliky al-Hasany. Karena hubungan itu pula, ulama besar tersebut pernah mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Buya beberapa tahun lalu.

Pertemuan berikutnya dengan Syaikh Yasin al-Fadani juga tidak berbeda. Sambil terus memegang tangannya, Syaikh Yasin kemudian memberikan ijazah atas semua hadits Rasulullah yang dikuasainya.

Teungku Muhibbudin Waly belajar tarekat pertama kali dari ayahnya, yang membimbingnya meniti tarekat Naqsyabandiyah. Namun karena takzim, setelah dianggap cukup, Syaikh Muda Wali menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syaikh Abdul Ghoni al-Kampary.

Ahli Ushul Fiqh
Saat itu di pesisir timur utara pulau Sumatera, ada dua orang guru mursyid besar yang tinggal di daerah Riau. Keduanya termasyhur min jumlatil aulia, termasuk golongan wali-wali Allah, yaitu Syaikh Abdul Ghoni Kampar yang murid-muridnya kebanyakan adalah para ulama dan Syaikh Abdul Wahhab Rokan yang murid-muridnya adalah orang-orang awam.

Belakangan Buya Muhibbudin Waly juga mendapat ijazah irsyad, menjadi guru mursyid, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ulama kharismatik KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin (Abah Anom) pengasuh pesantren Suryalaya dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari guru besarnya Syaikh Muhammad Nadzim Al-Haqqany.

Silaturahmi dan selalu belajar kepada para alim ulama memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan hingga kini. Buya menceritakan nasihat ayahandanya, “Jika kau bertemu dengan orang alim, jangan pernah berdebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya lalu cium tangannya.”

Syaikh Muhibbudin Waly mengambil gelar doktornya di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo dengan disertasi tentang Pengantar Hukum Islam. Waktu kuliahnya terbilang singkat yang diselesaikannya tahun 1971.

Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir tahun 2004 lalu, Buya Muhibbudin Waly lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat, dan menulis. Saat ini ada beberapa buku tentang Tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi Tarekat yang diberi judul Kapita Selecta Tarekat Shufiyyah.

Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga buah kitab yang diharapkan akan jadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya. Tiga kitab tersebut adalah Tafsir Waly (Tafsir al-Quran), Fathul Waly (Syarah dari kitab Jauharatut Tauhid) dan Nahjatuh an-Nadiyah ila Martabat as-Shufiyyah (Sebuah kitab di bidang ilmu Tasawuf).

Sebagai pewaris darah pujangga-pujangga Minangkabau, kemahirannya dalam menulis syair pun tak perlu diragukan lagi. Belum lama ini beliau mengijazahkan syair tawasul tarekat, yang digubahnya sendiri dalam dua bahasa Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan tentang proses perjalanan suluknya, yang diselingi dengan doa tawasul kepada para pendiri tarekat-tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.

Kini, di usianya yang terbilang senja, Buya mengaku tidak lagi sekuat dulu dalam berkhidmah pada agama, nusa dan bangsa. Namun demikian beliau tetap berusaha melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulannannya menjadi tiga. Bulan pertama Buya tinggal di Jakarta, bulan kedua ia habiskan di Aceh dan bulan ketiga Tengku Muhibbudin melayani undangan ke daerah-daerah lain.

Selain kedua thariqah di muka, thariqah yang pengikutnya tak kalah besar saat ini adalah Thariqah Syadziliyyah. Menjelang akhir abad dua puluh lalu ada beberapa pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Jawa yang sangat besar, yaitu Pesantren Peta Tulungagung yang diasuh Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang yang diasuh K.H. Ahmad Abdul Haq, Pesantren Parakan Temanggung yang diasuh K.H.R. Muhaminan Gunardo, Pesantren Cibadak Pandeglang yang diasuh K.H. Dimyathi, Zawiyyah Kacangan dipimpin oleh K.H. Idris dan Kanzus Shalawat yang diasuh Habib Luthfi Bin Yahya.


