GENEALOGI KEMURSYIDAN THARIQAH SYADZILIYYAH DI SALA
Oleh Kang Iftah
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini
sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara
besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi
yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu
sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M)
merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq,
syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang
sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang
kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan
konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut
muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di
berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang
ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat
1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali
Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika
Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.
Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan
Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin
An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh
Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan
menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.[1]
Para sejarawan barat meyakini, Islam
bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama
Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang
kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas
itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah
yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak.[2]
Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak
bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja
muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para
wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten
kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu
disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan
ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan
Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh
berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah
Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.[3]
Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik
antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan
Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang
wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[4]
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan
Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante,
pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa
Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah lain yang
masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah
dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan
17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan
Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama
santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M),
penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan
ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan
mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah
Sammaniyyah.[5]
Seiring kepulangan santri Jawah yang
telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas,
berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki
kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat.
Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai
thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan
Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di
berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon,
Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek
kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan,
yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan
murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus
juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal
Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu
mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai
guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh
Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai
khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh
Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih
muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa
Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama
pengembara kelahiran Makkah.[6]
Selain thariqah-thariqah yang sudah
disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar
abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
(TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana
Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang
dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui
Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui
tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid)
itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah
air.[7]
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman
Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah
Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga
khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas),
dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak
mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo
dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai
Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah
Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [8]
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas
diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik
kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid kesayangannya, Habib Luthfi bin
Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara kemursyidan di Kedung Paruk
diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor, lalu diteruskan
adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H. Muhammad
bin Ilyas Noor.[9]
Selain mewariskan Thariqah
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah
kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya
adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat
yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik,
Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol,
Muntilan, dan Kyai Siroj,
Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul
Muthalib, Kaliwungu,
Kendal; Kyai Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H.
Idris Jamsaren, Solo. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama:
Kyai Ahmad, Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar
mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama
Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih
tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram,
yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[10]
Masih banyak lagi thariqah-thariqah
lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar
(keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang
bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang
baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah
Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para
alumnus Damaskus, Syiria[11].
Namun demikian, meski secara umum
thariqah terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada
beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak
pusat pengajaran thariqah yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama
sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Kota
Solo.
Pada masa keemasaannya, Kota Solo dan
sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah, dengan
beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahlith thariqah. Pada era
abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu K.H. Idris,
pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan K.H. Ahmad, pengasuh Pesantren
Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj,
Panularan, dan Kyai Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf
Mangunwiyoto, Jenengan; Kyai Abdul
Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai Idris, Kacangan, Boyolali.
Dari beberapa nama tersebut hanya Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id
Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan
guru murid. Setelah Kyai Idris Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang
kemenakan, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul
Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya.
Namun sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti,
seperti halnya mursyid-mursyid Thariqah Syadziliyyah lain di Solo dan
sekitarnya.
Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses
regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah thariqah
yang sangat ketat menjaga tradisi sanadnya.
Kemunculan Thariqah
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah
besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan
semakin menghebat pada masa daulah Bani
Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang
cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau
kelompoknya dan mengalahkan kepentingan
rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan”
yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan zuhhad.
Dua golongan pertama
memberontak dengan motivasi politik: merebut kekuasaan dan
jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk
mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan
kehidupan rohani. Mereka berpendapat
bahwa kehidupan rohani yang terjaga
dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki
dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri
dan dengki yang lahir karena perasaan
hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan
takut mati) itu pula yang belakangan
mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani
Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan
yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan
yang terbentang dari daratan Asia
dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.[12]
Gerakan para Zuhhad pada
mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata- mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk mencapai ridlo
Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya
oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan
rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan
lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat
ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah
(perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah
(tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Dengan isilah
lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai
dengan takhalli (mengosongkan hati dari
sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari
Allah SWT). Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim, yang
akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf atau sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di
akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah
sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat
aturan terentu bagi kaum sufi.
Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi
penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode
penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang
pertama lebih menekankan pada dzauq
(rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk
menyebut suatu pembimbingan
pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh
seorang guru musyid kepada muridnya. Pengertian
terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah
atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang
diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan
perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir
mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode
itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil
dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah,
Syadziliyyah,
Dasuqiyyah/Barahamiyyah,
Zainiyyah,
Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.
Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk
seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari
guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada
Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir
atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya
(murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.[13]
Mursyid mempunyai kedudukan
yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang
mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak
menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga
merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid
dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.[14]
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang,
sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang
terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus
dan suci.
Syaikh
Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang
bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang
sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna
suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’.
Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang
mursyid yang mempunyai maqam
(kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada
Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan
ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at)
dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu
kepada orang lain.[15]
Seorang
mursyid yang mu’tabar, diakui
keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin
menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para
muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap
muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak
mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya
adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah
memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru
mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada
Rasulullah SAW. [16]
Sementara
Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul
Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki
keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar
politik seperti para politisi.[17]
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam
urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam
hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan
pendidikan.
Di luar
urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini,
bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus
ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan
sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari
Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah.
Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan
Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh
mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.[18]
Selain
penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya
penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan
empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan
belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari
fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang
berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah
shufiyyah.
Karena
prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah
SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan
terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid,
tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid
kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada
seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat
banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal
sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya,
sehingga garis kemursyidannya pun terputus.[19]
Selain
Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan
mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia
juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi
yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan,
kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal
adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses
pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin
mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri,
secara mandiri.[20]
Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka
demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran,
bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Thariqah Syadziliyyah
Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan
Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah,
sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan
Maroko, pada tahun 593 H (1197 M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun
656 H (1258M).[21] Beliau
adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir
dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah).
Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah).
Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab
Qutul Qulub.
Syaikh Syadzili menjelaskan
pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara[22]
yang pokok, yaitu:
a. Taqwa
pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
b. Mengikuti
sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan.
c. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan
harapan) ketika berada di depan atau di belakang mereka.
d. Ridlo
terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak.
e. Kembali
kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka.
Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya dengan
dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti
Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al
Anwar dan sebagainya.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di
Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga
Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan
wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk
kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk di Pulau
Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi
bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal
thariqah mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.
Thariqah Dan Kemursyidan Syadziliyyah
di Solo
Sebagaimana telah dipaparkan di pendahuluan, bahwa Thariqah Syadziliyyah
diperkirakan telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung
Jati, Cirebon. Catatan lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa
Timur pada pengujung abad 18. Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh
Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah
Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi,
Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.[23]
Catatan dan bukti yang lebih jelas dan detail tentang penyebaran
Thariqah Syadziliyah di Jawa baru ada di abad 19, ketika para santri Jawa yang
sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah
air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang
mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab
Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain
belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi
Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan --atau
lebih tinggi-- dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad
Shalih.
Ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad
Nahrawi Muhtaram antara lain : K.H. Muhammad Dalhar Watucongol,
Muntilan, dan Kyai Siroj,
Payaman, Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul
Muthalib, Kaliwungu,
Kendal; dan Sayyid
Abdurrahman bin Ibrahim
Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III) Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul
Malik, Sokaraja, Banyumas.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan
itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya
Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga).[24]
Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara melalui jalur K.H.
Ahmad Ngadirejo, ijazah
kemursyidan kemudian diturunkan kepada K.H. Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada K.H.
Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H.
Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung)
Tulungagung. Saat ini
kemursyidan di PETA dipegang oleh K.H. Solahuddin (Gus Saladin), putra Kyai
Abdul Jalil Mustaqim.[25]
Selain mewariskan ijazah kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat
beberpa khalifah. Salah khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan
legendaris adalah K.H. Abdul Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid
Kajoran menghadap Kyai Mustaqim dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat
K.H.R. Muhaiminan Gunardo, Parakan Temanggung, sebagai khalifah Thariqah
Syadziliyyah menggantikannya.[26]
Dari jalur Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, ijazah
kemursyidan turun kepada K.H. Sami’un, pendiri pesantren Parakonje, Banyumas,
yang kini dilanjutkan oleh generasi keduanya, KH Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, Beji.[27] Sementara dari Jalur Kyai
Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu,
Kebumen, thariqah ini turun temurun diwariskan kepada putra-putranya Syaikh
Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi sesudahnya, K.H. Chanifudin dan
K.H. Musyaffa’ Ali.[28]
Sementara itu jalur kemursyidan Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed, pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren Jamsaren tumbuh pesat sebagai pusat
pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa Tengah bagian selatan.
Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran thariqah
Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren ini.
Sebelum wafat, Mbah Idris mewariskan ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada kemenakannya, K.H.R. Abdul
Mu'id bin Thohir, keturunan
Kyai Imam Rozi, salah seorang senopati Pangeran Diponegoro yang bergelar Singomanja. Ketika kemursyidan berada di tangan Kyai
Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor kethariqahan Jamsaren meredup,
hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran agama Islam terbesar di Solo.
Kyai Abdul Mu’id mendidik ribuan murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah
kemursyidan adalah putra tertuanya, K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya, Kyai Ma’ruf
diminta menjadi salah seorang ulama dan qadhi (hakim agama) di Keraton
Kasunanan Surakarta. Kyai Ma’ruf pun
kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang
kemerdekaan, Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar
thariqah Syadziliyyah di Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut
berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Barisan Kyai dan Sabilillah.
Selain menurunkan ijazah kemursyidan kepada
putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah kekhalifahan kepada K.H.
Soeratmo bin K.H. Amir Hasan, yang
lebih dikenal dengn nama Mbah
Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah dari Tempursari, Mbah
Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan,
yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.
