Thursday, March 29, 2007

Wali Songo


Mengembalikan Kesaktian Sang Wali Pendakwah

Proses Islamisasi tanah Jawa tidak terlepas dari peran Walisongo, sembilan wali. Dengan kesaktiannya yang dahsyat proses Islamisasi berjalan dengan mulus, damai dan tanpa gejolak.

Hingga penghujung abad ke-20 dan permulaan abad ke-21 ini Indonesia masih menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tidak istimewa, mengingat negeri ini, seribu tahun sebelumnya, pernah menjadi kerajaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara. Bahkan di masa itu, Kerajaan Sriwijaya pernah memiliki perguruan tinggi agama Budha terbaik dan terbesar di seantero dunia, Universitas Nalanda.

Uniknya, dalam proses perubahan besar ini nyaris tidak ada setetespun darah tertumpah. Semua berjalan dengan damai dan penuh kasih sayang. Tanpa paksaan sedikitpun proses Islamisasi berjalan dengan mulus. Keberhasilan yang gemilang tersebut tidak lepas dari kharisma tokoh penyebar agama Islam ke Nusantara, khususnya Pulau Jawa sebagai pusat Kerajaan Majapahit, Walisongo.

Meski banyak dikelilingi legenda yang kontroversial, Walisongo diyakini oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, adalah tokoh-tokoh nyata yang pernah menghiasi sejarah nusantara. Dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah, baik yang bersifat fisik, berupa makam-makam yang hingga kini masih ramai di ziarahi, sisa keraton dan masjid-masjid, serta karya seni berupa tembang (lagu) dan dolanan (permainan) rakyat, maupun yang tersurat dan tersirat dalam babad dan prosa karya pujangga keraton sesudahnya.

Salik dan Majdzub
Walisongo, secara harfiah berarti sembilan orang wali. Penggunaan kata wali, untuk menyebut para penyebar agama Islam di tanah Jawa, sendiri mengindikasikan keterkaitannya yang erat dengan dunia tasawuf. Karena kata “wali”, yang sering diartikan kekasih Allah, merupakan istilah dalam khazanah spiritualitas atau sufisme.

Wali atau waliy berasal dari akar kata waliya-yawla yang berarti dekat dengan sesuatu. Al-Waliyyu mengandung arti orang yang memiliki kedekatan dengan Allah atau orang yang disayang Allah. Dalam bahasa Arab, terkadang ada satu kata yang memiliki makna fa’il (subyek) dan maf’ul (obyek) sekaligus. Demikian pula dengan kata waliy yang memiliki kedua pengertian sekaligus tersebut. Ia bisa berarti orang yang mencintai Allah, atau orang yang dicintai Allah, atau, bahkan, orang yang mencintai dan dicintai Allah sekaligus.

Imam Al-Qusyairi mengatakan, Waliy memiliki dua pengertian. Pertama, orang yang dengan sekuat tenaga berusaha menjaga hatinya agar tetap hanya bergantung kepada Allah. Mereka ini yang seringkali juga disebut waliy salik. Kedua, orang yang hatinya secara penuh berada dalam penjagaan Allah. Dalam dunia sufi, wali-wali kelompok kedua ini dipercaya seringkali mengalami kefanaan kesadaran (jadzab), sehingga sering disebut Waliy Majdzub.

Ibnu Arabi, dalam kitab Futuhat Makiyyah, menelusuri kriteria orang-orang yang dicintai Allah, waliy, dalam Al Quran dan menemukan delapan kriteria kewalian. Pertama, orang yang hanya mengambil Allah sebagai pelindungnya. Kedua, orang yang mencintai Allah dan berusaha meniru sifat-sifat-Nya. Seperti menjadi orang yang penyabar, pengasih, penyayang, pemaaf dan sebagainya.

Ketiga, orang yang senantiasa kembali kepada Allah, bertaubat. Dalam pengertian, setiap kali terpeleset melakukan maksiat, dengan segera ia bertaubat. Keempat, orang yang selalu berusaha mensucikan dirinya, lahir dan batin. Kelima, orang yang selalu bersabar atas takdir yang ditetapkan Allah.

