Thursday, March 12, 2009

Membaca Lagi Kitab Maulid

Madah Indah Untuk Rasulullah

Seiring perjalanan waktu, bermunculan kelompok yang mempertanyakan keabsahan maulid dengan segala syair pujiannya. Namun mayoritas ulama bersikukuh, Rasulullah memang layak dipuji setinggi langit, sebagaimana Allah telah memuji beliau dengan ungkapan teragung-Nya.

Rabi’ul Awwal segera tiba. Di berbagai tempat, umat Islam sibuk mempersiapkan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Dari yang akan menggelar acara besar-besaran dan berdurasi panjang seperti sekatenan di Solo dan Yogya, sampai yang cuma pengajian kecil-kecilan di rumah. Dari yang diikuti ribuan orang seperti maulidan di kediaman para habaib terkemuka, sampai yang cuma diikuti belasan orang di langgar kecil di kampung-kampung.

Meski bentuk acaranya beragam, ada satu mata acara yang nyaris sama di berbagai tempat : pembacaan maulid nabi. Setiap daerah mempunyai bacaan maulid favoritnya masing-masing. Di komunitas habaib, misalnya, yang selalu dibaca adalah Simthud Durar karya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Sementara pesantren-pesantren tradisional di Jawa Timur lebih akrab dengan Maulid Ad-Diba’i karya Syaikh Ali bin Abdurrahman Ad-Diba’i Az-Zubaidi. Maulid yang sama juga dibaca oleh sebagian habaib di Sampang, Madura.

Lain lagi tradisi di sebagian pesisir utara Jawa yang kalangan pesantren dan majelis taklim ibu-ibunya menggemari pembacaan Maulid Barzanji yang digubah oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji. Ada juga komunitas habaib yang membaca Maulid Burdah karya Imam Al-Bushiri seperti di Kauman, Semarang. Selain Al-Barzanji, sebagian warga Betawi juga ada yang membaca Maulid ‘Azabi karya Syaikh Ahmad Al-Azabi.

Belakangan di beberapa tempat juga dibaca Maulid Adh-Dhiyaul Lami’ karya Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz. Pembacanya rata-rata adalah alumnus Ma’had Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, yang memang diasuh oleh sang penggubah maulid kontemporer tersebut.
Pembacaan maulid Nabi SAW memang merupakan salah satu khazanah kebudayaan Islam yang luar biasa. Keindahan gaya bahasa karya para ulama ahli sastra yang terdiri dari natsar (prosa) dan nazham (langgam qasidah) itu bak rangkaian mutu manikam. Ungkapan-ungkapannya yang cantik menawan tak jarang menghanyutkan perasaan pembaca dan pendengarnya dalam samudera kecintaan kepada Rasulullah SAW.

Tak mengherankan dalam pembacaan maulid kerap kali dijumpai hadirin yang menangis haru. Tak jarang linangan air mata itu juga ditingkahi dengan histeria kerinduan kepada Sang Nabi Akhir Zaman tersebut. Pengaruh psikologisnya yang dahsyat inilah yang dulu diharapkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, raja dinasti Ayyubiyyah, saat pertama kali mencetuskan penyelenggaraan pembacaan maulid nabi.

Menggugah Semangat
Dikisahkan, ketika itu Shalahuddin gundah melihat semangat jihad umat Islam yang berada di titik terlemah. Padahal semangat itu sedang dibutuhkan untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Pasukan Salib. Melalui perayaan dan pembacaan maulid-lah pahlawan perang salib yang ditakuti oleh tentara Kristen itu berhasil menggugah kembali kesadaran semangat umat Islam. Berkahnya, Shalahuddin dan para mujahid yang dipimpinnya berhasil memenangkan perang Salib.

Upaya memelihara semangat dan ghirah keislaman itulah yang hendak ditonjolkan para ulama nusantara saat memperkenalkan dan melestarikan perayaan maulid nabi. Dampak psikologis pembacaan itu tentu juga berhasil di negeri ini, terbukti dari semakin maraknya acara-acara maulid serta dari semakin membanjirnya jumlah muhibbin yang mengikuti.

Namun sayang, seiring perkembangan waktu, keasyikan membaca maulid terusik. Beberapa kelompok yang menamakan diri pemurni aqidah ahlussunnah wal jamaah menggugat pembacaan maulid. Menurut mereka perayaan maulid nabi adalah amalan bid’ah dan pembacaan maulid sarat dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung kemusyrikan.

Dalam berbagai tulisan di internet, misalnya, kelompok yang didominasi penganut paham wahabi itu menyerang habis-habisan ritual maulidan. Tak hanya menuding, mereka juga menukilkan contoh-contoh syair yang kalimatnya dianggap terlalu berlebihan dalam memuji Baginda Nabi hingga cenderung menuhankan beliau.

Tak mau kalah, para pembaca maulid pun membuat pembelaan. Di antara yang menulis buku pembelaan terhadap maulid adalah Sayyid Muhammad Al-Maliki, ulama besar Al-Haramain yang wafat tahun 2004 lalu dan Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani, tokoh Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah Amerika Serikat.

Pembelaan dari tanah air juga tak kurang banyak. Yang paling baru dan cukup fenomenal adalah Habib Novel Alaydrus yang mengupas persoalan maulid secara khusus dalam jilid kedua buku serialnya yang laris manis yang berjudul Mana Dalilnya II.

Ada fenomena menarik dalam polemik perayaan maulid nabi tersebut. Pada awal kemunculannya di jagat maya, kelompok anti maulid menggunakan isu bid’ah untuk menyesatkan tradisi maulidan. Menurut mereka peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tidak mempunyai dasar yang kuat dalam hukum Islam, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Segera saja tudingan ini dijawab oleh ulama pengamal maulid dengan berbagai argumentasi dan dalil yang cukup meyakinkan. Ada sebagian yang menyatakan, tidak semua hal yang tidak diajarkan oleh Rasulullah hukumnya haram dilakukan. Apalagi jika tidak ada nash, ayat Al-Quran, yang melarangnya.

Contohnya yang paling mudah adalah pembukuan Al-Quran yang pada zaman nabi tidak pernah dilakukan, apalagi lengkap dengan tanda bacanya seperti sekarang. Bahkan Abdullah bin Mas'ud, seorang sahabat ahli qiraah, menyatakan, “Jangan beri titik maupun harakat pada Al-Quran.”
Tanda baca dan titik itu baru dibubuhkan pada huruf Hijaiyah dalam penulisan mushaf Al-Quran pada akhir abad pertama Hijri oleh Yahya bin Ya'mar (wafat sebelum 90 H/670 M). Sedangkan pemberian tanda baca fathah, kasrah, dhammah, dan sejenisnya (syakal), dibubuhkan beberapa waktu setelahnya.

Imam Ghazali, terkait masalah bid’ah ini, menyatakan, “Cukup banyak perbuatan baru (bid’ah) yang baik, seperti misalnya shalat Tarawih berjamaah di masjid selama bulan Ramadhan – yang merupakan salah satu bid'ah dari Khalifah 'Umar bin Khatthab. Itu merupakan bid'ah yang baik (bid'ah hasanah), yang tidak bertentangan dengan sunnah.”

Maulid Ala Rasulullah
Ada juga ulama yang dengan tegas menyatakan, anggapan bahwa Maulid adalah bid’ah tidak sepenuhnya benar. Sebab, jika ditelusuri lebih jauh akan ditemukan, Rasulullah SAW sendirilah yang pertama kali mencontohkan peringatan Maulid. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad disebutkan, ketika ditanya tentang alasan puasa beliau di hari Senin, Rasulullah SAW bersabda, “Di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula aku memperoleh wahyu.”

Dari hadits tersebut para ulama pengamal Maulid berhujjah, jika Nabi Muhammad SAW tidak ingin umatnya mengenang dan memuliakan hari kelahiran beliau, ketika ditanya tentang puasa hari Senin beliau hanya akan menjawab dengan hadits berikut, “Amal perbuatan itu dilaporkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku ingin amal perbuatanku dilaporkan saat aku dalam keadaan berpuasa.” (HR Tirmidzi).

Puasa merupakan salah satu cara terbaik untuk mengenang kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada cara lain untuk memuliakan hari kelahiran beliau. Oleh karena itu, dalam merayakan dan memuliakan kelahiran Rasulullah SAW, umat Islam memiliki cara berbeda-beda, sesuai kemampuan masing-masing.

Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi, Imam Suyuthi menulis, “Sesungguhnya kelahiran Rasululluh SAW merupakan nikmat teragung yang dianugerahkan Allah kepada kita, dan wafatnya beliau adalah musibah terbesar bagi kita. Syariat telah memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh, dan bersabar serta tenang dalam menghadapi musibah. Syariat juga memerintahkan untuk melakukan aqiqah bagi bayi yang lahir, sebagai perwujudan rasa syukur. Namun, ketika kematian tiba, syariat tidak memerintahkan untuk menyembelih kambing atau hewan lain. Bahkan syariat melarang untuk meratapi mayat dan menampakkan keluh kesah.”

Begitu juga dengan senandung pujian untuk SAW, yang sudah ada sejak beliau masih hidup. Usai Perang Tabuk, Sayidina ‘Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW, menemui Rasulullah dan berkata, “Aku ingin mengucapkan syair pujian untukmu.” Namun Nabi, yang memang enggan dipuji, berkata, “Semoga Allah menjaga gigimu dari kerontokan.”

Tanpa menghiraukan jawaban Nabi, Sayidina 'Abbas melantunkan syair yang menceritakan perjalanan hidup Nabi sejak sebelum lahir hingga saat-saat kelahirannya:

Sebelum terlahir ke dunia

engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan
engkau tersimpan di tempat yang aman
Kemudian engkau turun ke bumi
Bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging
tetapi nutfah yang menaiki perahu Nuh
Ketika banjir besar menenggelamkan semuanya
anak-cucu Adam beserta keluarganya
engkau berpindah dari sulbi ke rahim
dari satu generasi ke generasi berikutnya
Hingga kemuliaan dan kehormatanmu
berlabuh di nasab terbaik
yang mengalahkan semua bangsawan
Ketika engkau lahir
bumi bersinar
cakrawala bermandikan cahayamu
Kami pun berjalan di tengah cahaya
sinar dan jalan yang penuh petunjuk

“Oleh karena itu sungguh aneh jika ada orang yang menyatakan bahwa para sahabat tidak pernah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, padahal Sayidina Abbas pernah menyampaikan bait-bait syair tersebut di hadapan beliau dan sejumlah sahabat,” tulis Habib Novel Alaidrus, dalam bukunya Mana Dalilnya II. Inilah salah satu bentuk peringatan Maulid yang diselenggarakan – dan mungkin yang pertama kali – oleh para sahabat.

Batasan Kemanusiaan
Begitu kuat hujjah ketidak bid’ahan perayaan maulid hingga belakangan kelompok penentang maulid mengalihkan isunya pada ungkapan-ungkapan dalam syair maulid yang menurut mereke berlebihan bahkan cenderung mengandung kemusyrikan. Serangan itu pun kemudian dijawab dengan lugas oleh para ulama pecinta maulid.

Habib Novel Alaydrus,misalnya, menulis, “Mengapa? Di zaman sekarang, masyarakat kita – bahkan termasuk kaum muslimin sendiri – banyak yang memuja-muja artis, bintang film, pemain bola, dan tokoh-tokoh lain yang mereka idolakan. Tapi, mengapa tak seorang pun yang menuding hal itu sebagai syirik? Ada seorang suami memuja istrinya dengan kalimat melambung, tapi hal itu tidak bisa digolongkan sebagai musyrik dan berdosa. Sebab, ungkapan seperti itu semata-mata ungkapan rasa cinta.

Begitu pula halnya dengan pujian yang melambung bagi Rasulullah SAW – yang memang sudah selayaknya, mengingat akhlaq beliau yang mulia, sosok kepribadian beliau yang luar biasa sebagai contoh teladan yang baik (uswatun hasanah). Memang, Rasulullah SAW pernah melarang umatnya menyanjung dan memuja beliau. Tapi, larangan itu dalam konteks yang berbeda. Dalam sebuah hadits shahih, beliau bersabda, “Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR Bukhari dan Ahmad).”

Mengenai hadits tersebut, dalam beberapa kitab para ulama menjelaskan, sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah melarang umatnya memuji beliau. Yang beliau larang ialah pujian yang berlebihan seperti yang dilakukan oleh umat Nasrani kepada Nabi Isa, yaitu menempatkan Nabi Isa sebagai anak Tuhan. Inilah jenis pujian yang dilarang oleh Rasulullah SAW, dan inilah yang dimaksud dengan pujian yang berlebih-lebihan.

Terbukti, sejak hadits tersebut diucapkan hingga saat ini, tak seorang pun yang memuji Rasulullah SAW melebihi batasannya sebagai manusia. Tak seorang pun yang menuhankan beliau. Bahkan, semua pujian yang indah dan berbahasa sastra belum seberapa dibanding pujian Allah dalam Al-Quran. Dalam syair Burdah-nya, Imam Bushiri menulis:

Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas nabi mereka
Pujilah beliau sesukamu dengan sempurna
Sandarkanlah segala kemuliaan untuk dirinya
Dan nisbatkanlah sesukamu segala keagungan untuk kemuliannya
Karena sesungguhnya kemuliaan Rasulullah tak ada batasnya
Sehingga tak akan ada lisan yang mampu mengungkapkan kemuliaan itu

Pembelaan Ahli Sastra
Pembelaan juga datang dari seorang ahli sastra Arab, Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam, guru besar bahasa dan sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ilmuwan yang juga salah seorang rais syuriyyah PBNU itu mengatakan, “Yang pertama kali harus diingat, maulid adalah sebuah karya sastra Arab. Maka jika ingin membacanya secara kritis dan mendalam, seseorang harus menggunakan kaca mata sastra Arab. Dan menurut kacamata sastra Arab, maulid-maulid tersebut adalah maha karya yang sangat indah dan memiliki cita rasa seni yang tinggi.”

Adapun pujian yang terkadang dianggap berlebihan, tambah Kiai Chatib, dalam ranah sastra adalah hal yang biasa. Ini karena ketika menyusun sebuah karya sastra, seorang sastrawan biasa mengedepankan faktor rasa (athifah)-nya. Bisa perasaan benci, cinta, hormat, senang, sedih, takut, segan dan sebagainya. Perasaan itulah yang kemudian dituangkan ke dalam bait-bait syair.

Dalam konteks kitab maulid, jelas, yang terasakan oleh sang pujangga adalah sebuah kerinduan dan cinta kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Misalnya syair “Fi hubbi Sayyidina Muhammad, nurul li badril huda mutammam, dengan mencintai Muhammad, junjungan kita, menjadi sempurnalah cahaya purnama hidayah.”

Karya sastra juga pasti mengandung khayaliyyah (imajinasi). Dalam maulid, misalnya, sang pujangga membayangkan kehadiran pribadi Rasulullah SAW atau pertemuan dengan beliau. Imajinasi pertemuan dengan Sang Nabi Pilihan tentu akan memancarkan kekaguman yang luar biasa. Yang seringkali menghasilkan syair berbentuk tasybih (penyerupaan) bahkan majaz alias metafora.

Perumpamaannya adalah penyebutan Rasulullah SAW sebagai syamsun (matahari), badrun (rembulan) atau nurun fauqa nuri (cahaya di atas cahaya). Dalam bahasa Indonesia beberapa ungkapan majazi seperti ini juga dikenal, misalnya dalam kalimat “Pidatonya menggelegar seperti auman singa” atau “Kiai Fulan memang singa podium yang ditakuti”.

