TAREKAT DI NUSANTARA
Sejarah dan Perkembangan Organisasi
dan Kelembagaan Tarekat di Indonesia
Oleh Kang Iftah
1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Sejarah
thariqah atau tarekat di
Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Para sejarawan
barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara
yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua
agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu
dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang
dibawa para wali. Sehingga perubahan besar itu pun berlangsung nyaris tanpa meneteskan darah sedikit pun. Ini berbeda dengan proses Islamisasi di
India yang dilakukan secara besar-besaran melalui penaklukan dan tekanan
--bahkan konon sedikit pemaksaan dengan senjata.—oleh para raja muslim seperti
Sultan Mahmud Ghazna, Aurangzeb, Haidar Ali, Tipu Sultan, dan sebagainya. Namun hingga saat ini India –terlebih setelah terbagi
tiga dengan Pakistan dan Bangladesh yang muslim— Islam tetap tidak berhasil
secara massif menggeser Hindu sebagai agama mayoritas masyarakat.[1]
Besarnya pengaruh tarekat dalam
islamisasi juga didukung dengan dari temuan sejarah bahwa sebenarnya Islam
sudah masuk di Nusantara sejak abad ke-7, dan di jawa sejak abad 11 M, namun
sejauh itu tidak cukup signifikan mengubah agama masyarakat nusantara. Islam
saat ini hanya menjadi agama para pendatang yang berkumpul dalam
komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di pesisir Jawa, seperti di Leran
(Gresik), Indramayu dan Semarang. Sementara penduduk asli diceritakan masih
hidup dengan agama lamanya, bahkan digambarkan dengan pola hidup yang “kotor”.[2]
Proses
islamisasi nusantara secara besar-besaran baru terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan
perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran
thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid
Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang
memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima
secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran
tasawuf falsafi yang kontroversial. Dilanjutkan dengan bermunculannya
pusat-pusat pengajaran tasawuf yang dipimpin oleh para sufi terkemuka seperti Syaikh
Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar
Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia
Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat
1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad
Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Belakangan, pada awal
abad keempat belas juga lahir Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh
Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) di Khurasan dan Thariqah
Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M).
Tarekat-tarekat
ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke nusantara, melalui para
penyebar agama Islam. Mencapai puncaknya pada abad 17-18, bersamaan dengan
orang-orang Jawi yang naik haji. Hingga saat ini tak kurang dari 44 thariqah
yang telah ada dan tersebar di seluruh Indonesia.[3]
2
TAREKAT
TAREKAT
A. Sejarah Kemunculan
Tarekat Sufi
Pada hakekatnya tarekat bukanlah sesuatu yang terpisah
dari syariat, sebab tarekat adalah pengejawantahan dari syariat itu sendiri.
Sebagaimana lazim dikatakan orang, “Syariat tanpa tarekat adalah kosong,
sedangkan tarekat tanpa syariat adalah bohong.” Terkait hal ini Prof. Dr. Abu
Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Tarekat, dengan tegas menyatakan, “Tarekat merupakan
bahagian terpenting daripada pelaksanaan tasawwuf. Mempelajari tasawwuf dengan
tidak mengetahui dan melakukan tarekat merupakan suatu usaha yang hampa. Dalam
ajaran tasawwuf diterangkan, bahwa syari'at itu hanya peraturan belaka,
tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syari'at itu, apabila
syari'at dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak
lain daripada perbaikan keadaan atau ahwal, sedang tujuan yang terakhir ialah
ma'rifat yaitu mengenai dan mencintai Tuhan dengan sebaik-baiknya.”[4]
Habib
Muhammad Luthfi bin Yahya, Pemimpin Jamiyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah, membagi tarekat menjadi dua: Thariqah Syari’ah dan Thariqah Wushul. Thariqah Syari’ah adalah seperangkat aturan-aturan fiqh yang
disebutkan dalam berbagai kitab-kitab para fuqaha’ yang mu’tabar, para muhaditsin,
mutakallimin dan mufassirin yang mu’tabar. Sedang thariqah wushul adalah upaya
mematik natijah (hasil) dari pelaksanaan thariqah syari’ah dengan mengikuti
bimbingan seorang syaikh dengan penuh khidmah (pengabdian), muwafaqah
(menganggap benar) dan menghindari buruk sangka, serta berupaya membersihkan
hatinya dari berbagai sifat tercela, menghiasinya dengan sifat mulia, dan
memperbanyak dzikir, menyebut nama Allah. Karena pembersihan hati dari berbagai hal negatif tersebut
hukumnya wajib, maka wajib pula hukum memasuki thariqah.[5]
Dalam sejarah perkembangan
Islam, tasawuf dan
tarekat mengalami pasang
surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, tasawuf sudah ada sejak zaman
Rasulullah, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu
disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat para tokoh seperti Hasan-Al-Bashri,
Sufyan Al-Tsauri, Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi, Abu Yazid Al-Busthami, dan
sebagainya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama eksoteris—ahli
fiqih, hadis, dan sebagainya.
Betapapun juga praktik-praktik
tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai disiplin ini,
dimulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni Kota Makkah dan
Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili tokoh-tokoh perintis
kehidupan tasawuf yang namanya kita sebutkan di atas. Pandangan yang
menyatakan bahwa tasawuf merupakan imbas kebudayaan Persia kiranya juga
terbantah oleh kenyataan ini. Selain jumlah yang sedikit, di kalangan
penganut tasawuf-awal para sufi asal Persia baru dikenal belakangan.
a.