Keenam, orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah. Bagi para wali, musibah dan anugerah adalah sama-sama nikmat, karena keduanya berasal dari Allah. Syeh Abdul Qadir Al-Jailani, dalam Al-Lujainid Dani mengatakan, “Tidak ada orang yang senang saat menerima bencana dan merasakan kelezatannya, kecuali orang yang mengenal sang Mubli, pemberi bencana.”

Ketujuh, orang yang selalu berbuat baik dan memperbaiki, muhsin. Kedelapan, orang yang selalu menghadirkan Allah dalam hatinya, pada setiap detak jantung dan hembusan nafasnya.

Organisasi Pendakwah
Walisongo, terlepas dari ada atau tidaknya kedelapan kriteria di muka, menurut beberapa sejarawan, sebenarnya adalah sebutan untuk sebuah organisasi atau dewan yang secara terorganisir berjuang mengislamkan tanah Jawa. Maka tidak mengherankan jika jumlah mereka tidak hanya sembilan, sebagaimana makna harfiahnya.

Kata songo, atau sanga yang bermakna sembilan, dalam tradisi jawa kuno sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang banyak. Sebagaimana ketika orang jawa menyebut sebuah komplek dengan puluhan candi di pegunungan Ungaran Jawa Tengah dengan nama Candi Songo, atau pada nama Sumber Songo dan Gedong Songo.

Ada banyak sumber yang menceritakan tentang anggota-anggota Walisongo. Salah satunya, konon, merujuk kepada buku Kanzul Ulum karya pengelana muslim, Ibnu Bathuthah. Menurut sumber tersebut, konon Walisongo pernah mengalami pergantian susunan anggota sebanyak 5 (lima) kali.

Dewan I (1404 M), terdiri dari, Syeh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli tata negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419; Syeh Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura); Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Trowulan Mojokerto; Maulana Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465; Maulana Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435; Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435; Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama; Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama; Syeh Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.

Dewan II (1436 M), terdiri dari, Raden Ali Rahmatullah berasal dari Cempa, Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat; Sayyid Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isro’il ; Syarif Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat.

Dewan III (1463 M), terjadi perubahan kembali. Raden Paku atau Syeh Maulana Ainul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik; Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat; Raden Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat.

Dewan IV (tahun 1466 M), walisongo bertambah dengan kehadiran Raden Patah, putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat; Fathullah Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.

Dewan V, Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat; Syeh Siti Jenar, wali yang sangat kontroversial, sejak asal muasal kemunculannya dalam berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, dan masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih menimbulkan tanda tanya; dan, Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti Jenar yang wafat.

Penganut Mazhab Syafi’i
Meski demikian banyak dan silih berganti, namun anggota walisongo yang paling akrab di telinga masyarakat dan paling sering menjadi obyek ziarah tetap saja sembilan. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.

Mereka inilah yang dianggap paling banyak meninggalkan jejak sejarah di tanah Jawa. Termasuk beberapa tradisi keagamaan yang bercorak sunni dan bermazhab Syafi’i. Bahkan Indonesia dan beberapa negara tetangganya kemudian menjadi basis mazhab yang berasal dari Mesir tersebut.
Ini tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Ayyubiyyah, penganut fanatik mazhab Syafi’i, yang tengah berjaya di Mesir. Kesultanan ini pula yang merubah faham theologi Universitas Al Azhar, Kairo, dari Syiah menjadi Sunni. Ini terlihat dari tradisi maulidan yang menurut sejarahnya diprakarsai oleh pemerintahan Sultan Shalahudin Al-Ayyubi sebagai penggugah semangat keislaman rakyatnya.

Diceritakan dalam sejarah, setelah Dinasti Fatimiyyah di Mesir ditumbangkan oleh Sulthan Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 577 H, dimulailah pengiriman mubalig-mubalig bermazhab Syafi’i ke Asia Tenggara. Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selama 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke-9 H (permulaan abad ke-14 M) yang .

Kedua kerajaan tersebut adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i yang sangat gigih. Mubalig-mubalig yang dikirim Dinasi Ayyubiyyah dan Mamalik bertebaran keseluruh pelosok dunia termasuk Indonesia. Diantara mubalig-mubalig Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail Ash-Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam mazhab Syafi’i. Dengan usaha tokoh tersebut, umat Islam Pasai kembali menganut mazhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut mazhab Syafi’i yang taat.