Telah Wafat
Namun sayangnya, sebagian besar pengasuh itu telah wafat. Dan saat ini hanya tinggal Habib Luthfi dan K.H. Ahmad Abdul Haq saja yang masih hidup dan mengajarkan thariqahnya.

Habib Luthfi bin Ali bin Haysim Bim Yahya, misalnya, saat ini berkududukan sebagai Khalifah Thariqah Sadziliyyah sekaligus pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi pengikut tarekat yang anggota terbai’atnya mencapai 30 jutaan orang.

Habib Luthfi adalah sosok pelayan umat sejati. Setiap hari, rumahnya di kawasan Noyontaan Gang 7, Pekalongan, Jawa Tengah, selalu marak oleh tamu yang datang dari berbagai daerah di tanah air. Hampir 24 jam, pintu rumah ayah lima anak itu selalu terbuka untuk ratusan orang yang datang dengan berbagai keperluan. Mulai dari minta restu, mohon doa dan ijazah, sampai konsultasi berbagai problematika kehidupan. Biasanya mereka akan merasa tenang setelah mendapat nasihat.

“Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya,” kata seorang ibu suatu ketika sambil terisak.

Dengan lembut, Habib Luthfi menghiburnya, “Ibu, tidak ada penyakit yang bisa mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.”

“Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu. Karena itu, saya selalu terbuka,” demikian jawab Habib Luthfi ketika ditanya tentang para tamunya.

Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthfi juga menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa malam, ba’da Isya’, Habib Luthfi membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan paginya, pukul 06.00 – 07.30 Habib Luthfi mengajarkan kitab fiqih Taqrib untuk kaum hawa.

Selain kajian mingguan, setiap ba’da Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthfi juga membacakan kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’. Di antara tiga majelisnya, pengajian malam Rabu dan Jum’at pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja. Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid dan fiqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Dalam fiqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram, yang diperintahkan dan yang dilarang.

Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena, pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari syariat).

Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthfi, baik secara langsung maupun melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthfi sebagai sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias mengetahui hal yang belum terjadi.

Ditempa Para Wali
Tentu saja semua keistimewaan itu tidak datang dengan tiba-tiba. Beberapa ulama besar yang termasyhur sebagai waliyullah telah ikut menempanya sejak kecil. Sebut saja Habib Ahmad bin Ismail Bin Yahya dan Habib Umar bin Ismail Bin Yahya alias Abah Umar, seorang waliyullah yang tinggal di desa Panguragan, Arjawinangun, Cirebon, yang mengasuh Habib Luthfi kecil ketika ia tinggal di desa itu. Dari tokoh eksentrik itulah untuk pertama kalinya Habib Luthfi mempelajari ilmu kehidupan.

Selain itu Habib Luthfi juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthfi memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Syadziliyyah.

Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib Luthfi didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Ya’qoubi, mursyid Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing, biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki. (Kang Iftah, Januari 2008)

Thursday, August 13, 2009

Renungan Dari Sudut Khanaqah

BERTINGKAH SEPERTI TUHAN

Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan.

Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai akidah dan tasawuf.

Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Dan Jawaban sang kiai membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid.

Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.”

Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya, seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa.

Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan- setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang, pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali.

“Sekarang semakin banyak kepala keluarga --yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya lalu-- merasa telah memberi rizki. Banyak juga majikan, yang karena telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,” terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya.

Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.

Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika kontemporer. Dalam penggalan sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS. Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah ruah.

Dan kini, di zaman modern, bertingkah seperti tuhan ternyata justru semakin lekat dalam kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, misalnya, bagi manusia adalah ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh makhluk.

Ibn Athailah Assakandary mengajarkan, “Allah ta’ala melarang kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah Pengasuh semesta alam.” (Al-Hikam)

Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid, perlucutan tauhid dari selainnya, terutama terutama dalam ranah Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan mengayomi alam semesta.

Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja. Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun. (Kang Iftah, Jakarta 2005)

Friday, March 13, 2009

Sejarah Pengajaran Al-Quran

Dari Malaikat Jibril Sampai TK Al-Quran

Pengajaran Al-Quran telah mewarnai sejarah peradaban Islam. Berbagai metode telah digunakan dalam pengajaran tersebut, dari yang ala Baginda Nabi sampai metode kilat.

Bulan Ramadhan telah tiba. Banyak orang berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Quran. Masjid dan mushalla pun mendadak semarak dengan pengajian dan tadarrus Al-Quran. Pagi, siang, sore dan malam kaum muslimin seakan larut dalam bacaan Al-Quran. Ya, Ramadhan memang identik dengan Al-Quran, karena di bulan inilah kitab suci paling utama itu diturunkan oleh Allah Ta’ala.

Disamping mengkaji dan mendalami kandungan Al-Quran, tentu akan sangat menyenangkan sekali jika selama Ramadhan ini kita bisa mengkhatamkan Al-Quran berkali-kali. Sebab setiap huruf Al-Quran yang dibaca akan menghasilkan sepuluh kebajikan. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pahala yang akan diperoleh jika kita berhasil mengkhatamkan Al-Quran.

Apalagi di bulan Ramadhan, ketika setiap kebajikan yang dilakukan umat Islam pahalanya dilipatgandakan berpuluh bahkan ratusan kali lipat. Belum lagi ditambah keistimewaan yang dijanjikan Rasulullah atas orang yang mengkhatamkan Al-Quran, yakni doanya saat khataman diamini lima puluh ribu malaikat. Sungguh luar biasa!

Namun untuk mengkhatamkan bacaan Al-Quran seorang tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain harus mengenal dengan baik huruf-huruf Arab, tentu juga dibutuhkan keterampilan tersendiri agar dapat membaca Al-Quran secara tartil alias baik, benar dan lancar. Dari kata tartil inilah lahir istilah murattal atau pembacaan Al-Quran dengan baik, benar dan lancar dengan irama standar, seperti yang sekarang banyak dijual dalam bentuk kaset atau CD.

Sebutan “baik” disini memiliki banyak aspek. Selain etika dalam membaca Al-Quran, kata baik tersebut juga menyangkut masalah sikap terhadap Al-Quran. Di mana seorang muslim dalam membaca Al-Quran tak sekedar menetapi pra syaratnya seperti suci badan, pakaian dan tempat, tetapi juga berusaha menyucikan hati dan perasaan. Agar saat membaca Al-Quran yang muncul di hati adalah perasaan cinta dan penuh kerinduan kepada Sang Pemilik Al-Quran.

Sebab Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), maka membacanya berarti berdialog dengan Allah SWT. Bagaimana kita bisa merasakan bahwa setiap rangkaian huruf-hurufnya adalah untaian sajak-sajak cinta dari sang Khalik yang penuh hikmah dan kedalaman untuk makhluk-Nya.


Sistem Face to Face
Sementara ungkapan “benar” yang dimaksud tentu terkait masalah tajwid (ilmu hukum-hukum membaca Al-Quran). Benar dalam membaca Al-Quran tentu berarti benar dalam mengucapkan huruf sesuai makhrajnya, benar dalam memanjang-pendekkan bacaan sesuai mad-nya dan benar dalam mendengung-tidakkan sambungan huruf sesuai dengan hukum bacaannya. Benar juga berarti harus tahu pada bagian mana bacaan boleh berhenti (waqaf) dan lanjutnya (washal) atau berhenti tetapi tidak boleh mengambil nafas (saktah).