Tahap Zuhud
(Asketisme)
Tahap awal perkembangan
tasawuf ini merentang mulai akhir abad ke-1 H sampai kurang lebih abad ke-2. Gerakan
zuhud—yakni, promosi “gaya hidup” sederhana dan serba kekurangan untuk melatih
jiwa agar tak terlalu terikat dengan kehidupan dunia—ini pertama kali muncul di
Madinah, Kufah, dan Bashrah, sebelum kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir.
Awalnya sebagai respons terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara sebagai
akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan
wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Berikut ini adalah
tokoh-tokohnya menurut tempat-perkembangannya:
Para zahid yang tinggal di
Madinah dari kalangan sahabat, seperti Abu Ubaidah Al-Jarrah (w. 18 H), Abu
Dzar Al-Ghiffari (w. 22 H), Salman Al-Farisi (w. 32 H), Abdullah ibn Mas‘ud (w.
33 H). Sedangkan dari kalangan satu generasi setelah masa Nabi (Tabi‘în) termasuk di
antaranya adalah Said ibn Musayyab (w. 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
Tokoh-tokoh zuhud di Bashrah
adalah Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Malik ibn Dinar (w. 131 H), Fadhl
Al-Raqqasyi, Kahmas ibn Al-Hadan Al-Qais (w. 149 H), Shalih Al-Murri dan Abul
Wahid ibn Zaid (w. 171 H) dari Abadan.
Tokoh-tokohnya “aliran”
Kufah adalah Al-Rabi ibn Khasim (w. 67 H), Said ibn Jubair (w. 96 H), Thawus
ibn Kisan (w. 106 H), Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H), Al-Laits ibn Said (w. 175
H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198), dan lain-lain.
Sedangkan tokoh-tokohnya di
Mesir, antara lain, adalah Salim ibn Attar Al-Tajibi (w. 75 H), Abdurrahman
Al-Hujairah (w. 83 H), Nafi’, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 117 H), dan
lain-lain.
Pada masa-masa terakhir
tahap ini mulai muncul tokoh-tokoh yang belakangan telah dikenal sebagai para
sufi sejati, termasuk di antaranya Ibrahim ibn Adham (w. 161 H), Fudhail ibn
‘Iyadh (w. 187 H), Dawud Al-Tha’i (w. 165 H), dan Rabi‘ah Al-‘Adawiyyah.
b.
Tahap Tasawuf (Abad III dan IV H)
Pada paruh pertama abad ke-3
H, wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun
tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka. Para sufi dalam tahap
ini mulai memperkenalkan disiplin dan metode tasawuf, termasuk konsep-konsep
dan terminologi baru yang sebelumnya tidak dikenal: maqâm, hâl, ma‘rifah, tauhîd (dalam
maknanya yang khas tasawuf),
fanâ’, hulûl, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf
Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w.
245 H), dan Junaid Al-Baghdadi.
Pada masa itu juga muncul
karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk
karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w.
279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H).
Dua peridoe awal ini seringkali disebut fase tasawuf amali. Pada masa ini juga mulai muncul para sufi yang belakangan
dikenal mempromosikan tasawuf yang berorientasi “kemabukan” (sukr) antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami.
Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang
seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal
“Akulah Sang Kebenaran” (Anâ
Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun dalam jubah—yang dipakai
oleh Busthami—selain Allah” (mâ
fil-jubbah illâ Allâh), dan sebagainya.
c.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H)
Dilihat dari sebutannya,
tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan
pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini,
di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu
(Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut
juga dengan ‘Irfân (Gnostisisme)
karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah
atau gnosis)
tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.
Beberapa
karya sufistik Ibnu Arabi yang bercorak falsafi antara lain Fushush al-Hikam, Futuhat al-Makkiyyah dan Tarjuman al-Asywaq.[7]
B. Pelembagaan
Tarekat Sufi Pada Abad Pertengahan
Meskipun tarekat telah
dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada
ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid
Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah
yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru
pada abad 6 Hijriahlah tarekat
berkembang dengan pesat. Hal ini dimulai sejak Al-Ghazali sukses dengan merumuskan
konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat.
Setelah itu berturut-turut
muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di
berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang
ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin
Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh
Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal
Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah
Rifa’iyyah.
Selain itu, awal abad
keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang
didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan
Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428
M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang
memiliki banyak pengikut di tanah air.[8]
3
TAREKAT DI
NUSANTARA
A.
Masuknya
Tarekat Sufi Di Nusantara
a.
Era
Wali Songo
Para
sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk
nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik.
Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan
lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya
dokumen sejarah islam sebelum abad 17
cukup sulit dilacak.[9] Meski
begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak
bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja
muslim.
Salah
satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten
Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal
berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung
Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh
Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan
masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah
dan Syadziliyyah.[10]
Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik
antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan
Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang
wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.[11]
Terlepas
dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah
dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai
orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.
Selain Sunan Gunung Jati, anggota
walisongo lain yang lekat dengan tarekat adalah Sunan Ampel dan Sunan Bonang
alias Raden Makhdum Ibrahim. Dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Ampel disebut-sebut
mengajarkan suluk tarekat Naqsyabandiyyah. Sementara Sunan Bonang, diceritakan
oleh Caita Lasem dan Hikayat Hasanudin, setelah gagal berdakwah di Kediri,
karena menggunakan pendekatan fiqih yang cenderung kaku, lalu pindah Demak dan
menjadi Imam Masjid Agung Demak. Tak lama kemudian ia hijrah ke Lasem, Rembang
membangun zawiyyah dan menjalani suluk tarekat. Usai menjalani suluk itulah
Raden Makhdum Ibrahim yang kemudian bergelar Sunan Bonang itu melanjutkan
dakwahnya. Pendekatan baru ini terbukti dengan beberapa peninggalan Sunan
Bonang yang lebih bercorak sufistik dan budaya baik bentuk tembang, dolanan bocah, primbon dan serat-serat.[12]
b. Abad 17 – 18
Thariqah
lain yang tercatat masuk
nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan
Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17
secara susul menyusul.
