Saturday, August 15, 2009

Serial Tarekat II

Mursyid-mursyid Thariqah di Jawa Saat Ini

Setelah berkembang selama lebih dari enam abad, thariqah saat ini telah tersebar di seluruh nusantara. Pada awal abad dua puluh satu ini ribuan guru mursyid tinggal dan mengajarkan ilmunya di seluruh pelosok tanah air. Berikut sekilas profil lima mursyid yang mewakili tiga thariqah terbesar di tanah air: Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, Naqsyabandiyyah Khalidiyyah dan Syadziliyyah.

Tokoh pertama adalah Abah Anom. Kedudukannya sebagai seorang mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus ulama sepuh membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa-jiwa yang dahaga. Sebagai orang tua telah kenyang dengan asam garam kehidupan Abah Anom dengan arif menerima kunjungan tamu-tamunya, siapapun adanya dan apapun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas dipersembahkan untuk melayani umat manusia.

Belum lagi kemasyhuran pesantren Suryalaya sebagai tempat penyembuhan pecandu narkoba dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hidrotherapy, yang formulanya dirancang oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang diislamkan melalui mandi taubat, serangkaian shalat dengan dzikir ala Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program yang semula diniatkan untuk membantu program pemerintah tahun 1971 ini kemudian berlanjut terus dan dilembagakan dalam pesantren remaja Inabah.

Abah Anom yang sejak muda tidak makan daging dan selalu minum air putih itu adalah putra kelima KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dari istri keduanya Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan ayahnya untuk meneruskan kepemimpinan thariqah di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan pesantren orangtuanya, pada tahun 1930 Abah Anom memulai pengembaraan menuntut ilmu agama Islam secara lebih mendalam.

Diawali dengan mengaji ilmu fiqih di pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu alat dan balaghah di pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah dua tahun di Jambudipa ia melanjutkan mengaji pada ajengan Syatibi di Gentur Cianjur dan ajengan Aceng Mumu di pesantren Cireungas Sukabumi yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya pada 2 tahun berikutnya. Kegemaran akan ilmu silat dan hikmah kemudian diperdalam di pesantren Citengah Panjalu yang diasuh oleh Ajengan Junaidi, seorang ulama ahli ilmu alat dan hikmah.

Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh pesantren Suryalaya sampai beliau wafat pada tahun 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talqinnya, kemudian menjadi mursyid penuh Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh pesantren menggantikan Abahnya yang mulai sakit-sakitan.

Manajer Handal
Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu dibahunya di usianya yang baru menginjak 41 tahun, menenggelamkan Abah Anom ke dalam samudera riyadhah. Kecintaannya kepada pesantren, thariqah dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiyah dan doa.

Sepanjang sisa hidupnya Abah Anom hampir tidak pernah tidur, demikian cerita salah satu keponakan Abah Anom yang pernah mengabdi di rumahnya. Di luar kegiatan ibadah mahdlah, mengajar dan kunjungan, Abah Anom menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan dzikir khafi. Setiap kali kantuk menyerang, Abah Anom segera berwudhu dan shalat sunah lalu melanjutkan dzikirnya.

Selain berdzikir, Abah Anom juga seorang manajer yang handal. Di tangannya Suryalaya, yang dulunya pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah satu pesantren yang sangat disegani di negeri ini. Santri dan pengikutnya yang mencapai angka jutaan tersebar di seluruh Indonesia bahkan negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain sebagainya. Jumlah ini mencakup sekitar 3000 santri yang bermukim untuk belajar dan kuliah di lingkungan pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah serta jutaan ikhwan-akhwat Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN).

Kini di usianya yang semakin senja, Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi santrinya. Tubuhnya yang semakin renta tak lagi mampu mensejajari semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu beberapa tahun belakangan semua urusan pesantren dan thariqah diserahkan kepada 3 orang yang ditunjuk sebagai Pengemban Amanat, yang terdiri dari KH. Zainal Abidin Anwar, KH. Dudun Nur Syaidudin dan KH. Nur Anom Mubarok.

