Monday, June 25, 2007

Hikmah

BERTINGKAH SEPERTI TUHAN
.
Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan.

Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai akidah dan tasawuf. Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Jawaban dari sang kiai membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya sambil tersenyum.

Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid.

Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.”

Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya, seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa.

Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan- setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang, pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali.

“Sekarang semakin banyak kepala keluarga yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya lalu merasa telah memberi rizki. Seorang majikan, karena telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,” terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya. Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.

Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika kontemporer. Dalam rangkaian sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS. Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah ruah.

Namun di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, bagi manusia adalah ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh makhluk.

Ibn Athailah Assakandary mengajarkan,
“Allah ta’ala melarang kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah Pengasuh semesta alam.” (Kitab Al-Hikam)
.
Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid, perlucutan tauhid dari selainnya, terutama Tauhid Rububiyah, keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan mengayomi alam semesta. Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja. Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun. (Kang Iftah, Jakarta 2005)

No comments: