Sejarah Perkembangan Thariqah Di Indonesia
Berdakwah Dan Berjuang Melalui Dzikir
Dengan semangat dzikir kaum thariqah
berjuang mengislamkan nusantara dan mempertahankannya dari upaya penjajahan
bangsa-bangsa Eropa. Dan kini, melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah kaum tarekat Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa.
Dalam hal nasionalisme dan
pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah memang bisa diacungi jempol.
Betapa tidak. Perjalananan panjang sejarah kebangsaan negeri ini telah mencatat
dengan tinta emas kiprah kaum thariqah. Tak hanya sibuk mendidik umat dengan
dzikir dan keluhuran akhlak, mereka juga berada di barisan terdepan pejuang
yang berjibaku mempertahankan tanah air tercinta dari upaya penjajahan bangsa
asing. Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah
juga diakui sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan
nilai-nilai sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak
mengherankan jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah
satu khazanah umat Islam yang mendunia.
Tengok saja fenomena Thariqah
Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad
Hisham Kabbani Al-Hasani asal Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang
perkenalkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal
Damaskus, Suriah. Meski perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat
signifikan di berbagai negeri-negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat
Islam di negeri-negeri yang sejak lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek
moyangnya.
Di Indonesia sendiri aktivitas
thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Berbagai
riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan oleh para sejarawan, baik
lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para penganut thariqahlah yang
telah membawa agama tauhid ini masuk ke nusantara. Menilik sejarahnya yang
panjang, tak mengherankan jika saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah mengklaim bahwa jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara
35 -40 jutaan orang.
Rentang waktu yang telah dilalui
kaum thariqah yang membentang melintasi puluhan generasi tentu merupakan obyek
yang menarik untuk dikaji. Sebab dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan
mempunyai andil besar dalam dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut
sekelumit kisah masuk dan berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut
keterlibatannya dalam jatuh bangunnya bangsa ini.
Serat Banten
Islamisasi nusantara secara
besar-besaran terjadi pada awal abad 14, bersamaan dengan masa keemasan
perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran
thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang
memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu
diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang
habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf falsafi adalah
ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid, akhlaq dengan
filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul dan ittihad,
yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal sebagai paham
wahdatul wujud.
Karena bertentangan dengan doktrin
umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi sangat berdarah-darah. Aksi-aksi
kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut kemarahan jumhur ulama dan
penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid
Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan dihukum mati.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan
konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut
muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di
berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang
ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin
Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh
Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal
Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah
Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase
pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad
Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan
Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut
belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah
air.
Para sejarawan barat meyakini,
sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara
yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua
agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu
dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang
dibawa para wali.
Salah satu referensi keterkaitan
para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten
kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu
disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan
ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan
Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh
ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.
Untuk menguatkan cerita tersebut,
Serat Banten Rante-rante juga mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang
sama juga belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh
penyebar Thariqah Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh
Jamaluddin Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul
Wahhab Asy-Sya’rani. Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat
Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang
pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah ke tanah Jawa.
Faham Wahdatul Wujud Thariqah
lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah
dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan
17 secara susul menyusul. Thariqah yang pertama kali masuk adalah Qadiriyyah
yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski
meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke
negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan
thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid
utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah
Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal
Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.
Meski berbeda thariqah, guru dan
murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul
wujud. Ajaran itulah yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang
menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha
kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main.
Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga
berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para
pengikutnya.
Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya
diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda
yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa
Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan
Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad
Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah
mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang
kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk
kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar.
Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu
diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.
Tokoh lain yang hidup semasa dengan
Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim
Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf
Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke
Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan
Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan
Khalwatiyyah.
Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu
mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah
lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah
Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali
mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri
kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten
sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya.
Karena simpati dengan ketulusan
perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian diangkat menantu Sultan Ageng
Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda,
Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang mertua. Ia membangun basis pertahanan
di sekitar Tangerang.
Membela Penjajah
Namun sayang, karena Sultan Haji,
raja Banten berikutnya lebih cenderung membela kepentingan penjajah, perjuangan
Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683.
Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada
tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu
ia menghabiskan sisa usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga
kini masyarakat Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan
kebanggan mereka.
Abad enam belas dan tujuh belas
memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada
abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal
dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu
agama. Bahkan saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang
terbesar dibanding dari dari negeri-negeri muslim lain.
Para santri Jawah itu hidup dalam
satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri lain. Karena
kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior
lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup
matang barulah mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian,
sebagaimana yang dilakukan para pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu
syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi
terkenal di kota itu. Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada
abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah
Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam
Baginda Nabi Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan
perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan
Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun
sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal
sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.
Karena kehebatan karamahnya,
thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera saja tersebar luas di
nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh
Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang
mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu. Berkat Syaikh Abdul
Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di
Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan
Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan
Saudi Arabia, Jeddah. Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang
kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah
Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumatera Selatan, bahkan sampai
pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga
ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap
usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.
Thariqah ini juga menjadi alat
pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran penjajah pada
tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra setempat dikisahkan, sekelompok pengikut
thariqah yang mengenakan pakaian serba putih dan menyandang senjata tampak
berzikir dengan keras hingga mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa
gentar mereka menyerbu dan mengobrak-abrik barisan tentara Belanda.
Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani
sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat
Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih
berganti.Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah
suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas
di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang
dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang
merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Bermodal Kesaktian Jejak Thariqah
Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang
tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau,
Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang
mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town,
Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan
murid-muridnya.
Pada mulanya ilmu kebal debus
diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang murid-muridnya dalam
menghadapi penjajah. Tak heran pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai
daerah yang digelorakan oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang,
pertempuran lain melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga
tercatat pernah meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888)
dan Lombok (1891).
Dua pertempuran yang disebut
terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal
Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu
mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai
guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh
Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib
Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di
Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar
dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di
nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur.
Setelah Syaikh Abdul Karim wafat,
kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai
daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua
abad dua puluh, terdapat setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa
: Rejoso (Jombang – Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly,
Mranggen (Demak –Jawa tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya –
Jawa Barat) dipimpin oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat)
dipimpin oleh Kiai Tohir Falak. Keempat tokoh besar TQN itu kini telah wafat.
Namun hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasuhnya, kepemimpinan
thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat pengajaran
lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi.
Di Jawa Timur, misalnya, Kiai
Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai ditinggalkan pengikutnya.
Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan Aly dari Tebuireng.
Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur dipegang Kiai Utsman
Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang legendaris, K.H. Asrori
A-Ishaqi. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai Muslikh yang kharismatik,
kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur surut. Hal yang sama juga terjadi
di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang sempat berjaya pada masa kepengasuhan
Abah Falak.
Selain thariqah-thariqah yang sudah
disebut di muka, masih banyak lagi thariqah besar yang masuk ke nusantara pada
pertengahan abad 19. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah
Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh
Maula Khalid Al-Baghdadi.Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip
Martin VB dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali
pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura.
Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula
Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh
tanah air.
Perang Paderi
Di Minang, para pengikut
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin Cangking sempat
terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan.
Para penganut Naqsyabandiyyah yang menganggap diri mereka pembaharu mengecam
kaum konservatif di Ulakan, yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari
sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan
melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol. Cerita
seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah
belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli.
Pemicuya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan
pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim
tradisionalis di kawasan itu. Wallahu a’lam bish shawwab.
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman
Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah
Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga
khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja
(Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).Khalifah pertama
hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas
diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto, lalu oleh Habib Luthfi
Bin Yahya, Pekalongan. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo
dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai
Salman Dahlawi dan muridnya Kiai Arwani Amin Kudus.
Selain mewariskan Thariqah
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah
kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya
adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat
yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul
Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar
Watucongol, Muntilan, Magelang, K.H. Ahmad Ngadirejo (Klaten/Solo?) dan K.H.
Idris Jamsaren, Solo. Ketiganya memliki mata rantai yg sama: Kyai Ahmad,
Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi
Muhtarom Al-Makki dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Mazdhab Hanafi.
Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah
kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih Mufti Al-Hanafi.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan
itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya
Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga). Sayang ketiga
pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara dari Mbah Idris
Jamsaren, ijazah kemursyidan itu diturunkan kepada K.H.R. Abdul Mu'id
Tempursari, Klaten, kemudian diteruskan oleh putranya K.H.R. Ma'ruf
Mangunwiyoto yg bermukim di kampung Jenengan, Solo. Mbah Ma'ruf sendiri tidak
menurunkan kemursyidannya kepada siapa pun.
Selain kepada putranya, Kyai Ma'ruf,
Kyai Abdul Mu'id Tempursari juga memberi ijazah bai'at kepada K.H. Soeratmo bin
K.H. Amir Hasan, yg akrab disapa Mbah Kyai Idris Kacangan. Selain mendapat
ijazah dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazah
kemursyidannya dari K.H. Abdul Razaq Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah
kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.Melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo,
kemudian K.H. Abdul Rozaq Tremas ini, Thariqah Syadziliyah juga diturunkan
kepada K.H. Mustaqim Tulungagung. Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian
dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Peta
(Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung.
Dan pada akhir abad dua puluh, pusat
pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di beberapa pesantren :
Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya Kiai Abdul Jalil Mustaqim,
Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai Muhammad Abdul Haqq bin
Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan Temanggung oleh Kiai Muhaiminan
Gunardo, dan Pesantren Cidahu Pandeglang oleh Abuya Dimyathi.
Selain di beberapa pesantren
tersebut, pengajaran Thariqah Syadziliyyah juga diberikan oleh guru mursyid non
pesantren. Yang terkenal di desa Kacangan Boyolali oleh Kiai Idris dan –yang
terbesar-- di Noyontakan Pekalongan yang diasuh oleh Habib Luthfi bin Ali bin
Hasyim Bin Yahya. Namun sayangnya saat ini hanya tinggal Habib Luthfi saja yang
masih hidup, sementara yang lain telah wafat sepanjang satu dasa warsa lalu.
Yang menarik, meski baru tersebar
luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah Syadziliyyah sudah masuk negeri
ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir abad 18. Pembawanya adalah Syaikh
Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah
Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi,
Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.
Ijazah Dari Rasulullah
Thariqah besar lain yang ikut
mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan
oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena
usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun
1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah
At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.
Di negeri ini kehadiran Thariqah
Tijaniyyah sempat mengundang polemik, karena pendirinya mengaku mendapat ijazah
langsung dari Rasulullah dalam keadaan sadar dan thariqahnya menyempurnakan
serta menutup thariqah-thariqah lain. Meski sempat ditentang oleh ulama
thariqah lain, Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren
Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam,
istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh
Indonesia. Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh
dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun
yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali
songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di
penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah.
Masalah kemu’tabaran itu memang
selalu menjadi isu krusial dalam dunia thariqah, karena dengan menyandang
status mu’tabar suatu thariqah diakui ketersambungan sanadnya sampai kepada
Rasulullah. Kemu’tabaran suatu thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya
dari pengaruh ajaran metafsik lain yang menyesatkan. Untuk menjaga kemurnian
dan kemu’tabaran ajaran thariqah-thariqah tersebut, sejak tahun 1979, pada
muktamarnya ke-26, warga Nahdlatul Ulama membentuk Jamiyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, badan otonom NU yang melaksanakan mandat warga
nahdliyyin seputar dunia pertarekatan. Dan saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah telah mengakui kemu’tabaran empat puluh empat
thariqah di Indonesia.
Dari organisasi ini diharapkan akan
semakin banyak kemanfaatan lahir dan tersebar di nusantara, dari kaum thariqah.
Sebagaimana selama ini insan thariqah telah membuktikan jati dirinya melalui
dakwah, dzikir dan perjuangan merebut kemerdekaan. Semoga!. (Kang Iftah,
Januari 2009)
Sumber : Martin VB (Tarekat
Naqsyabandiyyah di Indonesia dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat), dan
beberapa sumber lain.