Thariqah
Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, ulama dan sastrawan sufi kontroversial dari Aceh.
Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke
negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan
thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid
utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah
Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal
Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri.[13]
Meski
berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni
mengajarkan paham wahdatul wujud, yang kemudian memicu konflik tajam dengan
sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri.
Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak
main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri
juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta
para pengikutnya.
Sepeninggal
Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel,
Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun
itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah
kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah,
Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat
1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin
yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya
untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar.
Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu
diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan.
Syaikh
Abdul Rauf Singkil memiliki beberapa murid yang mengikuti jejaknya menyebarkan
agama Islam dan Thariqah Syathariyyah. Yang paling terkenal di antara mereka
adalah Syaikh Burhanudin Ulakan, yang berdakwah, berjuang melawan VOC dan wafat
di Pariaman Sumatera Barat. Melalui ulama sufi yang juga pernah berguru kepada
Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi di Makkah, Thariqah Syathariyyah kemudian menyebar di
Sumatera Barat.[14]
Tokoh
lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru
kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah
Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah
mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan
mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah,
Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah.[15]
Di
Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu
dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian
dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat
militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan
ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut
membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah
Khalwatiyyahnya.
Sepeninggal
Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf membangun
basis pertahanan di sekitar Tangerang. Namun raja Banten berikutnya
cenderung membela penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakin melemah hingga
akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara
Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke
Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia dengan
berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih
menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka.
c.
(Fenomena Orang Jawi Naik Haji)
Abad
enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran
thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari
Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah
Suci untuk belajar ilmu agama. Apalagi dengan ditemukannya mesin uap yang belakangan
diikuti dengan pembuatan perahu uap, jumlah jamaah haji dan mukimin nusantara
di Tanah Suci meningkat pesat. Bahkan
saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding
dari dari negeri-negeri muslim lain.
Para
santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari
santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang
rata-rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para
santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai
belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para
pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu
berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu.
Setelah
era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani pada abad 17, pada abad 18 tokoh ulama
sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin
Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang
produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah,
Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki
karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru
yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.[16]
Karena
kehebatan karamahnya pula, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan
segera tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal
nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal
Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa
Melayu. Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan
terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu
setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah
Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah.
Karena
besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya,
tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di
Sumatera Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir
utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih
sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.[17]
Thariqah
ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam
pertempuran melawan penjajah pada tahun 1819. Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani
sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat
Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih
berganti.
Seiring
kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang
akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara.
Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut
petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan
perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Jejak
Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian
debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak,
Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian
yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape
Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf
Al-Makassari dan murid-muridnya.
Pada
mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat
juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Selain dua thariqah tersebut,
debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal
Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu
mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai
guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh
Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Sepeninggal
Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan
Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma
kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera
tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan
Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi
terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan
para khalifah generasi sesudahnya: Kyai Tholhah Kalisapu Cirebon, Abah Falak
Pagentongan, Cirebon dan Kyai Hasbullah Madura.
Thariqah
besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah
Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari
Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia
setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin
Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.[18]
Meski
proses kelahirannya sempat dianggap kontroversial dan ditentang oleh ulama
thariqah lain, dan baru reda setelah disepakati keabsahannya dalam bahtsul masail di muktamar NU ke-3 di
Surabaya tahun 1928 dan Muktamar ke-6 di Cirebon tahun 1931,[19]
Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet,
Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam,
istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Selain
thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang
masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah
Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid
Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van
Bruinessen, dalam buku Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui
Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui
tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid)
itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah
air.[20]
Di
Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh
Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat
Syattariyah yang berpusat di Ulakan, yang ajaran thariqahnya mereka anggap
sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking
terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin
Imam Bonjol.
Cerita
seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah
belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli.
Pemicunya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan
pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim
tradisionalis di kawasan itu.
Thariqah
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui
jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka
zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa,
misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan
(Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi,
Girikusumo (Salatiga).
Khalifah
pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan
Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan
Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai
Arwani Amin Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. [21]
Sedangkan
kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik,
Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid
kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan.
Sementara kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir
bin Ilyas Noor, lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini
dilanjutkan oleh K.H. Muhammad bin Ilyas Noor.[22]
Selain
mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga
mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya,
salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan
tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.
Selain
melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh
K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang;
K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu,
Kendal; Kyai Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H.
Idris Jamsaren, Solo. Kelima guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai
sanad yg sama: Kyai Abdullah, Kyai Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar
mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama
Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren dan Kiai Ahmad Ngadirejo yang
satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh
Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.[23]
Dari para guru ini kemudian
Thariqah Syadziliyyah menyebar ke berbagai daerah di Jawa. Saat ini pusat
pengajaran Thariqah Syadziliyyah di Jawa antara lain terdapat di : Kanzus
Shalawat, Pekalongan dengan mursyidnya Habib Luthfi bin Ali bin Yahya;
Pesulukan Tarekat Agung (PETA) Tulungagung dengan mursyid K.H. Shalahudin (Gus
Saladin), Pesantren Sumolangu Kebumen dengan mursyid K.H. Musyaffa’ Ali, dan
beberapa tempat lain.