Ada juga bentuk khayaliyyah lain yang dinamakan kinayah yang berarti kiasan. Contohnya, syair “fa aghitsni wa ajirni, ya mujiru minas sa’ir, maka tolong dan selamatkan aku, wahai penyelamat dari neraka sa’ir” (Al- Barzanji). Maknanya tentu saja pengharapan atas syafaat nabi Muhammad yang memang bisa menghapus dosa. Jika dosa terhapus otomatis akan bebas dari api neraka. Syafaat nabi sendiri secara mu’tabar diakui oleh para ulama semua golongan. (Lebih lanjut tentang penjelasan Kiai Chatibul Umam, baca Box Wawancara I)

Hal senada juga disampaikan oleh K.H. Saifudin Amsir, ulama senior Betawi yang sejak muda sangat mendalami maulid. Menurut ulama yang juga dosen IAIN Ciputat itu dalam hal memuji orang lain melalui sastra, bangsa Arab memang sejak dulu dikenal sangat jor-joran.
“Kalo muji orang nggak pernah tanggung-tanggung. Sebab kalo nanggung, mendingan nggak muji sekalian,” ungkap Kiai Saifudin.

Dan perdebatan boleh atau tidaknya maulid sudah dimulai sejak abad pertengahan, dengan dipelopori oleh Ibnu Taymiyyah. Lucunya, tambah salah seorang rais syuriyyah PBNU tersebut, tokoh-tokoh anti maulid juga banyak melakukan hal-hal yang sama dengan maulid. Murid-murid Ibnu Taymiyyah seperti Ibn Qayyim dan Adz-Dzahabi, misalnya, banyak membuat diwan-diwan (syair pujian) yang ditujukan kepada tokoh lain semisal gurunya atau ulama sebelumnya, yang tak kalah dahsyat dari pada maulid.

“Pujian berlebihan terhadap Nabi SAW mereka haramkan, tetapi pujian berlebih terhadap umatnya mereka lakukan,” pungkasnya.

Pujian Allah SWT
Kalo mau ditelusuri secara lebih mendalam, pujian “melangit” terhadap Nabi Muhammad SAW sebenarnya justru diajarkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Salah satunya adalah dengan penyematan ismu tafdhil (bentuk penyangatan kata yang biasanya dijadiak nama atau sifat Allah) kepada Nabi Muhammad.

Misalnya, di akhir ayat 218 surah at-Taubah Allah Ta’ala menyifati Rasulullah dengan dua namanya, yakni Ar-Rauf dan Ar-Rahim. Dalam konteks Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang maha indah), Ar-Rauf berarti Dzat yang Maha Berbelas kasih atau Maha Pengasih dan Ar-Rahim bermakna Maha Penyayang.

Mengenai hal ini, Profesor Chatibul Umam menjelaskan, kata Ar-Rauf dan Ar-Rahim yang disematkan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai pujian dan pengakuan bahwa dalam hal berbelas kasih dan menyayangi sesama manusia khususnya orang mukmin beliau memang tak tertandingi oleh manusia manapun. “Tetapi tentu tidak se-Rauf dan Rahim Allah,” tambahnya.

Dalam khazanah khususnya tasawuf dan filsafat, guru besar yang telah menghasilkan ratusan karya tulis itu menambahkan, memang ada doktrin bahwa manusia memang bisa mempunyai sifat-sifat ketuhanan, meski tentu dalam kadar yang sangat berbeda. Pengertian ini sudah dimaklumi oleh para ulama.

Kaitannya dengan maulid, ketika seorang ulama ahli sastra memuji-muji Nabi Muhammad setinggi langit, sesungguhnya pujian itu tetap dalam batas maksimal kemanusiaan beliau. Bukan dengan tujuan menyerupakan apa lagi menyekutukan Allah. Terlebih, Rasulullah dengan segala keutamaan insani-nya sesungguhnya memang berhak mendapatkan kemuliaan dan pujian itu. (Kang Iftah, Jakarta, pernah dimuat di majalah Alkisah, edisi 06/2008)

3 comments:

limpato said...

terima kasih kang, atas paparannya

Unknown said...

Alhamdulillah, jadi lebih mengerti , Allahumma Sholli ala MUHAMMAD....

Unknown said...

Allahumma shalli ala Muhammad
Ya Rabb shalli alaihi wasallim..
Fi hubbi saiyidina Muhammad
Nuri llibadril huda mutammam...