Sementara sebutan “lancar” dalam membaca menyangkut ketekunan diri dalam berlatih membaca Al-Quran. Semakin sering membaca Al-Quran akan semakin mengalir dan merdu pula irama bacaan kita. Semakin lancar kita membaca Al-Quran, akan semkain cepat pula proses pengkhataman Al-Quran. Dan semakin cepat khatam dan mengulangnya lagi dari awal, akan semakin banyak pula kesempatan kita menimbun pahala khataman Al-Quran.

Dalam rangka mendidik umat Islam agar mampu membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar itulah para ahlil Quran (sebutan untuk orang-orang yang menguasai rahasia Al-Quran) membuka pengajaran membaca Al-Quran. Dua-duanya, baik yang belajar maupun mengajar Al-Quran disebut-sebut nabi sebagai umat terbaik. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan dn Ali bin abi Thalib, Rasulullah SAW bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR Abu Ubaid)

Sejak kapankah proses pengajaran Al-Quran ini berlangsung? Siapakah guru-murid pertama dalam ta’limul Quran? Dan bagaimana perkembangan pengaran Al-Quran dari masa ke masa? Berikut laporannya..

Sebagai firman Allah Ta’ala, tentu pengajar Al-Quran pertama kali adalah Allah SWT sendiri dan murid pertamanya adalah malaikat Jibril. Adapaun waktu pengajaran Al-Quran pertama ini hanya Allah jualah yang maha mengetahui.
Dari malaikat Jibril kemudian Al-Quran disampaikan atau diajarkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW secara talaqqi. Sistem talaqqi atau yang juga lazim disebut mushafahah adalah metode pengajaran di mana guru dan murid berhadap-hadapan secara langsung (face to face).

Tak hanya mengajarkan ayat-ayat baru, secara rutin Malaikat Jibril juga mengunjungi Nabi untuk memeriksa hafalan dan bacaan beliau. Diriwayatkan oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Jibril mengajariku membaca Al-Quran setahun sekali. Dan tahun ini ia telah membacakan Al-Quran dua kali padaku. Aku menduga ini pertanda ajalku sudah dekat.” (HR Bukhari)

Kunjungan Jibril ini diperlukan, sebab ayat-ayat Al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam urutan seperti yang sekarang termaktub dalam mushaf-mushaf Al-Quran. Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian beliau dan dengan urutan yang acak sesuai asbabun nuzul yang telah ditakdirkan Allah SWT. Ayat Al-Quran yang pertama kali turun, yakni ayat 1 - 5 Surah Al-‘Alaq, misalnya, kini menempati urutan surah ke – 96 dari 114 surah yang telah diturunkan.

Metode talaqqi dalam pengajaran ayat-ayat yang belum dihafal dan pengulangan hafalan untuk menguatkan dan melancarkan yang dicontohkan oleh malaikat Jibril dan Rasulullah itulah yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) sistem pengajaran Al-Quran di dunia Islam hingga saat ini. Metode talaqqi tersebut di Indonesia dikenal dengan sebutan sistem sorogan Al-Quran (ini untuk membedakan dengan sorogan kitab kuning).

Murid Angkatan Pertama
Sedangkan tradisi Jibril membacakan ayat-ayat Al-Quran secara rutin kepada Nabi SAW dan memeriksa bacaan serta urutan ayat dan surah yang beliau hafal tersebut kini menjadi tradisi di pesantren-pesantren Al-Quran yang disebut takriran atau nderes. Ada juga tradisi sema’an, yakni seorang hafizh menjaga hafalannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya di hadapan orang banyak yang menyimaknya sambil membuka mushaf Al-Quran untuk memeriksa kebenaran bacaannya.

Setelah dua fase pertama –dari Allah Ta’ala kepada Malaikat Jibril dan dari Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur— dimulailah pengajaran Al-Quran secara umum kepada umat manusia. Urut-urutan orang-orang yang belajar Al-Quran sama persis dengan urutan orang-orang yang masuk Islam. Karena ketika mereka menyatakan keislaman, saat itu pula mereka langsung mempelajari ayat demi ayat Al-Quran.