Kyai Ma'ruf sendiri kemudian hanya sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi mursyid
yakni Kyai Shodiq Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai
Ma’ruf tidak menurunkan kemursyidannya kepada putranya, K.H. Djami’ul Abror. Beliau
lebih memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut thariqah, Syaikh Abil Hasan Ali
Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf berakhirlah garis kemursyidan
thariqah Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris Kacangan pun hanya memiliki
ijazah kekhalifahan yang tidak bisa diwariskan.[29]
Jika ditinjau dari tradisi regenerasi kemursyidan thariqah, keputusan
Kyai Ma’ruf untuk tidak lagi mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq
besar kemungkinan karena ketatnya Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran
thariqah yang menegaskan bahwa kemursyidan seseorang adalah kehendak Allah dan
Rasul-Nya, bukan atas kemauan sang mursyid sendiri. Hanya alasan menjaga
tradisi ini yang masuk akal sampai-sampai
hingga akhir hayatnya Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya sendiri menjadi
mursyid, meski dari segi kealimannya Gus Abror cukup memenuhi syarat. [30]
Bahkan dalam konteks tertentu, seorang mursyid pun tidak mengangkat
khalifah baru, ketika seorang khalifah wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika
diminta mengangkat pengganti Kyai Idris Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah
di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak karepku
lan karepmu, ning karepe sing duwe thariqah ora ngono kuwi.” (Itu
–mengangkat pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thariqah
tidak demikian.—garis silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis).[31]
Mengikuti tradisi keilmuan thariqah, murid-murid dari Syaikh Ma’ruf,
Jenengan, dan Syaikh Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai’at dan
suluk mereka kepada mursyid-mursyid thariqah Syadziliyyah lain yang saat ini
masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik justru mengibarkan bendera
kemursyidan sendiri.
[1] Van
Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.
[2] ibid., hlm.23.
[3] Ibid, hlm. 224.
[4] Meski
begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara
fisik dengan guru yang masih hidup,
terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang
sudah wafat. Proses ijazah thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat
Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah
Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005),
Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 162-163.
[5] Ibid,
hlm. 56-59
[6] Martin
Van Bruinessens, Loc.Cit. hlm. 20-21
[7] Martin
Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun
1997, hlm. 1-100
[8] Tim
Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah,
Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.
[9] Muhdhor
Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah
Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100
[10] Berbagai
catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh
tersebut, seperti : www.thohiriyyah.com; http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi;
dan sumber-sumber lain.
[11] Disebut
Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi
Ad-Darqawi. Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu
sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh
Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang
menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah,
Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal
Thariqah, LTN-JATMAN, 2005,
hlm. 31 dan www.wikipedia.org/wiki/shadhili
[12] Tim
Penyusun JATMAN, loc. Cit. hlm. 14
[13] Tim
Penyusun JATMAN, loc. cit. hlm. 22
[15] Syaikh
Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil
Ghuyub, Dar el-Fikr, Beirut, tt. hlm
[16] Ibid
[17] Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, Al-Lujjain
Ad-Dani fi Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani: Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani, dalam
Bulughul
Amani (terjemah manaqib dalam bahasa Jawa), Hasyim Putra, Semarang, tt.
Hlm 31.
[18] Hasil wawancara dengan K.H. Busroni,
K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni, ketiganya adalah badal (asisten
mursyid) dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, sekaligus juga
pengurus pusat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN)
di mana Habib Luthfi juga menjadi Rais Am-nya.
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Muhammad
Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili, Kepribadian
dan Pandangan, Penerbit Al-Anwar, Brebes, 2012, hlm. 21
[22] Tim Penyusun JATMAN, op.cit
[23] Abdurrahman
Wahid, Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, dalam kumpulan tulisan Gus
Dur, Kyai
Nyentrik Membela Pemerintah, LKIS, Yogyakarta, cetakan III, 2000, hlm.130-131
[24] http://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/10/21/kh-dalhar-magelang/
[25] https://sites.google.com/site/temonkds/project-updates/enteryourmessagetotheteamhere
[26] http://kyaiparakbamburuncing.blogspot.com/2011/12/profil-pon-pes-kyai-parak-bambu-runcing.html
[27] www.ath-thohiriyyah.com, website resmi Pesantren yang dirintis oleh K.H. Sami’un, kini diasuh
oleh generasi ketiga.
[28] http://kangdjalil.blogspot.com/2011/01/syaikh-mahfudz-somalangu.html dan
http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/05/riwayat-singkat-syekh-muhammad-kahfi.html
[29] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi
Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror), menantu K.H. Ma’ruf, serta K.H.
Busroni dan K.H. Nurhadi Syafi’I, keduanya adalah badal mursyid Thariqah
Syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya,
Pekalongan.
[30] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi
Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror), menantu K.H. Ma’ruf
[31] Wawancara dengan Kyai Busroni, Solo.
1 comment:
Kang iftah dr narasumber panjenengan di artikel diatas, bisa dilengkapi oleh KH. Muhammad Ali (ponpes takmirul islam) beliau adalah salah satu murid simbah idris kacangan... Beliau juga mursyid Syadziliyyah...terima kasih
Post a Comment