Masih
banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di
tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui.
Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti
Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua
puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah yang dibawa oleh ulama asal
Amerika Serikat, Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, atau Syadziliyyah Darqawiyyah
yang dibawa para alumnus Damaskus, Syiria[24] yakni
murid-murid Syaikh Muhammad Al-Ya’qubi, dan murid-murid Syaikh Yasin Al-Fadani.
d.
Era
Modern : Pengorganisasian Tarekat dalam JATMAN
Di Indonesia sendiri saat ini tak kurang
dari tujuh puluhan juta orang tercatat sebagai pengamal thariqah. Empat puluh
juta diantaranya tergabung dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah yang didirikan oleh para ulama
dan guru mursyid thariqah yang berasa dari kalangan Nahdliyyin.
Dalam
format awalnya Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah didirikan di Pesantren
Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Rajab 1377 H/ 10 Oktober
1957. Tokoh pendirinya waktu itu adalah
K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Am PBNU), K.H. Bisri Syamsuri, Dr. K.H. Idham
Cholid, K.H. Masykur dan K.H. Muslih.[25]
Namun dalam perjalanannya, organisasi ini sempat dibawa ke politik praktis oleh
salah seorang pemimpinnya, hingga
menimbulkan gejolak. Terutama pada menjelang dan pasca pemilu 1977. Pada tahun
1979, dalam muktamar ke-limnya, beberapa ulama senior lalu memilih memisahkan
diri dan mendirikan organisasi baru dengan menambahkan kata “An-Nahdliyyah” di
belakangnya, sehingga menjadi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.[26]
Kelahiran
organisasi ini dilatarbelakangi
kekhawatiran sebagian besar ulama thariqah atas maraknya aktivitas thariqah di
tengah masyarakat yang keabsahannya meragukan. Baik keabsahan dalam silsilah
sanadnya, validitas kemursyidan gurunya, maupun amaliah kethariqahannya. Untuk
membentengi umat Islam khususnya warga nahdliyyin itulah para mursyid yang
diakui kemu’tabaran thariqah dan sanad kemursyidannya berhimpun dan
mengorganisir diri.
Menurut
anggaran dasarnya, misi organisasi ini antara lain mengusahakan berlakunya
syariat Islam, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah dengan tetap
berpegang kepada aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan salah satu Madzhab empat.
Jatman juga akan berupaya menggiatkan kegiatan bai’at yang shahih dan membantu
penyelenggaraan pengajian khusus thariqah atau tawaj-juhan di berbagai
kantong-kantong NU.
Karena
thariqah saat itu jumlahnya sangat banyak, organisasi kaum tarekat NU itu
menambah kata mu’tabarah di belakangnya. Kata mu’tabarah dalam nama tersebut
ialah muttashil sanadnya sampai kepada Rasulallah SAW yang menerima ijazah dan
bai’atnya dari Malaikat Jibril AS dari Allah SWT. Dan di kemudian hari, nama
itu ditambah lagi dengan An-Nahdliyyah untuk membedakan dengan kemungkinan
munculnya jam’iyyah sejenis yang bukan tidak berafiliasi kepada Nahdlatul
Ulama. (Keputusan Mu’tamar NU ke-26 di Semarang 1979 M)
Untuk
mempermudah pengaturan roda organisasi, struktur kepengurusan Jam’iyyah Ahlith
Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah dibagi menjadi lima jenjang. Di tingkat
nasional kepengurusannya disebut Idarah ‘Aliyah, sementara di tingkat provinsi
dinamakan Idarah Wustha. Di bawahnya, tingkat kabupaten dan kota dinamakan
Idarah Syu’biyyah. Di bawahnya lagi atau tingkat kecamatan, kepengurusannya
disebut Idarah Ghusniyyah. Dan yang paling bawah, tingkat kelurahan atau desa
disebut Idarah Saafiyyah.
Setiap
jenjang kepengurusan berkewajiban ikut menyiarkan serta menggiatkan pelaksanaan
ajaran Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan cara-cara yang bijaksana.
Pengurus juga wajib mendukung kegiatan para guru mursyid dalam mendidik (tarbiyyah)
para murid agar mencapai akhlaq yang mulia dan ma’rifat kepada Allah.
Secara
rutin pengurus JATMAN di setiap jenjang juga wajib mengadakan bai’atan (bila
kondisi memungkinkan), majelis sewelasan, dan pengajian-pengajian rutin
lain di daerahnya. Bagi kepengurusan di tingkat provinsi diharuskan menggelar
haul akbar dan manaqib kubra tiga kali dalam setahun yang tempatnya
berpindah-pindah.
Setelah
secara resmi berdiri, progam pertama yang dilakukan oleh pengurus Jam’iyyah
adalah meneliti kemu’tabarahan thariqah-thariqah shufiyyah, baik yang tersebar
di Indonesia maupun tidak. Dan setelah bekerja keras selama berbulan-bulan,
pengurus yang dibantu beberapa mursyid senior yang tidak masuk dalam
kepengurusan pun memutuskan 45 thariqah shufiyyah yang diakui
kemu’tabarahannya.
Thariqah-thariqah
tersebut adalah: Rumiyyah, Ghaiyyah, Rifa’iyyah, Tijaniyyah, Sa’diyyah,
Uwaisiyyah, Bakriyyah, Idrisiyyah, Jistiyyah (Chistiyyah), Samaniyyah,
Umariyyah, Buhuriyyah, Alawiyyah, Usyaqiyyah, Abasiyyah, Kubrawiyyah,
Zainiyyah, Maulawiyyah, Dasuqiyyah, Jalwatiyyah, Akbariyyah, Bairumiyyah,
Bayumiyyah, Ghazaliyyah, Malamiyyah, Hamzawiyyah, Haddadiyyah, Bakdasyiyyah
(Bekhtasyiyyah), Madbuliyyah, Syuhrawiyyah, Sumbuliyyah, dan Idrusiyyah.
Selain
itu masih ada lagi Thariqah ‘Isawiyyah, Utsmaniyyah, Syadziliyyah, Qadiriyyah
Wa Naqsyabandiyyah, Sya’baniyyah, Khalidiyyah Wa Naqsyabandiyyah, Kalsyaniyyah,
Khadliriyyah, Syathariyyah, Khalwatiyyah, Thariqah Ahmadiyyah (bukan Jamaah
Ahmadiyyah yang belakang ribut dengan FPI), Thuruqil Akabiril Auliyya dan
Thariqah Ahli Mulazamatil Qur’an was Sunnah wa Dala’ilil Khairat wa Ta’limi Fathil
Qorib au Kifayatil Awami
Selain
menentukan thariqah-thariqah yang mu’tabarah, jam’iyyah juga merumuskan
peryaratan dasar untuk menjadi guru mursyid, badal dan murid. Di antara syarat
menjadi mursyid, misalnya, adalah bertaqwa kepada Allah, menguasai dan
mengamalkan ilmu-ilmu syariah, telah selesai mengikuti tarbiyyah Thariqiyyah
dan sebagainya. (Lebih lengkap tentang syarat dan kriteria mursyid baca rubrik Tawajjuh)
Kemudian
untuk pegangan para pengamal thariqah, jam’iyyah juga menentukan kitab-kitab
kethariqahan yang mu’tabarah. Di antara yang termasuk dalam kategori tersebut
adalah Ihya’ ‘Ulumuddin, Tanwirul Qulub, Jami’ul Ushul, Majmu’atul
Khalidiyyah wa Naqsyabandiyyah, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, ‘Umdatus Salik fi
Khairil Masalik, Al-Minahus Saniyyah, Bahjatul Asrar, Ar-Rasyajat, An-Nafahat dan
lain sebagainya.
Tak
hanya itu. Dalam setiap mu’tamarnya ulama thariqah dan guru mursyid yang
tergabung dalam jam’iyyah juga menggelar kajian masalah-masalah keagamaan
kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas kethariqahan. Mengikuti
jejak pendiri-pendirinya, jam’iyyah juga sangat peduli dengan berbagai isu
kebangsaan. Hal itu terlihat dari tema-tema yang diusung di setiap mu’tamar dan
musywarah kubranya.
Dalam muktamar ini, misalnya,
tema yang diusung adalah menggalang kebersamaan jamaah untuk meneguhkah khidmah
kaum thariqah kepada bangsa dan negara.
B.
Peran
Tarekat Sufi Terhadap Perkembangan Sosial Intelektual Islam Di Nusantara
a.
Membangun Sikap Toleransi dan Moderat
Para sejarawan sepakat, tasawuf dan tarekatlah yang
menjadi kunci keberhasilan proses Islamisasi Nusantara. Tasawuf dan tarekatlah
yang mengajari Walisongo kearifan dan kebijaksanaan dalam menerapkan pola dakwah yang
terejawantah dalam empat sikap yang
belakangan juga membuktikan universalitas nilai-nilai ideologi Walisongo
sekaligus sebagai bukti kebesarannya. Keempat
sikap tersebut[27] adalah tasamuh, tawasuth, tawazun dan ta’adul atau
i’tidal.
Pertama,
Tasamuh (toleran). Tanah Jawa, sebagai medan dakwah Walisongo waktu itu,
bukanlah sebuah kawasan bebas nilai dan keyakinan. Sebaliknya, ketika
pendakwah-pendakwah mulai masuk, Tanah Jawa adalah pusat dari lingkaran budaya
Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara, di mana nilai-nilai keyakinan dan
budaya telah mengakar dengan kuat di hati masyarakat.
Belum
lagi tantangan berupa nilai-nilai lokal masyarakat Jawa, yang kemudian
berakulturasi dengan budaya Hindu Budha dan membentuk sebuah kearifan batiniah
yang unik. Maka, dibutuhkan sebuah kearifan tersendiri jika hendak mengadakan
sebuah revolusi kebudayaan.
Walisongo,
yang memang berasal dari kultur sunni dan sufi, memahami betul pendekatan
bagaimana yang dibutuhkan untuk merangkul masyarakat Jawa. Perbedaan besar
antara ajaran Islam dengan Hindu Budha tidak lantas menciptakan jarak antara
generasi awal Walisongo yang berasal dari Arab dengan masyarakat lokal. Dengan
tingkat toleransi yang tinggi, secara perlahan para wali meleburkan diri dalam
kehidupan bermasyarakat.
Para
wali menjadi tempat mengadu bagi masyarakat yang tengah dalam kesulitan besar
akibat perang saudara di Kerjaan Majapahit yang tak kunjung usai. Tanpa
memandang perbedaan agama dan keyakinan, para wali –dengan caranya sendiri-
turun tangan membenahi dan melindungi masyarakat kecil. Empati dan keberpihakan
ini yang kemudian menimbulkan simpati masyarakat terhadap para wali, dan
belakangan pada ajaran yang dibawanya.
Kedua, Tawasuth
(moderat atau non ekstrim). Ajaran Islam yang turun di tanah Arab, tentu
mempunyai kultur yang sangat berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Namun
perbedaan cara pandang tersebut tidak dengan serta merta dilawan dan diberangus
secara ekstrim. Sebaliknya, para wali justru ngemong dan membiarkan
masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang sudah berabad-abad dilakoninya sambil
perlahan-lahan mewarnai dengan nuansa keislaman.
Maka,
di tanah Jawa –khususnya dan Indonesia pada umumnya- dikenal ritual-ritual yang
tidak terdapat di Timur Tengah. Tradisi peringatan nelung dina (peringatan
hari ketiga kematian), pitung dina (hari ketujuh), dan seterusnya,
misalnya, merupakan warisan dari budaya hindu Jawa. Oleh para wali tradisi ini
tidak ditentang, namun diwarnai dengan nuansa keislaman. Pembacaan mantra dan
puja-puji bagi roh leluhur digantikan dengan bacaan tahlil dan mendoakan orang
yang meninggal serta umat Islam secara keseluruhan.
Dengan
demikian, secara perlahan dan Non Violence (tanpa kekerasan) ritus-ritus
yang sarat kemusyrikan berganti alunan zikir dan doa. Perubahan secara damai
ini juga perlahan menumbuhkan Culture Of Peace di hati umat Islam Jawa.
Ketiga,
Tawazun (Keseimbangan atau Harmoni). Diantara ciri khas kultur
masyarakat Jawa –dan nusantara secara umum- adalah kecenderungan kepada
harmoni. Bagi orang Jawa, kultur harmoni atau keseimbangan sangat mendarah
daging. Orang Jawa sangat tidak menyukai gejolak sekecil apapun, terlihat dari
kecenderungan untuk selalu ngalah dan nrimo ing pandum.
Maka,
upaya perubahan terhadap masyarakat Jawa mau tidak mau harus mempertimbangan
harmoni tersebut. Dengan pola pendekatan sufistik, yang lebih mengutamakan sisi
esoteris dalam beragama ketimbang penegakan syariah, porses islamisasi pun
berjalan dengan damai, tanpa gejolak yang berarti.
Keempat,
Iqtida’ atau I’tidal (Keberpihakan pada keadilan). Meski bangga menjadi anggota
masyarakat dari sebuah kerajaan besar, rakyat Majapahit yang menganut agama
Hindu tetap saja mempunyai ganjalan besar, yaitu sistem diskriminasi kultural
yang dinamakan kasta. Sistem kasta ini secara perlahan menciptakan kesenjangan
sosial antar masyarakat. Terlebih ketika pecah saudara antar keluarga kerajaan
yang berujung pada maraknya kerusuhan, kelaliman dan kemiskinan. Dalam situasi
seperti itulah Walisongo masuk dan memperkenalkan ajaran Islam yang egaliter.
Prinsip kesetaraan dan keadilan yang diusung oleh agama baru tersebut kontan
saja meraih simpati masyarakat yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama
Islam. Dalam Islam, masyarakat Jawa menemukan ketenangan yang dicari-cari
selama ini, perlindungan spiritual dan kultural.
b.
Sistem Pendidikan
Pesantren
Sumbangsih lain dari para pengamal thariqah untuk
Nusantara adalah sistem pendidikan pesantren. Banyak versi yang dikemukakan
para peneliti dan penulis kepesantrenan, tentang asal muasal bentuk pendidikan
ala pesantren. H.J. De Graaf dan Th.G. Pegeaud, misalnya, menduga pesantren
merupakan islamisasi dari dua bentuk pendidikan kuno di Jawa oleh Walisongo,
yakni Mandala dan Ashram[28].
Belakangan pendapatan yang sama juga dikemukakan Ahmad Baso, penulis serial
Pesantren Studies yang mendasarkan pendapatnya pada Kitab Tantu Panggelaran.[29]
Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo-junya sudah
menyebut-nyebut Pesantren Syaikh Quro’ di Karawang yang hidup di abad 14 dan
Pesantren Syaikh Datuk (Datul) Kahfi di sekitar Gunung Jati dan Gunung Sembung
Cirebon pada awal abad 15, yang diantara santrinya antara lain Pangeran
Walangsungsang dan Dewi Lara Santang, putri Prabu Siliwangi dari Putri
Subanglarang (santri Syaikh Quro’), Pesanren Ampeldenta-nya Sunan Ampel dan
sebagainya.[30]
Dan penulis menemukan korelasi antara pesantren dengan
tradisi tarekat atau sufistik. Tradisi pendidikan mirip pesantren yang ada di
Timur Tengah adalah zawiyyah-zawiyyah (perguruan dan perkumpulan tarekat sufi)
di mana ada santri yang tinggal untuk waktu tertentu, ada asrama atau rubath, ada majelis dan kegiatan pembelajaran
ilmu (atau zikir), ada syaikh yang mengajar dan mengawasi perkembangan
pengetahuan dan pengamalan para santri, baik secara langsung maupun melalui
para pembantunya (badal/khadam). Pelajaran yang diberikan di zawiyyah lebih
banyak yang terkait dengan fiqih dan tauhid dasar dan lebih banyak tentang
tasawuf, berbeda dengan yang diajarkan di madrasah-madrasah timur tengah yang
lebih banyak mengeksplorasi ilmu alat, fiqih, tafsir, hadits dan ilmu kalam.
Ini juga terlihat di pesantren-pesantren generasi awal yang banyak mengkaji
tasawuf.[31]
Pengaruh tradisi tarekat dalam pesantren juga terlihat
dari sistem pembangunan karakter dan pengetahuan santrinya yang sangat mirip
dengan pola tarbiyyah di tarekat, yakni melalui tiga ranah:
Pertama, ranah Faqahah, yakni kecukupan pemahaman
agama. Di ranah ini pesantren berupaya membangun pengetahuan, pemahaman dan
penguasaan para santri atas teks dan dogma-dogma keagamaan Islam. Upaya ini
dilakukan melalui proses ta’lim yang berarti kajian,
pendidikan atau proses belajar mengajar. Metode ta’lim yang ditempuh beragam, mulai dari yang menarik perhatian,
serta membangun pemahaman dan keterampilan dasar para santri dalam membaca
teks, yang lazim disebut sorogan[32],
sampai yang murni hanya mentransfer pengetahuan dari sang pendidik kepada
peserta didik (santri), karena para santri sudah dianggap menguasai
keterampilan dasar pembacaan teks, yang dinamakan bandongan. Dari yang menganut sistem tradisional murni
(klasikal/non klasikal, tanpa pelajaran umum, atau tanpa ijazah yang diakui
negara ), sampai yang modern (klasikal, ditambah pelajaran non agama, atau
ijazahnya diakui oleh negara).
Hasil yang diharapkan muncul dari proses ini adalah
penguasaan penuh para santri atas dalil (teks-teks) dan dogma
keagaamaan yang pada level tertingginya membuat santri bisa merumuskan atau
mencari sendiri hukum agama atas suatu permasalahan melalui metode istinbath (penggalian hukum) atau Qiyas (analogi hukum).
Kedua, ranah Thabi’ah, atau integritas
kepribadian. Prosesnya melalui pemeragaan atau pengamalan atas teks dan dogma
yang sudah dikuasai, yang dalam ranah keilmuan pesantren lazim dinamakan taslik.
Dalam tarekat istilah yang digunakan sangat mirip yakni suluk. Dengan
pengawasan kiai pengasuh, baik secara langsung maupun melalui para pembantunya
(Ustadz, Pengurus Asrama, dan sebagainya), para santri dilatih mengamalkan
ajaran agamanya, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, sampai menjadi
kebiasaan (habits) yang mekanik dan
reflektif.
Semua kurikulum di pesantren disusun sedemikian rupa
untuk mencapai tujuan besar ilmu yang bermanfaat, dalam arti ilmu yang secara
konsisten teramalkan secara pribadi dan bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Diharapkan dari proses taslik
(pengamalan) ini akan lahir sebuah uswah hasanah (keteladanan)
dalam beragama yang menginspirasi lingkungan terdekatnya.
Ketiga, ranaah Kafaah, kecakapan yang operatif.
Kecakapan ini dibangun melalui proses tatsqif (pembudayaan), yakni dengan
membumikan keteladanan yang sudah terbangun secara internal pada lingkungan
terdekat. Pada tahap ini pesantren berupaya terus memberikan kemanfaatan bagi
lingkungan di sekitarnya secara terlembaga yakni terencana, sistematis, terukur
dan konsisten. Dari proses tatsqif
ini diharapkan akan ada dua hasil yang tercapai: pertama, kesaksian (baik
personal maupun komunal) bahwa dalil-dalil yang dipelajari telah menjadi
kenyataan terukur dan bermakna bagi masyarakatnya; kedua, pesantren (kiai dan
santri) mendapatkan pengalaman empirik untuk meningkatkan kualitas pengamalan
dan pemanfaatan dalil-dalil yang dipelajarinya.
Secara lebih sederhana, sistem pendidikan pesantren
yang diadopsi dari tarekat tergambar dalam tabee berikut ini:
Ranah
|
Proses
|
Hasil
|
Faqahah
Pengetahuan
Agama
|
Ta’lim
Mengaji
|
Dalil
Penguasaan teks
|
Thabi’ah
Perilaku
|
Taslik
Pengamalan
dalil
|
Uswah
Keteladanan
|
Kafa’ah
Kecakapan yang operatif
|
Tatsqif
Pembudayaan
|
Syahadah
Kesaksian atau penghargaan dari komunitas
|
4
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
a.
Tarekat adalah bagian terpenting
dari pelaksanaan tasawwuf dan syari’at, karena tarekat adalah upaya memetik buah dari melaksanakan syari'at. Tarekat mendunia semenjak dikenalkannya konsep tasawuf akhlaqi oleh
Imam Ghazali, yang diikuti oleh pelembagaan ajaran tasawuf para sufi besar
dalam tarekat. Dan dimensi tasawuf dan tarekat yang luwes, luas, mendalam dan
kaya pengalaman esoteris diyakini menjadi kunci dari keberhasilan proses
islamisasi nusantara pada abad 15-16, baik oleh walisongo maupun ulama tarekat
lain.
b.
Perkembangan
tarekat di Nusantara mengelami percepatan dan perluasan secara massif seiring
munculnya fenomena orang Jawi naik haji. Perjalanan haji yang cukup lama dengan
kapal laut membuat orang Jawi merasa sayang jika perjalanan sejauh dan selama
itu hanya untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun memanfaatkannya untuk
mendalami ilmu agama dengan mengaji kepada ulama Haramain. Para santri Jawi
inilah yang ketika peulang ke tanah air ini ikut menyebarkan tarekat kepada
umat Islam Nusantara.
c.
Tarekat melembaga
di Nusantara seiring dukungan penguasa (kerajaan) terhadap ulama tarekat,
seperti Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdul Rauf Singkel di Kerajaan
Aceh, Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani di Kesultanan Palembang, Syaikh Yusuf
Al-Makassari di Kerajaan Bugis dan Banten, dan sebagainya. Selain menyumbangkan
semangat perjuangan dan dakwah, para ulama tarekat ini juga ikut andil
membangun tradisi keagaaman di Nusantara yang toleran, moderat, harmonis dan
berpihak pada keadilan. Tarekat juga ikut menyumbangkan sistem pendidikan
pesantren, yang merupakan akulturasi dari zawiyah sufi dan sistem
ashram-paguron Hindu-Budha.
d.
Karena kentalnya
nuansa esoteric dalam tarekat, maka tarekat sangat rentan terhadap penyimpangan
dan penyalahgunaan. Untuk mencegah penyimpangan itulah para pengamal tarekat
yang bernaung di Nahdlatul Ulama membentuk organisasi pengamal tarekat,
Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah.
--oOo--
Referensi:
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang
Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok, 2012
Ahmad Baso, Pesantren Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012
Prof. DR. Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian
Tentang Mistik), Ramadhani, Solo, tt
Van Bruinessen, Martin, Kitab
Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, Cet. III-1999
Lajnah Ta’lif wan
Nasr JATMAN, Al-Fuyudhat
Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith
Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), Khalista, Surabaya,
2006
K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas
NU ke-1 tahun 1926 s/d ke-29 Tahun 1994, PP RMI dan DInamika Press,
Surabaya, 1997
Martin Van Bruinessens, Tarekat
Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun 1997
Tim Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk
Pemula Mengenal Allah, Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu,
Semarang, 2005
Muhdhor Assegaf, Biografi
K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah,
Pelita Hati, Solo, 2008
Haidar Bagir, Sejarah Tasawuf dan Aliran-alirannya, http://islamindonesia.co.id/index.php/tasawwuf/681-sejarah-tasawuf-dan-aliran-alirannya
[1] Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama
yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah, Pustaka Ilman, Depok,
2012, hlm. 42-43
[3] Jumlah 44 thariqah ini adalah jumlah
thariqah yang dianggap mu’tabar oleh Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyyah (JATMAN), sumber : Tim Penyusun JATMAN, Mengenal
Thariqah,Lajnah Ta’lif wa Nasr JATMAN,
Pekalongan, 2005, hlm. 15
[4] Prof. DR. Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; (Uraian
Tentang Mistik), Ramadhani, Solo, tt, hlm.
[5] Tim Penulis Jatman, Loc. Cit,
hlm. 12
[6] Haidar Bagir, Sejarah Tasawuf
dan Aliran-alirannya, http://islamindonesia.co.id/index.php/tasawwuf/681-sejarah-tasawuf-dan-aliran-alirannya
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Arabi
[8] Van
Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, Cet. III-1999, halaman 188.
[9] ibid., hlm.23.
[11] Meski
begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara
fisik dengan guru yang masih hidup,
terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang
sudah wafat. Proses ijazah thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Al-Fuyudhat
Ar-Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah
Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005),
Khalista, Surabaya, 2006, hlm. 162-163.
[12] Agus Sunyoto, Loc. Cit, hlm. 162
dan 103
[17] Di
kampung penulis, Dusun Lamaran, Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah, hingga saat ini ada tradisi melantunkan doa syair yang
secara eksplisit menyebut nama Syaikh Muhammad Samman setiap kali usai shalat
tarawih dan witir.
[19] K.H. A. Aziz Masyhuri, Masalah
Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 tahun 1926 s/d ke-29 Tahun 1994,
PP RMI dan DInamika Press, Surabaya, 1997, hlm 38 dan hlm. 82-83
[20] Martin
Van Bruinessens, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung, tahun
1997, hlm. 1-100
[21] Tim
Penyusun, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah,
Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, Semarang, 2005, hlm. 34.
[22] Muhdhor
Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah
Naqsyabandiyyah, Pelita Hati, Solo, 2008, hlm. 80-100
[23] Berbagai
catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh
tersebut, seperti : www.thohiriyyah.com;
http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan
sumber-sumber lain.
[24] Disebut
Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi
Ad-Darqawi. Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu
sering disebut dengan Syadziliyyah Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh
Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah juga berkembang
menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah,
Hasyimiyyah dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penulis Lajnah Ta’lif wan Nasr, Mengenal
Thariqah, LTN-JATMAN, 2005,
hlm. 31 dan www.wikipedia.org/wiki/shadhili
[25] http://lajnah-talifwannasyr-tarekat.blogspot.com/
[26] http://epress.anu.edu.au/islamic/umma/mobile_devices/ch03s03.html
[27] Cecep Syarifuddin, Prof. DR., Kesaktian
Walisongo: Empat Jurus Dakwah Islamisasi Jawa, disampaikan dalam Halaqah
Politik Walisongo, Desember 2005, di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Laporan mengenai acara dan materi
halaqah tersebut juga dimuat di Majalah Alkisah, edisi 01/2006 yang terbit pada
bulan Januari 2006.
[28] Martin Van Bruinessen, loc.cit.,
hlm 24.
[29] Lihat catatan kaki Ahmad Baso dalam
buku Pesantren
Studies seri 2a, Pustaka Afid, Jakarta 2012, halaman 61-62
[31] Martin Van Bruinessen, loc. cit,
hlm. 32-47
[32] Sorogan adalah metode belajar di
mana setiap santri secara bergantian menghadap seorang guru lalu mencoba
membaca sebuah teks, baik al-Quran maupun kitab kuning secara baik dan benar
sesuai arahan sang guru. Metode dua arah ini biasanya diperuntukan bagi santri-santri
kelas awal sampai menengah. Sedangkan Bandongan adalah metode belajar dimana
seorang kiai atau guru membacakan kitab kuning lengkap dengan arti dan
penjelasannya di hadapan sekelompok santri. Metode satu arah kebanyakan
diperuntukkan bagi santri kelas menengah hingga tinggi dan masyarakat umum.
Lihat : Marteen Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,
Mizan, cet. Ke-3, 1999, halaman 18.