Manusia pertama yang belajar dan menghafal ayat suci Al-Quran setelah baginda Nabi adalah Sayyidah Khadijah, istri baginda Nabi Muhammad SAW. Kemudian disusul oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib (sepupu Nabi), Abu Bakar Shiddiq (sahabat terdekat Nabi) dan Zaid bin Haritsah (pembantu keluarga Nabi). Abu Bakar kemudian membawa teman-teman dekatnya untuk masuk Islam dan mempelajari Al-Quran. Mereka antara lain Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqash.

Mereka itulah murid angkatan pertama madrasah Al-Quran yang didirikan baginda Nabi Muhammad SAW. Mereka pulalah yang untuk pertama kalinya merasakan sentuhan sistem pendidikan kenabian yang dibawa Rasulullah SAW. Melalui hati-hati bersih angkatan pertama umat Islam inilah cahaya Al-Quran memancar menerangi alam semesta. Sungguh sangat beruntung!

Ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah, Rasulullah pun mulai membagi tugas mengajarkan Al-Quran kepada beberapa sahabat beliau yang dipandang memiliki kemampuan lebih. Dalam Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, As-Siyar wal Maghazi karya Ibn Ishaq, At-Taratib Al-Idariyyah karya Kattani dan Sirah Ibn Hisyam tercatat nama beberapa sahabat yang pernah ditugaskan baginda Nabi untuk mengajar Al-Quran.

Para sahabat yang beruntung tersebut adalah Abdullah bin Mas’ud yang mengajar secara umum di Makkah, Khabbab yang mengajar pasangan suami istri Fatimah bin Khaththab dan Sa’id bin Zaid, dan Mush’ab bin Umair yang diperintahkan baginda Nabi untuk mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah beberapa waktu sebelum hijrah. Ada juga nama Rafi’ bin Malik Al-Anshari yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membawa Surah Yusuf ke Madinah, sebelum masa hijrah.

Karena melalui utusan-utusan terpilih, pengajaran Al-Quran dengan sistem pendelegasian itu pun berhasil dengan gemilang. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, misalnya, beliau diperkenalkan dengan Zaid bin Tsabit, anak berusia sebelas tahun yang ketika itu telah menghafal enam belas surah Al-Quran. Belakangan remaja cerdas itu semakin dekat dengan baginda Nabi karena dipercaya menjadi salah seorang pencatat wahyu.

Madrasah Al-Quran Pertama
Setelah pembangunan Masjid Nabawi usai, Rasulullah lalu memerintahkan membangun suffah, bangunan tambahan semacam beranda di samping bangunan induk masjid, dan menjadikannya sebagai pusat pengajaran Al-Quran dan belajar baca tulis umat Islam. Tak kurang dari sembilan ratus sahabat “mendaftar” sebagai murid di suffah tersebut.

Selain Rasulullah yang mengajar Al-Quran, beberapa sahabat lain seperti Abdullah bin Sa’id bin Al-Ash, Ubadah bin Ash-Shamit, dan Ubay bin Ka’ab membantu mengajar Al-Quran dan baca tulis untuk sahabat lain yang masih buta huruf. Bisa dibilang suffah inilah cikal bakal pesantren Al-Quran dan Taman Pendidikan Al-Quran yang sekarang marak berdiri di masjid dan mushalla.

Pengajaran di suffah itu sangat istimewa karena ditangani langsung oleh baginda Nabi. Abdullah bin Umar memberikan gambaran cara nabi mengajar, “Nabi Muhammad membacakan Al-Quran kepada kita. Dan setiap kali sampai pada ayat sajdah yang menyuruh bersujud, beliau mengucap takbir lalu bersujud.” (HR Muslim). Dalam Al-Intishar karya Al-Baqillani dikisahkan, Utsman bin Abil Ash menceritakan bahwa dirinya selau ingin mengaji langsung kepada Rasulullah SAW, dan bila sedang tidak bisa menemui beliau, Ustman pun mendatangi rumah Abu Bakar Shiddiq.

Abdullah bin Mughaffal mengisahkan, jika ada orang yang baru masuk Islam yang hijrah ke Madinah, Rasulullah menyuruh salah seorang Anshar untuk menampungnya serta mengajarinya Al-Quran dan pengetahuan keislaman lainnya. Selain itu para shabat juga seringkali berkumpul di masjid untuk saling bertukar ilmu dan mengajarkan ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya (diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhail).

Selain di Madinah, beberapa sahabat ahlul Quran juga dikirim oleh baginda Nabi ke berbagai daerah untuk mengajar. Di antara mereka adalah Mu’adz bin Jabal yang dikirim Yaman, Abu Ubaid yang diutus ke Najran, dan Wabra bin Yuhanna yang ditugaskan ke Shan’a.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Shiddiq, pengajaran Al-Quran diteruskan oleh para sahabat besar. Saat itu di Madinah dan Makkah saja terdapat ratusan penghafal Al-Quran yang setiap saat siap membagi pengetahuannya. Namun ketika pecah perang penumpasan nabi palsu di Yamamah hampir sepertiga dari jumlah tersebut gugur sebagai syahid. Peristiwa inilah yang kemudian melatarbelakangi pembukuan Al-Quran atas perintah khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq.

Para penghafal Al-Quran yang tersisa kemudian terus menurunkan ilmunya kepada generasi sesudahnya baik yang tinggal di kota Madinah dan Makkah maupun kota-kota dan negeri lain yang baru saja ditaklukan oleh pemerintahan Islam. Di antara mereka bahkan ada yang berkelana hingga jauh ke timur, seperti Sa’ad bin Abi Waqash yang mengembara hingga ke negeri Cina.

Karena tempat pengajarannya yang tidak lagi terpusat di Madinah, belakangan muncul beberapa kesalahan bacaan yang dilakukan oleh murid-murid sahbat yang tinggal jauh dari Makkah dan Madinah. Karena dianggap membahayakan, Khalifah Utsman dan para sahabatnya berinisiatif membakukan penulisan dan ejaan Al-Quran dalam dialek Quraisy. Utsman pun membentuk tim beranggotakan 12 orang yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.

Rasm Utsmani
Dari hasilnya kerja tim tersebut lahirlah mushaf dengan rasm (ejaan) Utsmani yang menjadi panduan baku penulisan Al-Quran. Seluruh mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani lalu dimusnahkan untuk menghilangkan potensi perbedaan di kemudian hari. Al-Quran rasm Utsmani ini pula yang kemudian diajarkan secara turun menurun kepada umat Islam hingga saat ini.

Dari hasil didikan para sahabat tersebut lalu bermunculan ulama Ahlul Quran dari kalangan tabi’in, seperti Muslim bin Jundub yang belajar dari Abdullah bin Abbas dari Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Sa’ib Al-Mazumi yang mendapatkan pengajaran Qurannya dari Ubay bin Ka’ab dan Umar bin Khaththab, Hasan Al-Bashri yang mendapatkannya dari Abu Aliyah dari Umar bin Khaththab, Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi yang mempelajarinya dari Utsman bin Affan, Abdullah bin Hubaib As-Silmi yang mendapatkannya dari lima sahabat besar ahlul Quran (Ibn Mas’ud, Utsman, Ali, Ubay dan Zaid bin Tsabit) dan masih banyak lagi.

Meski ejaan Al-Quran telah diseragamkan, namun dalam praktek pengajarannya setelah era sahabat muncul perbedaan qiraat (dialek) pengucapan lafadz-lafadz dalam Al-Quran. Berbeda dengan kasus perbedaan ejaan pada masa Khailfah Utsman, perbedaan diaelek ini tidak menyebabkan perbedaan makna atau perubahan ejaan. Karena itu perbedaan qiraat itu tetap dibiarkan dan tumbuh menjadi kekayaan khazanah keilmuan Islam.