Ismail Ash-Shiddiq juga berhasil mengangkat merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai (1225-1297 M) dengan gelar Al-Malikush Shalih. Berkat pengaruh Sulthan Al Malikush Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang Islam di Pulau jawa sekitar abad ke-7 H berbondong-bondong menganut mazhab Syafi’i.

Mulai tahun 1441 M sampai tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Mansyur Syah I, penganut mazhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus mubaligh-mubaligh Islam yang bermazhab Syafi’i ke Minangkabau timur yang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang yang bermazhab Syi’ah sesudah di kalahkan oleh kerajaan Majapahit tahun 1399 M. Berkat pejuangan dari mubalig-mubalig itu pula mazhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur.

Kemudian dari Minangkabau timur Mazhab Syafi’i berkembang ke Batak, muara sungai Asahan dan Simalungun. Mereka juga sampai ke Ujung Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di Philipina.

Abad ke-15 M, atau abad ke-9 H Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan kesultanan Malaka di negeri Malaya sangat aktif mengembangkan Islam mazhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu Demak dan Cirebon. Itulah sebabnya maka agama Islam bermazhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa.

Jadi meski Pulau Jawa sudah bersentuhan dengan Islam sejak abad pertama Hijriyyah (abad 7 M), tetapi gelombang perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau Jawa baru terjadi pada abad ke XV M

Sakti Mandraguna
Figur Walisongo, sebagaimana dikisahkan dalam babad dan “kepustakaan” tutur, selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Seperti kemampuan berjalan “sangat cepat” atau yang lazim disebut ilmu lempit bumi yang sejak kecil dimiliki oleh Raden Paku atau Sunan Giri, ilmu menembus bumi yang dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga, dan sebagainya.

Namun, sebagaimana dibahas secara mendalam dalam Halaqah Politik Walisongo lalu kesaktian sebenarnya dari Walisongo adalah kearifan dan kebijaksanaannya dalam menerpakan pola dakwah. Ada empat jurus utama yang digunakan Walisongo yang menjadi kunci keberhasilannya dalam menyebarkan agama Islam. Empat jurus tersebut membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo yang sekaligus sebagai bukti kebesarannya.

Pertama, Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu, bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.

Belum lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan sebuah revolusi kebudayaan.

Walisongo, yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Para wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri- turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan belakangan pada ajaran yang dibawanya.

Kedua, Tawasuth (moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.

Maka, di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya, misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.

Ketiga, Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.

Maka, upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.

Keempat, Iqtida’ (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan.

Dalam situasi seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter. Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.

Strategi lain yang dipandang para sejarawan cukup efektif dalam proses Islamisasi Jawa adalah dakwah politik. Dalam menjawab pertanyaan sarjana Amerika, Marshal Hodgon, pengarang buku “The Venture of Islam”, mengapa proses Islamisasi di Jawa begitu berhasil sempurna. Mark Woodward, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta” menjawab bahwa Islam oleh para penyebarnya, khususnya Wali Songo, telah berhasil dipeluk oleh kraton Jawa, sehingga seluruh rakyat mengikutinya.

Melalui tokoh Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V), Sunan Ampel (kemenakan permaisuri Majapahit), Sunan Giri (cucu Raja Blambangan), Sunan Kalijaga (putra Adipati Wilwatikta) dan lainnya, Islam masuk ke lingkungan kerajaan. Ini berbeda dengan di Asia Selatan, di mana proses Islamisasi mengalami benturan hebat karena berhadapan dengan para bangsawan secara frontal.

Demikianlah, dengan berbagai “kesaktian”-nya Walisongo kemudian berhasil melakukan sebuah Revolusi Peradaban di tanah Jawa. Maka, jika saat ini ada keinginan untuk mengembalikan kejayaan Islam di Indonesia, mungkin salah satu alternaif strategi yang harus dipertimbangkan adalah menggunakan jurus-jurus sakti para wali tersebut. (Kang Iftah)

No comments: