WALISONGO DALAM KAJIAN GENEALOGI, KEILMUAN, SENI DAN BUDAYA
Oleh: Kang Iftah
Hingga permulaan abad ke-21 ini Indonesia masih
menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini bukanlah
sesuatu yang tidak istimewa, mengingat negeri ini, seribu tahun sebelumnya,
pernah menjadi kerajaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara. Bahkan di
masa itu, Kerajaan Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi agama Budha
terbaik dan terbesar di seantero dunia, Universitas Nalanda.
Uniknya, dalam proses perubahan besar ini nyaris tidak
ada setetespun darah tertumpah. Semua berjalan dengan damai dan penuh kasih
sayang. Tanpa paksaan sedikitpun proses Islamisasi berjalan dengan mulus. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di India yang
dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan --bahkan konon
sedikit pemaksaan dengan senjata.—oleh para raja muslim seperti Sultan Mahmud
Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat
ini India –terlebih setelah terbagi tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang
muslim— Islam tetap tidak berhasil secara massif menggeser Hindu sebagai agama
mayoritas masyarakat.[1]
Dan sejarah
mencatat, keberhasilan yang gemilang di Nusantara tersebut tidak lepas dari kharisma para tokoh penyebar agama Islam ke Nusantara, khususnya
Pulau Jawa sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yaitu Walisongo.
Meski banyak dikelilingi legenda yang kontroversial,
Walisongo diyakini oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, adalah
tokoh-tokoh nyata yang pernah menghiasi sejarah nusantara. Dibuktikan dengan
peninggalan-peninggalan bersejarah, baik yang bersifat artefak, berupa makam-makam yang hingga
kini masih ramai di ziarahi, sisa keraton dan masjid-masjid, serta karya seni
berupa tembang (lagu) dan dolanan (permainan) rakyat, juga ajaran dan sistem pranata sosial, maupun
yang tersurat dan tersirat dalam babad, serat, kidung, suluk, dan primbon. Baik yang ditulis di masa walisongo, maupun pada
masa-masa berikutnya. Hanya sayangnya berbagai peninggalan walisongo tersebut
dianggap tak cukup banyak menyajikan data yang argumentatif, ilmiah, dan
terperinci yang bisa menjadi bahan otoritatif penulisan sejarah walisongo yang
benar-benar akurat.
Makalah ini tentu tidak akan
cukup dan mampu mengupas tuntas fakta seputar walisongo, karena waktu, sumber
penulisan dan keterbatasan kemampuan penulis. Namun demikian, ada beberapa hal
sederhana yang ingin kami kaji di sini untuk sebagai bahan diskusi kita
mengenai Walisongo dalam perspektif peradaban Islam Nusantara, yaitu:
Siapakah
Walisongo, baik secara ketokohan, genealogi keturunan maupun keilmuan?
Apa saja karya Walisongo yang mempengaruhi peradaban Islam Nusantara?
Siapa Walisongo?
Walisongo, secara harfiah berarti sembilan orang wali.
Penggunaan kata wali, untuk menyebut para penyebar agama Islam di tanah Jawa,
sendiri mengindikasikan keterkaitannya yang erat dengan dunia tasawuf. Karena
kata “wali”, yang sering diartikan
kekasih Allah, merupakan istilah dalam khazanah spiritualitas atau sufisme.
Wali atau waliy berasal dari akar kata waliya-yawla
yang berarti dekat dengan sesuatu. Al-Waliyyu mengandung arti orang yang
memiliki kedekatan dengan Allah atau orang yang disayang Allah. Dalam bahasa
Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fa’il (subyek) dan Maf’ul
(obyek) sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki
kedua pengertian sekaligus tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai
Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau, bahkan, orang yang mencintai dan
dicintai Allah sekaligus. Imam
Al-Qusyairi mengatakan, Waliy memiliki dua pengertian. Pertama, orang
yang dengan sekuat tenaga berusaha menjaga hatinya agar tetap hanya bergantung
kepada Allah. Mereka ini yang seringkali juga disebut waliy salik.
Kedua, orang yang hatinya secara penuh berada dalam penjagaan Allah. Dalam dunia
sufi, wali-wali kelompok kedua ini dipercaya seringkali mengalami kefanaan
kesadaran (jadzab), sehingga sering disebut Waliy Majdzub.[2]
Ibnu Arabi, dalam kitab Futuhat Makiyyah,
menelusuri kriteria orang-orang yang dicintai Allah, waliy, dalam Al
Quran dan menemukan delapan kriteria kewalian. Pertama, orang yang hanya
mengambil Allah sebagai pelindungnya. Kedua, orang yang mencintai Allah dan
berusaha meniru sifat-sifat-Nya. Ketiga, orang yang senantiasa kembali kepada
Allah, bertaubat. Keempat, orang yang selalu berusaha mensucikan dirinya, lahir
dan batin. Kelima, orang yang selalu bersabar atas takdir yang ditetapkan
Allah.
Keenam, orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah.
Bagi para wali, musibah dan anugerah adalah sama-sama nikmat, karena keduanya
berasal dari Allah. Ketujuh,
orang yang selalu berbuat baik dan memperbaiki, muhsin. Kedelapan, orang
yang selalu menghadirkan Allah dalam hatinya, pada setiap detak jantung dan
hembusan nafasnya. [3]
Walisongo, terlepas dari ada atau tidaknya kedelapan
kriteria kewalian tersebuta, menurut sebagian sejarawan, adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara
terorganisir berjuang mengislamkan tanah Jawa. Maka tidak mengherankan jika
jumlah mereka tidak hanya sembilan, sebagaimana makna harfiahnya. Kata songo,
atau sanga yang bermakna sembilan, dalam tradisi jawa kuno sering digunakan
untuk menggambarkan sesuatu yang banyak. Sebagaimana ketika orang jawa menyebut
sebuah komplek dengan puluhan candi di pegunungan Ungaran Jawa Tengah dengan
nama Candi Songo, atau pada nama Sumber Songo dan Gedong Songo. Sementara Agus Sunyoto mengaitkan nama
Walisongo dengan islamisasi konsep Hindu Nawa Dewata (Sembilan dewa penjaga
semesta) dengan sembilan martabat kewalian ala Syaikhu-l-Akbar Muhyiddin Ibnu
Arabi dalam Futuhat Makiyyah.[4]
Sementara
terkait keanggotaan Walisongo, banyak sumber yang menceritakannya, tentu lengkap
dengan berbagai perbedaannya. Agus Sunyoto, misalnya, membagi Walisongo dalam
periodisasi berikut[5][5]:
Periode pertama datang dari Asia Tengah dan Campa, terdiri dari :
1. Syeh Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Kashan – Persia, dikenal sebagai ahli tata negara dan menjadi
penasihat para raja, pengeran dan menteri, wafat dan dimakamkan di Desa Gapura, Gresik tahun 1419.
2. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir atau Persia, berdakwah keliling dan melakukan riyadhah di gunung-gunung, wafat dan dimakamkan di Troloyo - Trowulan Mojokerto. Ada dua
pendapat mengenai tokoh ini: berasal dari Hadharamaut dengan nama asli
Jamaludin Al-Akbar Al-Husayni, keturunan dari Sayyid Muhammad Shahib Mirbath,
melaui Alawi ‘Ammil Faqih; dan dari Asia Tengah dengan nama asli Najmuddin
Al-Kubra yang dengan lidah jawa menjadi Najumadinil Kubra lalu Jumadil Kubra,
salah seorang tokoh tarekat Kubrawiyah.[6]
3. Syaikh Ibrahim Asmarakandi, berasal dari
Samarkand, Uzbekistan, namun lama bermukim di Campa dan diambil menantu oleh
Raja Campa. Ia datang ke Jawa bersama dua putranya (Raden Ali Rahmatullah dan
Raden Ali Murtadla), setelah sebelumnya singgah di Palembang mengislamkan Arya
Damar, Adipati Palembang, untuk menemui raja Majapahit, Brawijaya V yang
memperistri adik iparnya, Dewi Darawati. Meraka mendarat di perbatasan Tuban
dan Lamongan, namun syaikh Ibrahim lebih dulu wafat sebelum sempat menemui sang
raja.
4. Syaikh Hasanuddin,
asal Campa, ikut rombongan muhibah
Laksamana Cheng Ho lalu turun untuk berdakwah dan membuka pesantren di
Tanjungpura, Karawang, hingga wafatnya, yang lebih masyhur dengan julukan
Syaikh Quro’. Ia adalah guru dari Dewi Subanglarang yang kemudian diperistri
oleh Prabu Siliwangi dan melahirkan Pangeran Walangsungsang, Dewi Lara Santang
(ibu Sunan Gunung Jati) dan Raden Kian Santang.[7][7]
5. Syaikh Datuk Kahfi, berasal dari Samudra Pasai,
saudara sepupu Syaikh Siti Jenar, membuka pesantren dan wafat di Gunung Amparan
Jati Cirebon. Ia adalah guru dari Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara
Santang.
Periode kedua[8], terdiri dari :
1. Raden Ali
Rahmatullah berasal dari Cempa, diangkat menantu oleh bupati Surabaya, diberi tanah perdikan yang
kemudian dibangun pesantren di Ampeldenta Surabaya, dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya)
2. Raden Paku atau
Maulana Ainul Yaqin, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri
dan makamnya di Gresik
3. Raden Makhdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang bergelar Sunan Bonang,
berdakwah di pedalaman Jawa Timur (Kediri dan sekitarnya), Demak (Desa Bonang)
lalu pindah hingga wafat di Tuban.
4. Maulana Syarif Hidayatullah, bergelar Sunan Gunung Jati, putra dari Syarif
Abdullah di Mesir dengan Dewi Lara Santang (putri Prabu Siliwangi). Mendirikan
Kerajaan Cirebon, sambil berdakwah hinggawa wafatnya, Dimakamkan di Gunung
Sembung, Cirebon. Sunan Gunung Jati disebut-sebut dalam Serat Bale Rante-rante
pernah berguru tarekat Naqsyabandiyyah, Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke Timur
Tengah.[9][9]
5. Raden Usman Haji bergelar Sunan Ngudung, putra dari Sayyid Ali Murtadla
(Kakak Sunan Ampel), berdakwah di daerah Kudus, setelah gugur dalam perang
Demak-Majapahit, kedudukannya digantikan putranya, Sayyid Ja’far Shadiq yang
bergelar Sunan Kudus.
6. Raden Said atau
Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, kakeknya bernama Abdurrahman (Abdurrahim,
menurut versi Van Berg) bin Kourames,
seorang muballigh dari Tanah Arab keturunan dari Sayyidina Abbas bin
Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, yang setelah mengislamkan Bupati Tuban
dan diangkat menantu lebih dikenal dengan nama Aria Teja.
7. Raden Qosim atau Sunan Drajad, adik Sunan Bonang (putra Sunan Ampel), Lahir
di Ampel dan berdakwah di pegunungan Paciran, Lamongan.
8. Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, berdakwah di sekitar Kudus, Rembang, Pati dan
sekitarnya. Ketika wafat dimakamkan di puncak Gunung Muria, Colo, Kudus, Jawa
Tengah.
9. Raden Fatah, raja Demak pertama, putra dari
Prabu Brawijaya V. Meski ;ebih dikenal sebagai seorang Sultan, namun santri
Sunan Ampel ini juga rajin berdakwah. Ia dikenal sebagai Wali Nakbah, wali yang
memiliki tugas dan kewenangan tertentu. Raden Fatah melahirkan raja-raja Demak,
mendirikan keratin dan Masjid Agung Demak bersama para wali, dan ketika wafat
dimakamkan di samping Masjid Agung Demak.
Meski demikian banyak dan silih berganti, namun
anggota walisongo yang paling akrab di telinga masyarakat dan paling sering
menjadi obyek ziarah tetap saja sembilan. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga Sunan
Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Mereka inilah yang dianggap paling banyak meninggalkan
jejak sejarah di tanah Jawa. Termasuk beberapa tradisi keagamaan yang bercorak
sunni dan bermazhab Syafi’i. Bahkan Indonesia dan beberapa negara tetangganya
kemudian menjadi basis mazhab yang berasal dari Mesir tersebut.
Silsilah Walisongo : Nasab dan Keilmuan
Karena minimnya catatan sejarah yang dibuat pada masa hidup para anggota
walisongo, maka teori-teori tentang walisongo, terutama terkait silsilah nasab
dan keilmuan mereka dibuat oleh generasi-generasi sesudahnya. Bahkan kebanyakan
penelitian secara mendalam dilakukan pada masa penjajahan Belanda oleh para
orientalis. Salah satu yang paling banyak didiskusikan dan diperdebatkan adalah
mengenai asal-usul walisongo. Sekurangnya ada dua teori besar mengenai
asal-usul para walisongo:
1. Teori Arab[10]
Selain pendapat yang
menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat
lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur
penyebaran para mubaligh[11][11], bukan asal-muasal
mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi
yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
- L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset
pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans
l'archipel Indien (1886) mengatakan: “Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke
Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan
mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya.
Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar
itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh
pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): “Pada abad
ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah
masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat
dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar
Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab,
oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad
SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang
Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti
jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg
spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau
kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih
awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu
kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya. Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i,
sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar),
Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh
Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab
Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan
Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji,
beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya
hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu &
Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang
populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya
memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut
mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber
pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan
tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti
Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar
tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin
Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan
(atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad
Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal
sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia
Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama
Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak
lainnya.
2. Teori keturunan
Cina
Selain teori popular Gujarat dan Campa, ada juga teori kontroversial yang
menyebutkan bahwa walisongo adalah keturunan Tionghoa. Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah
keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa
Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan
hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui
sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa
diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila
dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.
Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji
sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail
dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th.
Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan
pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama
lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup
lengkap dalam tulisan Parlindungan.
Metode Dakwah Walisongo
Jika
ditanyakan, apa warisan terbesar Walisongo untuk Nusantara? Maka jawaban yang
paling mudah dan kongkrit adalah metode dakwah mereka yang secara massif
berhasil mengubah agama mayoritas masyarakat Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
NTB.. Metode dakwah, gaya komunikasi dan budaya yang terbangun darinya itu
belakangan menjadi ciri khas kaum muslim tradisional Indonesia yang diyakini
akan menyumbang peradaban damai bagi dunia masa depan.
Namun, bagi
kebanyakan masyarakat Indonesia, menggali kearifan metode dakwah ini bukan hal
yang mudah. Figur Walisongo, sebagaimana dikisahkan dalam babad
dan “kepustakaan” tutur, terlanjur
sering dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Seperti
kemampuan berjalan “sangat cepat” atau yang lazim disebut ilmu lempit bumi yang
sejak kecil dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri, ilmu
menembus bumi yang dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga, dan sebagainya.
Namun, sebagaimana dibahas secara mendalam dalam
Halaqah Politik Walisongo, di Asrama
Haji Sukolilo, Surabaya, Desember 2005, kesaktian sebenarnya dari Walisongo
adalah kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerpakan pola dakwah. Prof. DR.
Cecep Syarifudin, misalnya, berpendapat, ada empat jurus utama yang digunakan
Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam.
Empat jurus tersebut membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo
yang sekaligus sebagai bukti kebesarannya[12].
Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai
medan dakwah Walisongo waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan
keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa
adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara,
di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati
masyarakat.
Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal
masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan
membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan
tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.
Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan
sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul
masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak
lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab
dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan
para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang
tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang
tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali
–dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat
kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat
terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim).
Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat
berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut
tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya,
para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan
tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan
mewarnai dengan nuansa keislaman.
Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada
umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi
peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina
(hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya
hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan
nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan
dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara
keseluruhan.
Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence
(tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan
doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace
di hati umat Islam Jawa.
Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni).
Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah
kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan
sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil
apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing
pandum.
Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau
tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan
sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang
penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak
yang berarti.
Keempat, Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan
pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan
besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan
besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta
ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih
ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya
kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan.
Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan
memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang
diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang
kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa
menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan
kultural.
Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup
efektif dalam proses Islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab
pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu
berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of
Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali
Songo, telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat
mengikutinya.
Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V),
Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja
Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk
ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses
Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan
secara frontal.
Budaya dan Tata Nilai Warisan Walisongo untuk
Peradaban Nusantara
Selain metode dakwah masih banyak warisan lain dari Walisongo yang turut
membentuk peradaban Islam Nusantara. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pranata Sosial dan Nilai
Seperti lazimnya dakwah Islam di tempat lain, Islamisasi
di Jawa juga mendorong perubahan tata nilai di wilayah yang dimasukinya. Salah
satu tata nilai yang paling mendasar yang disusung oleh Islam adalah kesetaraan
setiap manusia di hadapan Allah, dan hanya ketakwaan yang menjadi tolok ukur
kemulyaan. Sebagai daerah yang semula menganut agama Hindu, masyarakat Jawa
telah terbiasa dengan sistem Kasta yang mengotak-kotakan mereka. Sekurangnya
ada empat kasta yang hidup di tengah masyarakat: Brahmana (agamawan), Ksatria
(bangsawan), Waisya (warga biasa) dan Sudra (budak).
Bukan hal mudah mengikis tradisi kasta ini,
terutama di kalangan bangsawan. Perjuangan penyetaraan umat manusia dan
penghapusan perbudakan yang dilakukan walisongo pun akhirnya masih harus
menerima kompromi dalam beberapa hal. Misalnya meski sudah tidak terlalu tajam,
namun sisa tradisi kelas masih terlihat dalam strata sosial muslim Jawa dengan
pembagian : Ulama (agamawan), Ningrat (Bangsawan) dan Rakyat jelata.[13]
Kelas ini kembali terbagi ketika penjajahan
dimulai. Rakyat jelata yang baru saja menikmati hilangnya strata sudra di
masyarakat kembali menjadi seperti budak di tangan para penjajah. Bedanya kali
ini ulama dan sebagian bangsawan berada di pihak mereka, menjadi pengayom dan
pelindung mereka dari kekejaman penjajah, sekaligus motor perlawanan melawan
penjajah..
b. Tradisi Keagamaan Champa
Bersamaan berdatangannya kalangan agamawan dan
migrasi besar-besaran umat islam dari Champa ke Nusantara, saat negeri Champa
diinvasi oleh Vietnam, ikut terbawa pula tradisi keagamaan dan budaya Champa ke
tanah air. Baik yang masih bercorak timur tengah, maupun yang sudah
berasimilasi dan berakulturasi dengan budaya lokal. Di antara tradisi yang
terbawa tersebut itu adalah[14]
- Tradisi peringatan harike-3, 7, 10, 30, 40, 100
dan 1000 kematian yang diisi dengan berdoa bersama.
- Kepercayaan terhadap hantu, dan alam jin
- Panggilan “emak” untuk ibu, “Kak” dan “Dik”
untuk saudara kandung, “eyang” kepada harimau.
- Acara selamatan atau kendurian pada momen-momen
yang dianggap penting atau sakral
Peninggalan Walisongo paling banyak, barangkali,
dalam khazanah kesenian dan kebudayaan, yang selain merupakan asimilasi dari
budaya lokal juga sangat kental diwarnai tradisi tasawuf. Di antara
peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seni wayang purwo yang lakonnya
telah diislamisasi, tembang dolanan anak, bedug di masjid, gamelan dan
sebagainya.
Jejak tradisi sufistik juga terlihat dalam
kesenian Debus di Banten, sekatenan di Solo dan Jokja, dan berbagai serat,
suluk, tembang serta primbon Jawa yang diadaptasi dari berbagai kitab tasawuf.
Juga dalam seni bangunan, yang menggabungkan tradisi arsitektur jawa dengan
member filosofi islami, seperti Masjid Demak yang atapnya berundak tiga, dan
tata letak bangunan utama pemerintahan yang terdiri dari alun-alun, masjid
agung dan pendopo.
d. Sistem Pendidikan Pesantren
Sering muncul pertanyaan dari mana asal sistem
pendidikan pesantren? Puluhan –bahkan mungkin ratusan— peneliti, baik
orientalis barat maupun timur dan lokal, mendatangi pesantren untuk mencari
jawabannya. Kalangan sendiri tidak banyak yang mampu menjawab secara tepat dan
terperinci mengenai jalur pewarisan sistem pendidikan dan keilmuannya.