Meski berkembang menjadi sepuluh qiraat, ada juga yang berpendapat 12 dan 20, namun yang ada tujuh dialek (qiraat sab’ah) yang paling populer dan hingga kini terus dipelajari. Masing-masing qiraat itu kemudian dikenal dengan nama imam-imam besar kalangan tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya yang mengajarkannya.

Mereka adalah Imam Nafi’ bin Nu’aim, lahir di Madinah 70 H dan wafat di Isfahan pada 169 H, mempunyai sanad Al-Quran yang bersambung sampai Rasulullah melalui Abdurrahman bin Hurmuz dari Muslim bijn Jundub; Imam Abdullah ibn Katsir Al-Makki (45 – 120 H), sanadnya melalui Abdullah bin Saib Al-Mazumi; Imam Abu Amr bin Al-Ala (68 – 154 H), sanadnya melalui Hasan Al-Bashri; Imam Abdullah bin Amir Al-Yahsubi (21 – 118 H), sanadnya melalui Al-Mughirah bin Abi Syihab; Imam ‘Ashim bin Abin Nujud Al-Asadi Al-Kufi (wafat 127 H), sanadnya melalui Abdillah bin Hubaib As-Silmi; Imam Hamzah bin Habib Al-Kufi (80 – 156 H), sanadnya melalui Sulaiman bin Himran dari Yahya bin Wasab; dan Imam Ali bin Hamzah Al-Kisai (119 – 189 H), ia adalah guru mengaji keluarga Harun Ar-Rasyid, sanadnya bertemu dengan Imam Ashim melalui Hamzah dari Isa bin Umar.

Dari ketujuh qiraat tersebut, yang sangat populer dan diajarkan di hampir seluruh negeri muslim –termasuk Indonesia— adalah qiraat Imam Ashim Al-Kufi. Meski begitu tak jarang seorang kiai pengajar Al-Quran mencampurnya dengan mengambil qiraat-qiraat dengan periwayat terbanyak.

Dari jalur sanad Imam Ashim ini beberapa tokoh ulama tahfizhul Quran nusantara seperti Syaikh Dimyathi Tremas, K.H. Moenawwir Krapyak, Syaikh As’ad Makassar, dan beberapa kiai lain di Gresik dan Surabaya mengambil pelajaraan dan ijazah pengajaran Al-Qurannya. Kemudian dari para kiai tersebut lahirlah pesantren-pesantren Al-Quran yang kini menjamur di seluruh Indonesia. (Lebih lengkap mengenai jaringan pesantren Al-Quran di Indonesia saat ini baca tulisan Sejarah Pengajaran Al-Quran II)

Mengiringi perkembangan zaman, pengajaran Al-Quran pun terus berkembang. Jika awalnya hanya digelar di masjid, mushalla dan pesantren Al-Quran melalui pengajian sorogan (talaqqi), saat ini pengajian Al-Quran juga diajarkan di kelas-kelas sekolah dengan metode yang lebih variatif. Jika sebelum era 1980an pengajian hijaiyyah dan juz amma hanya mengenal kaidah Baghdadi, kini telah lahir berbagai metode inovatif seperti Qiraati dan Iqra’ yang dikembangkan melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Bahkan belakangan ditemukan metode-metode kilat belajar membaca Al-Quran, seperti Tarsana, metode tujuh membaca Al-Quran dan sebagainya. Semua itu tentu dimaksudkan untuk mempermudah umat Islam belajar membaca Al-Quran dengan baik, benar dan lancar. Agar umat Islam semakin rajin mengkhatamkan Al-Quran dan meraih keagungan pahalanya, terutama di bulan suci Ramadhan yang baru saja datang. Semoga! (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah alkisah edisi 19, Ramadhan 1429/2008)