Sunday, October 20, 2013

Thariqah Syadziliyyah Di Jawa Abad 19-20


GENEALOGI KEMURSYIDAN THARIQAH SYADZILIYYAH DI SALA
Oleh Kang Iftah
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. 
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.  Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[1]
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak.[2] Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.[3] Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[4]
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.  Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.[5] 
Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. 
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.  
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).  
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.[6]  
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.[7]  
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).  
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [8]
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.[9]
Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama: Kyai Ahmad, Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[10]
Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para alumnus Damaskus, Syiria[11].
Namun demikian, meski secara umum thariqah terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak pusat pengajaran thariqah yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Kota Solo.
Pada masa keemasaannya, Kota Solo dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahlith thariqah. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu K.H. Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan K.H. Ahmad, pengasuh Pesantren Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj, Panularan, dan Kyai Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan; Kyai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai Idris, Kacangan, Boyolali.
Dari beberapa nama tersebut hanya Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru murid. Setelah Kyai Idris Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang kemenakan, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti, seperti halnya mursyid-mursyid Thariqah Syadziliyyah lain di Solo dan sekitarnya.
Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah thariqah yang sangat ketat menjaga tradisi sanadnya.

Kemunculan Thariqah
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah  Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan  rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak  dengan  motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat  bahwa kehidupan rohani yang terjaga  dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati)  itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan  yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.[12]
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan  sebagian  kaum muslimin yang semata- mata berusaha  mengendalikan jiwa mereka  dan menempuh cara hidup unuk mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya  oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk  mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat  ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Dengan isilah lain, laku batin yang mereka tempuh  dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi  hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh  berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf  atau sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi.
Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk  menyebut suatu  pembimbingan pribadi dan perilaku  yang dilakukan oleh seorang guru musyid  kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.
Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.[13]
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.[14] Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.[15]
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. [16]
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.[17] Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.[18]
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.[19]
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri.[20]
Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Thariqah Syadziliyyah
Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197 M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M).[21] Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara[22] yang pokok, yaitu:
a.  Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
b.  Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan.
c.  Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada di depan atau di belakang mereka.
d.  Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak.
e.  Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka.

Di samping itu beliau juga mengajak mereka  untuk mengiringi thariqahnya dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.

Thariqah Dan Kemursyidan Syadziliyyah di Solo
Sebagaimana telah dipaparkan di pendahuluan, bahwa Thariqah Syadziliyyah diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.[23]  
Catatan dan bukti yang lebih jelas dan detail tentang penyebaran Thariqah Syadziliyah di Jawa baru ada di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan --atau lebih tinggi-- dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih.
Ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram antara lain : K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III) Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Banyumas.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).[24] Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, ijazah kemursyidan kemudian diturunkan kepada K.H. Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada K.H. Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung. Saat ini kemursyidan di PETA dipegang oleh K.H. Solahuddin (Gus Saladin), putra Kyai Abdul Jalil Mustaqim.[25]
Selain mewariskan ijazah kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat beberpa khalifah. Salah khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan legendaris adalah K.H. Abdul Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid Kajoran menghadap Kyai Mustaqim dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat K.H.R. Muhaiminan Gunardo, Parakan Temanggung, sebagai khalifah Thariqah Syadziliyyah menggantikannya.[26]
Dari jalur Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, ijazah kemursyidan turun kepada K.H. Sami’un, pendiri pesantren Parakonje, Banyumas, yang kini dilanjutkan oleh generasi keduanya, KH Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, Beji.[27] Sementara dari Jalur Kyai Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen, thariqah ini turun temurun diwariskan kepada putra-putranya Syaikh Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi sesudahnya, K.H. Chanifudin dan K.H. Musyaffa’ Ali.[28]
Sementara itu jalur kemursyidan Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren Jamsaren tumbuh pesat sebagai pusat pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa Tengah bagian selatan. Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren ini.
Sebelum wafat, Mbah Idris mewariskan ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada kemenakannya, K.H.R. Abdul Mu'id bin Thohir, keturunan Kyai Imam Rozi, salah seorang senopati Pangeran Diponegoro yang bergelar Singomanja.  Ketika kemursyidan berada di tangan Kyai Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor kethariqahan Jamsaren meredup, hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran agama Islam terbesar di Solo.
Kyai Abdul Mu’id mendidik ribuan murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah kemursyidan adalah putra tertuanya, K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya, Kyai Ma’ruf diminta menjadi salah seorang ulama dan qadhi (hakim agama) di Keraton Kasunanan Surakarta.  Kyai Ma’ruf pun kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang kemerdekaan, Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar thariqah Syadziliyyah di Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Barisan Kyai dan Sabilillah.
Selain menurunkan ijazah kemursyidan kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah kekhalifahan kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yang lebih dikenal dengn nama Mbah Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.
Kyai Ma'ruf sendiri kemudian hanya sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi mursyid yakni Kyai Shodiq Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai Ma’ruf tidak menurunkan kemursyidannya kepada putranya, K.H. Djami’ul Abror. Beliau lebih memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut thariqah, Syaikh Abil Hasan Ali Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf berakhirlah garis kemursyidan thariqah Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris Kacangan pun hanya memiliki ijazah kekhalifahan yang tidak bisa diwariskan.[29]
Jika ditinjau dari tradisi regenerasi kemursyidan thariqah, keputusan Kyai Ma’ruf untuk tidak lagi mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq besar kemungkinan karena ketatnya Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran thariqah yang menegaskan bahwa kemursyidan seseorang adalah kehendak Allah dan Rasul-Nya, bukan atas kemauan sang mursyid sendiri. Hanya alasan menjaga tradisi ini yang masuk akal sampai-sampai hingga akhir hayatnya Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya sendiri menjadi mursyid, meski dari segi kealimannya Gus Abror cukup memenuhi syarat. [30]
Bahkan dalam konteks tertentu, seorang mursyid pun tidak mengangkat khalifah baru, ketika seorang khalifah wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika diminta mengangkat pengganti Kyai Idris Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak karepku lan karepmu, ning karepe sing duwe thariqah ora ngono kuwi.” (Itu –mengangkat pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thariqah tidak demikian.—garis silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis).[31]
Mengikuti tradisi keilmuan thariqah, murid-murid dari Syaikh Ma’ruf, Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai’at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid thariqah Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri.
 


[1] Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.
[2] ibid., hlm.23.
[3] Ibid, hlm. 224.
[4] Meski begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik dengan guru yang masih hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang sudah wafat. Proses ijazah thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 162-163.
[5] Ibid, hlm. 56-59
[6] Martin Van Bruinessens, Loc.Cit. hlm. 20-21
[7] Martin Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun 1997,  hlm. 1-100
[8] Tim Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.
[9] Muhdhor Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100
[10] Berbagai catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh tersebut, seperti : www.thohiriyyah.com; http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan sumber-sumber lain.
[11] Disebut Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi Ad-Darqawi. Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah, Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal Thariqah, LTN-JATMAN, 2005, hlm. 31 dan www.wikipedia.org/wiki/shadhili
[12] Tim Penyusun JATMAN, loc. Cit. hlm. 14
[13] Tim Penyusun JATMAN, loc. cit. hlm. 22
 [14] Ibid, hlm. 23 dan Prof. DR.H. Aboebakar Atjeh,  Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian Tentang Mistik), Ramadhani, Solo, tt, hlm. 64-69
[15] Syaikh Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil Ghuyub, Dar el-Fikr, Beirut, tt. hlm
[16] Ibid
[17] Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, Al-Lujjain Ad-Dani fi Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani: Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani, dalam Bulughul Amani (terjemah manaqib dalam bahasa Jawa), Hasyim Putra, Semarang, tt. Hlm 31.
[18] Hasil wawancara dengan K.H. Busroni, K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni, ketiganya adalah badal (asisten mursyid) dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, sekaligus juga pengurus pusat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) di mana Habib Luthfi juga menjadi Rais Am-nya.
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Muhammad Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili, Kepribadian dan Pandangan, Penerbit Al-Anwar, Brebes, 2012, hlm. 21
[22] Tim Penyusun JATMAN, op.cit
[23] Abdurrahman Wahid, Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, dalam kumpulan tulisan Gus Dur, Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, LKIS, Yogyakarta, cetakan III, 2000, hlm.130-131
[24] http://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/10/21/kh-dalhar-magelang/
[25] https://sites.google.com/site/temonkds/project-updates/enteryourmessagetotheteamhere
[26] http://kyaiparakbamburuncing.blogspot.com/2011/12/profil-pon-pes-kyai-parak-bambu-runcing.html
[27] www.ath-thohiriyyah.com, website resmi Pesantren yang dirintis oleh K.H. Sami’un, kini diasuh oleh generasi ketiga.
[28] http://kangdjalil.blogspot.com/2011/01/syaikh-mahfudz-somalangu.html dan http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/05/riwayat-singkat-syekh-muhammad-kahfi.html
[29] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror), menantu K.H. Ma’ruf, serta K.H. Busroni dan K.H. Nurhadi Syafi’I, keduanya adalah badal mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan.
[30] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror), menantu K.H. Ma’ruf
[31] Wawancara dengan Kyai Busroni, Solo.

1 comment:

Unknown said...

Kang iftah dr narasumber panjenengan di artikel diatas, bisa dilengkapi oleh KH. Muhammad Ali (ponpes takmirul islam) beliau adalah salah satu murid simbah idris kacangan... Beliau juga mursyid Syadziliyyah...terima kasih