Namun demikian dengan sisa-sisa tenaga yang semakin melemah Abah Anom tetap bersikeras menerima semua tamu yang mengunjunginya dari berbagai pelosok tanah air, walau hanya sekedar dengan berjabat tangan. Juga diyakini, secara ruhaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya.

Tokoh mursyid ternama lain dari Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Indonesia adalah K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi, pemimpin Jamaah Al-Khidmah yang berpusat Kedinding Lor, Surabaya. Sebagai ciri khas, Kiai Asrori menambahkan kata Al-Utsmaniyyah di belakang thariqahnya yang merujuk kepada ayahandanya, K.H. Utsman Al-Ishaqi.

Kiai Utsman yang masih keturunan Sunan Giri itu adalah murid kesayangan dan badal K.H. Romli Tamim (ayah K.H. Musta’in), Rejoso, Jombang, salah satu sesepuh Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di negeri ini. Ia dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto. Sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), Kiai Utsman mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya, Sawah Pulo, Surabaya.

Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan diberikan kepada putranya, Gus Minan, sebelum akhirnya ke Gus Rori. Konon pengalihan tugas ini berdasar wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya. Di tangan Gus Rori jamaah thariqah tersebut semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Gus Rori memilih membuka lahan baru, yakni di Kedinding Lor yang dibukanya dari nol.

Keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Inilah yang menjadikannya didekati banyak pejabat dan juga kalangan selebriti. Jemaah tarekatnya tidak lagi terbatas pada para pencinta tarekat sejak awal, melainkan melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan tarekat.


Menyajikan Suguhan
Hebatnya, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, Gus Rori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Ia adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan tak jarang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Kini, ulama yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli tarekat. Karena kesibukannya dan banyaknya tamu, Gus Rori kini menyediakan waktu khusus buat para tamu, yaitu tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jemaah baru maupun jemaah lama, dilakukan seminggu sekali.

Ada tiga macam pembaiatan yang dilakukan Kiai Asrori, yaitu Bai’at bihusnidzdzan bagi pemula, Bai’at bilbarakah (tingkat menengah), dan Bai’at bittarbiyah (tingkat tinggi). Untuk menapaki level-level itu, tiap jemaah diwajibkan melakukan serangkaian zikir rutin sebagai ciri tarekat, yaitu zikir Jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan zikir khafiy (dalam hati) 1.000 kali tiap usai salat. Kemudian, ada zikir khusus mingguan (khushushiyah/usbu’iyah) yang umumnya dilakukan berjemaah per wilayah, seperti kecamatan.

Kunjungan ke tempat lain – sampai ke mancanegara – pada intinya acaranya sama, yaitu zikir. Sedangkan di kediaman Gus Rori sendiri diadakan dua minggu sekali. Minggu pertama untuk jemaah umum, sedangkan minggu kedua untuk kalangan khusus. Yang kedua ini menarik, karena yang hadir hampir kesemuanya orang Madura. Maka, ceramah dan lainnya berbahasa Madura.

Sementara itu di Jawa Tengah tokoh mursyid thariqah terbilang cukup banyak. Dari kalangan Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, misalnya, terdapat salah seorang tokoh besar yang sangat bersahaja. Dialah K.H. Muhammad Salman Dahlawi, pengasuh pesantren Al-Manshuriyah Popongan, Klaten. Ratusan ribu murid Mbah Salman saat ini tersebar di seantero Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur bahkan Sumatera.

Mbah Salman, demikian sang kiai akrab disapa, adalah anak laki-laki tertua dari K.H.M. Mukri bin K.H. Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari K.H.M. Manshur, pendiri pesantren yang sekarang ini diasuhnya. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.

Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh sang kakek, K.H.M. Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai awliya, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.

Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika pemuda-pemuada lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya,–mau tidak mau- Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid.

Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, K.H.M. Mukri.

Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,

Pesantren Sepuh
Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).

Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu.

Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.

Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai, yang bulan Ramadlan 1425 H lalu genap berusia 70 tahun menurut perhitungan hijriyah ini. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.