Banyak versi yang dikemukakan para peneliti dan
penulis kepesantrenan, tentang asal muasal bentuk pendidikan ala pesantren.
H.J. De Graaf dan Th.G. Pegeaud, misalnya, menduga pesantren merupakan
islamisasi dari dua bentuk pendidikan kuno di Jawa oleh Walisongo, yakni
Mandala dan Ashram[16]. Belakangan pendapatan yang sama juga dikemukakan
Ahmad Baso, penulis serial Pesantren Studies yang mendasarkan pendapatnya pada
Kitab Tantu Panggelaran.[17]
Ada juga pendapat orientalis lain seperti F. Fokken
dan B.J.O. Schrieke yang menduga pesantren berasal dari desa-desa perdikan yang
oleh raja dibebaskan dari pajak dengan kompensasi tugas mandat tertentu seperti
menjaga makam keramat atau mengajarkan agama[18]. Namun pendapat terakhir diragukan oleh Martin
mengingat dari 211 desa perdikan di Jawa pada abad 19, hanya ada empat desa
yang di dalamnya terdapat pesantren yang dihidupi oleh penghasilan desa.
Sementara sebagian besar pesantren lainnya tidak terkait dengan status desa
perdikan tersebut.
Para peneliti barat menduga lembaga pesantren seperti
yang ada di abad 19-20 belum ada di awal-awal masuknya islam di Nusantara,
bahkan hingga abad ke-17 di Jawa dan abad 18 di Kalimantan dan Sulawesi.
Pesantren pertama yang paling lengkap perangkat, besar dan representatif yang
tercatat oleh orientalis adalah Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.
Pesantren inilah yang diyakini menelurkan alumni yang kemudian menduplikasi
sistem pesantren Tegalsari di berbagai tempat, baik daerah asalnya maupun
daerah lain tempat mereka berhijrah mendakwahkan agama.[19]
Mungkin yang dimaksud oleh para peneliti barat tersebut adalah pesantren
dalam bentuk dan perangkat pengajaran yang komplit dengan standar minimal
Pesantren Tegalsari Ponorogo, Jawa Timur di abad 18-19. Sebab Agus Sunyoto
dalam Atlas Walisongo-nya sudah menyebut-nyebut Pesantren Syaikh Quro’ di
Karawang yang hidup di abad 14 dan Pesantren Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di
sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung Cirebon pada awal abad 15, yang diantara
santrinya antara lain Pangeran Walangsungsang dan Dewi Lara Santang, putri
Prabu Siliwangi dari Putri Subanglarang (santri Syaikh Quro’), Pesanren
Ampeldenta-nya Sunan Ampel dan sebagainya.[20]
[1] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang
Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012,
hlm. 42-43
[2] Imam Qusyairi, Risalah Qusyairiyyah, ….
[3] Ibn Arabi, Futuhat Makiyyah, dikutip
dalam Makalah Prof. DR. Cecep Saifudin, yang disampaikannya dalam Halaqah
Politik Walisongo, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Desember 2005.
[4]Agus Sunyoto, loc.cit, hlm. 113
[5] ibid, hlm. 64-85
[6] Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, Cet. Ke-3, 1999, hlm.
235-245
[7]Selain ulasan panjang lebar di Atlas
Walisongo-nya Agus Sunyoto, keterangan tentang Pesantren Karang yang diasuh
Syaikh Quro juga disebutkan di : Martin Van Bruinessen, loc.cit, hlm. 224
[9]Martin Van Bruinessen, Loc.cit.,
224
[10] Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b.
Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan
yang berjudul Sejarah perkembangan
Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil
keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bangsa
Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh
Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat
al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams
al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat
pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
[11][11] Bukti bahwa Champa hanya transit
dipaparkan oleh Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongonya di halaman 24-27
[12][12] Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian
Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa, disampaikan dalam Halaqah
Politik Walisongo, Desember
2005, di
Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Laporan mengenai acara dan materi halaqah tersebut juga dimuat di
Majalah Alkisah, edisi 01/2006 yang terbit pada bulan Januari 2006.
[17][17] Lihat catatan kaki Ahmad Baso dalam buku
Pesantren
Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012, halaman 61-62