Selain Mbah Salman, ada juga tokoh mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Nangroe Aceh Darussalam. Namanya Teungku Dr. Muhibbudin Waly, putra dari Syaikh Muhammad Waly, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di tanah Rencong yang berasal dari nagari Minangkabau.

Dari garis ayahandanya, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Syaikh Muda Waly, mengalir darah ulama besar di Minang. Paman Syaikh Muda Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang wali Allah yang sangat termasyhur di tanah Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syaikh Muda Waly juga mewarisi kharisma dan karomahnya. Konon beliau pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap mata.

Syaikh Muda Waly, ayah Buya Muhibbudin adalah sahabat Syaikh Yasin al-Fadany Mekkah saat masih sama-sama berguru pada Sayyid Ali Al-Maliky, kakek dari Sayyid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky al-Maliky al-Hasany. Karena hubungan itu pula, ulama besar tersebut pernah mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Buya beberapa tahun lalu.

Pertemuan berikutnya dengan Syaikh Yasin al-Fadani juga tidak berbeda. Sambil terus memegang tangannya, Syaikh Yasin kemudian memberikan ijazah atas semua hadits Rasulullah yang dikuasainya.

Teungku Muhibbudin Waly belajar tarekat pertama kali dari ayahnya, yang membimbingnya meniti tarekat Naqsyabandiyah. Namun karena takzim, setelah dianggap cukup, Syaikh Muda Wali menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syaikh Abdul Ghoni al-Kampary.

Ahli Ushul Fiqh
Saat itu di pesisir timur utara pulau Sumatera, ada dua orang guru mursyid besar yang tinggal di daerah Riau. Keduanya termasyhur min jumlatil aulia, termasuk golongan wali-wali Allah, yaitu Syaikh Abdul Ghoni Kampar yang murid-muridnya kebanyakan adalah para ulama dan Syaikh Abdul Wahhab Rokan yang murid-muridnya adalah orang-orang awam.

Belakangan Buya Muhibbudin Waly juga mendapat ijazah irsyad, menjadi guru mursyid, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dari ulama kharismatik KH. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin (Abah Anom) pengasuh pesantren Suryalaya dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari guru besarnya Syaikh Muhammad Nadzim Al-Haqqany.

Silaturahmi dan selalu belajar kepada para alim ulama memang sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, bahkan hingga kini. Buya menceritakan nasihat ayahandanya, “Jika kau bertemu dengan orang alim, jangan pernah berdebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya lalu cium tangannya.”

Syaikh Muhibbudin Waly mengambil gelar doktornya di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo dengan disertasi tentang Pengantar Hukum Islam. Waktu kuliahnya terbilang singkat yang diselesaikannya tahun 1971.

Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir tahun 2004 lalu, Buya Muhibbudin Waly lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat, dan menulis. Saat ini ada beberapa buku tentang Tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi Tarekat yang diberi judul Kapita Selecta Tarekat Shufiyyah.

Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga buah kitab yang diharapkan akan jadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya. Tiga kitab tersebut adalah Tafsir Waly (Tafsir al-Quran), Fathul Waly (Syarah dari kitab Jauharatut Tauhid) dan Nahjatuh an-Nadiyah ila Martabat as-Shufiyyah (Sebuah kitab di bidang ilmu Tasawuf).

Sebagai pewaris darah pujangga-pujangga Minangkabau, kemahirannya dalam menulis syair pun tak perlu diragukan lagi. Belum lama ini beliau mengijazahkan syair tawasul tarekat, yang digubahnya sendiri dalam dua bahasa Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan tentang proses perjalanan suluknya, yang diselingi dengan doa tawasul kepada para pendiri tarekat-tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.

Kini, di usianya yang terbilang senja, Buya mengaku tidak lagi sekuat dulu dalam berkhidmah pada agama, nusa dan bangsa. Namun demikian beliau tetap berusaha melayani umat. Karena itu ia membagi jadwal kegiatan bulannannya menjadi tiga. Bulan pertama Buya tinggal di Jakarta, bulan kedua ia habiskan di Aceh dan bulan ketiga Tengku Muhibbudin melayani undangan ke daerah-daerah lain.

Selain kedua thariqah di muka, thariqah yang pengikutnya tak kalah besar saat ini adalah Thariqah Syadziliyyah. Menjelang akhir abad dua puluh lalu ada beberapa pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Jawa yang sangat besar, yaitu Pesantren Peta Tulungagung yang diasuh Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang yang diasuh K.H. Ahmad Abdul Haq, Pesantren Parakan Temanggung yang diasuh K.H.R. Muhaminan Gunardo, Pesantren Cibadak Pandeglang yang diasuh K.H. Dimyathi, Zawiyyah Kacangan dipimpin oleh K.H. Idris dan Kanzus Shalawat yang diasuh Habib Luthfi Bin Yahya.


Telah Wafat
Namun sayangnya, sebagian besar pengasuh itu telah wafat. Dan saat ini hanya tinggal Habib Luthfi dan K.H. Ahmad Abdul Haq saja yang masih hidup dan mengajarkan thariqahnya.

Habib Luthfi bin Ali bin Haysim Bim Yahya, misalnya, saat ini berkududukan sebagai Khalifah Thariqah Sadziliyyah sekaligus pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi pengikut tarekat yang anggota terbai’atnya mencapai 30 jutaan orang.

Habib Luthfi adalah sosok pelayan umat sejati. Setiap hari, rumahnya di kawasan Noyontaan Gang 7, Pekalongan, Jawa Tengah, selalu marak oleh tamu yang datang dari berbagai daerah di tanah air. Hampir 24 jam, pintu rumah ayah lima anak itu selalu terbuka untuk ratusan orang yang datang dengan berbagai keperluan. Mulai dari minta restu, mohon doa dan ijazah, sampai konsultasi berbagai problematika kehidupan. Biasanya mereka akan merasa tenang setelah mendapat nasihat.

“Habib, suami saya terkena penyakit liver dan hatinya tinggal 20 persen yang berfungsi. Saya mohon Habib mendoakan suami saya,” kata seorang ibu suatu ketika sambil terisak.

Dengan lembut, Habib Luthfi menghiburnya, “Ibu, tidak ada penyakit yang bisa mematikan seseorang. Semua itu berada di tangan Allah. Karena itu berdoalah. Tak ada yang mustahil bagi Allah, semuanya mungkin.”

“Mereka kan tamu saya, sudah menjadi kewajiban saya untuk menghormati tamu. Karena itu, saya selalu terbuka,” demikian jawab Habib Luthfi ketika ditanya tentang para tamunya.

Selain melalui konsultasi yang waktunya nyaris tanpa batas, Habib Luthfi juga menularkan ilmunya melalui majelis taklim yang digelar seminggu dua kali. Selasa malam, ba’da Isya’, Habib Luthfi membacakan kitab Ihya Ulumiddin. Keesokan paginya, pukul 06.00 – 07.30 Habib Luthfi mengajarkan kitab fiqih Taqrib untuk kaum hawa.

Selain kajian mingguan, setiap ba’da Subuh hari Jumat Kliwon, Habib Luthfi juga membacakan kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’. Di antara tiga majelisnya, pengajian malam Rabu dan Jum’at pagi itulah yang selalu dihadiri ribuan umat hingga menutup jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Meski banyak mengkaji tasawuf, majelis taklim tersebut terbuka untuk siapa saja. Untuk memasuki tarekat, menurut sang Habib, seseorang harus mengerti tauhid dan fiqih terlebih dahulu. Dalam tauhid, misalnya, minimal calon pengikut tarekat harus mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil, dan yang jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Dalam fiqih, ia harus tahu semua perintah oleh Allah, terutama shalat lengkap dengan syarat kelengkapannya, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Ia juga harus memahami perkara yang halal dan yang haram, yang diperintahkan dan yang dilarang.

Dengan demikian, seseorang tidak boleh memasuki tarekat begitu saja tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syaratnya, terutama bidang syariat. Karena, pada dasarnya tarekat adalah cara bagaimana membuahkan syariat, sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi ath-Thariqatu natijatusy-syariah (tarekat adalah buah dari syariat).

Bersilaturahmi dan mengaji kepada Habib Luthfi, baik secara langsung maupun melalui buku karyanya, memang menyenangkan. Pribadinya mencerminkan keluwesan dan keleluasaan khas ulama tradisional. Kedalaman ilmunya juga dipadu dengan keluasan wawasan keumatannya, sehingga setiap kalimat mengalir dengan lancar dan penuh hikmah. Beberapa orang juga meyakini, Habib Luthfi sebagai sosok yang waskita, atau dalam bahasa jawa weruh sak durunge winarah, alias mengetahui hal yang belum terjadi.

Ditempa Para Wali
Tentu saja semua keistimewaan itu tidak datang dengan tiba-tiba. Beberapa ulama besar yang termasyhur sebagai waliyullah telah ikut menempanya sejak kecil. Sebut saja Habib Ahmad bin Ismail Bin Yahya dan Habib Umar bin Ismail Bin Yahya alias Abah Umar, seorang waliyullah yang tinggal di desa Panguragan, Arjawinangun, Cirebon, yang mengasuh Habib Luthfi kecil ketika ia tinggal di desa itu. Dari tokoh eksentrik itulah untuk pertama kalinya Habib Luthfi mempelajari ilmu kehidupan.

Selain itu Habib Luthfi juga pernah berguru kepada Habib Syekh bin Abu Bakar bin Yahya (Cirebon) dan Mbah K.H. Muhammad Bajuri (Indramayu). Puncaknya, Habib yang piawai memainkan alat musik organ dan sering menggubah lagu itu mendalami tarekat Syadziliyyah kepada Al-Habib Muhammad Abdul Malik bin Ilyas Bin Yahya, alias Mbah Malik. Setelah beberapa tahun berguru kepada waliyullah yang tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah, itulah Habib Luthfi memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Syadziliyyah.

Kedudukan sebagai pimpinan kaum tarekat di tanah air, memang membuat Habib Luthfi didekati semua kalangan. Ia juga sering dikunjungi para guru mursyid dari berbagai negara, seperti Syaikh Hisham Kabbani, mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika Serikat dan Syaikh Muhammad Al-Ya’qoubi, mursyid Tarekat Syadziliyyah dari Damaskus, Syiria. Dalam pertemuan antar mursyid tersebut, di samping saling berkisah tentang aktivitas dakwah masing-masing, biasanya mereka juga salang meminta ijazah atas sanad keilmuan yang dimiliki. (Kang Iftah, Januari 2008)

5 comments:

Mas Karim Djamudin said...

Terima kasih atas segala rentetan dan kronologi serta uraian kang Iftah atas masalah ini. Dengan begitu saya menjadi semakin terbuka atas perkembangan tharekat di Nusantara. Saya dari Arjawinangun, Cirebon. Kini menetapa di Kutai Timur, Kaltim. Saya dulu mengaji di Kang Rofik di suraunya Mbah Khatab dekat masjid Al-'Ithisom, Jungjang, Arjawinangun.

Unknown said...

Sama2 Kang.. saya juga senang tulisan saya bisa bermanfaat bagi akang.

Bahry STAINU Jakarta said...

kang, minta alamat pondok pesantren tarekat di jawa tengah dong....

Bahry STAINU Jakarta said...

kang, minta alamat pondok pesantren tarekat di jawa tengah dong....

Unknown said...

Kang Bahry, alamat yg terperinci bisa ditanyakan di kantor Idarah Aliyah JATMAN di lt. 3 Gedung PBNU 2 Matraman. Sampean kuliah di STAINU Jakarta khan...? yg S1 apa S2..? kalo kebetulan yg berkampus di PBNU 2 khan enak tinggal turun satu lantai